Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Karena Kemendikbud, Orang Hongaria Lestarikan Budaya Indonesia

18 April 2017   21:36 Diperbarui: 18 April 2017   22:06 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Niyogo Suryokencono dan ibu dubes (dok.KBRI)

“Nanti Karin sama anak-anak sanggar diajarain nari ya?“ Begitu pesan mbak Nia, staff KBRI dalam percakapan via WA. Waduuuh, saya ini memang suka nari tapi bukan penari profesional. Apa nggak kebalik saya yang diajarin orang sanggar? Dulu saya hanya belajar tari dari ekstrakurikuler selama TK-SMA, sekarang di Jerman, ya belajarnya dari youtube.

Akhirnya, sehari setelah pentas tari Geyol Dhenok di KBRI dalam rangka launching buku saya "Exploring Hungary" yang diberi kata pengantar oleh ibu dubes paling cantik se-RI, ibu Y.M.Wening, saya ke sanggar.

Arghh. Kami telat sejam gara-gara ngejar copet di Szentendre. I'm so sorry, mbak Nia.

Setiba di sanggar Arum Melati punya mbak Irda, kami menari. Jadi saya nggak ngajarin nari ya, cuma menari bersama mereka tarian yang belum mereka tarikan. Oiii, yang nari kebanyakan buleeeee. Mereka adalah eks darmasiswa.

Eh, darmasiswa? Itu program kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk mengundang mahasiswa luar negeri belajar di beberapa universitas di seluruh Indonesia. Contohnya kalau di Solo ada ISI, di Semarang selain UNDIP ada UNNES, almamater saya. Selama dua semester, mereka akan mendapatkan uang sponsor sebanyak 2 jutaan per bulan. Jadi anak kos yang nantinya, seperti kata bu dubes, akan jadi “orang.“ Maksudnya? Ya, kalau sudah pernah mengenyam pendidikan di Indonesia, negara Asia yang berpenduduk 250 juta orang, lalu bisa mengembangkan diri ketika kembali ke negeri asal. Selain itu ada tindak lanjut setelah mendapatkan ilmu di bumi nusantara. Bahkan mendapat posisi atau pekerjaan yang wow.

Dirjen Kemludag Hongaria dan saya (dok.KBRI Budapest)
Dirjen Kemludag Hongaria dan saya (dok.KBRI Budapest)
Bekerja di lembaga pemerintahan di Hongaria

“Nasib anaaak kosss.“ Di mana-mana sama. Bu dubes di Budapest cerita bahwa dirjen kemenlu Hongaria yang saya jabat tangannya dan sempet ngobrol itu juga mantan darmasiswa. Pernah merasakan jadi anak kos yang harus puasa karena bahan makanan terbatas.

Dr. Sandor Sipos adalah direktur jendral kementrian luar negeri dan perdagangan Asia-Pasifik untuk Hongaria. Saya ingat pernah dikasih kartu nama sama si bapak yang bagus tenan. Bahkan sampai dua kali saking lupanya. Xixixi ... batin saya, nggak usah dua kartu ... wong satu kartu saja pasti bapak lupa saya kalau saya sudah balik ke Jerman. Yaaa ... namanya  saya rakyat ya, pasti gampang dilupa.

Sebelum ketemu pak dirjen, waktu saya datang ke KBRI, seorang pemuda ganteng tergopoh-gopoh mengambil tas saya. Maksud Fabian, untuk dibawain ke dalam. Lumayan berat, 5 kg. Xixixi ... Ternyata, dia juga eks darmasiswa yang melamar sebagai sopir pribadi ibu dubes.

Kenapa dia lolos? Pertama karena dia bisa bahasa Magyar. Kedua, kan bisa bahasa Indonesia juga dari Darmasiswa. Ketiga, masih muda. Itu keuntungan mempekerjakan dia di KBRI yang punya jadwal super ketat. Saya yang lihat sudah capek sendiri. Two thumbs up!

Oh, ya, itu anak, suka ngomong kata “sembarangan.“ Karena konteksnya salah, akhirnya jadi guyon anak-anak. Saya doakan, le ... kamu jadi orang.

Niki belajar dari ISI Solo (dok.Niki)
Niki belajar dari ISI Solo (dok.Niki)
Menari tarian tradisional

Lain lagi cerita dari Niki. Salah satu perempuan yang menari bersama saya di sanggar itu, pernah jadi darmasiswa di ISI Solo. Mengapa Solo? Karena itu rekomendasi teman-temannya. Kedua, karena ia ingin bisa menari bedhaya. Execuse me, bedhaya? Itu kan susah dan luamaaaaa. Saya saja belum pernahhh. Dia beruntung bisa belajar di keraton Jogja dan Solo. Amazing! Ketiga, sebab itu satu-satunya pos yang lowong waktu ia lamar.

Dalam wall facebooknya, Niki pamer waktu ia menari gambyong di kota Pecs. Kegiatan KBRI Budapest itu ia ikuti dengan senang hati. Ya, ampuuuun. Ia sempat panik dengan sasak dan gelung rambut. Takut nggak rapi saja karena harus ngerjain sendiri. Untung saja, di Solo sudah ada orang yang ngajarin dia pakai dhodhot,kain dengan motif bintik-bintik demi menutupi dada dan khusus kain batik (jarikan) dia belajar sendiri. Ihhh ... jan ayu tenan kowe, ndhuk.

Nah, gara-gara lama di kos bule (karena hanya dihuni 8 bule cewek darmasiswa) Solo, cewek cantik itu jadi suka gudheg dan gado-gado. Eh, iya ... gorengan dia juga suka lho meskipun orang Eropa itu ya, paling nggak senang sama yang berminyak-minyak. Marahi watuk dan kolesterol. Uhukkk.

buku darma siswa
buku darma siswa
Menulis dongeng Indonesia

Dalam obrolan kami, Niki cerita ada teman eks darmasiswa juga yang menulis dongeng Indonesia dalam bahasa Hongaria. Waaah, seneng dong secara saya suka nulis buku juga. Kenaliiiinnn.

Adalah Kiss Martha dan Tari Eszter. Dua nama yang disebut Niki sebagai pecinta Indonesia.

Dongeng “A sziklavirag“ yang dalam bahasa kita artinya “monyet hitam.“ Kiss bercerita tentang 7 bidadari. Kalau saya kira-kira, lebih mirip kisah dewi Nawang Wulan yang selendangnya dicolong sama Joko Tarub terus diperistri itu.

Satu lagi, eks darmasiswa Universitas Sebelas Maret (1998-1999) dan STSI Solo bernama Tari Eszter. Nggak jelas buku mana yang Niki maksud sudah ditulis Tari tapi yang pokok, Tari sudah banyak mengadakan pameran yang memunculkan keindonesiaan! Huuuh, informasi tentangnya susah saya dapat karena semua pakai bahasa Hungaria yang susahnya melebihi susahnya bahasa Jerman. Mana banyak cecek-cerek nya kayak huruf hanacaraka. Tertulis di Wikipedia bahwa tahun 2007 ada event “Kekuatan Warna“ di Surakarta dan “Dimensi Warna“ tahun 2010 yang dilakukan Tari. Luar biasa.

Jadi dalang wayang kulit

Satu lagi yang ngingetin saya sama bapak yang pernah mayang waktu mudanya. Dus Pollet! Dia adalah creative producer dari DDK production. Mantan darmasiswa ISI Solo tahun 1998 itu mampu berbahasa Indonesia, Inggris dan Jerman, selain bahasa ibunya, Magyar. Penerima certificate of merit dari KBRI Budapest itu beberapa kali bergabung dalam tim kesenian KBRI untuk promosi budaya. Iya, dia jadi dalang wayang kulit. "Trotok-trotok, genjrenggg. Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelip ... oooooo."

Sementara itu pekerjaan lain Dus adalah ngajar teater di Univeristas Karoly Gaspar di Budapest dan mengasuh sanggar wayang Szinhaz. Huebattt.

Selfie sama Niki sebelum pergi (dok.Gana)
Selfie sama Niki sebelum pergi (dok.Gana)
***

Masih banyak catatan tentang orang Hongaria eks Darmasiswa seperti Balogh Lazlo dan Yvette Bardos. Mereka melukis keindahan Indonesia dan mengabadikan Indonesia dalam foto. Nggak hanya berhenti mendokumentasikan, mereka memamerkan di mana-mana. Seru, kann.

Lalu ada juga niyaga, para pemain musik tradisional Jawa yang tergabung dalam sanggar “Suryokencono“. Pentas mereka sudah nggak bisa dihitung lagi selama 2 tahun ini. Sinden Agnez juga begitu.

Ihhh. Gemes sekali kalau melihat bule, orang asing yang belajar tradisi bangsa Indonesia tapi gimana ya, kalau generasi muda atau bangsa sendiri nggak mau belajar tapi orang asing mau belajar yaaa ... tetep dikasih jalan luebarrrr.

Senang dan bangga bahwa pemerintah RI lewat kemendikbud menggelar kesempatan untuk mereka setiap tahunnya. Semoga jumlahnya nggak dipangkas, uangnya nggak disunat. Karena denger-denger yang daftar banyak, kalau kuotanya mini jadi kasihan dan takut mematahkan semangat mereka yang ingin terus dan terus belajar tentang Indonesia.

Eh, ada nggak sih, beasiswa untuk generasi muda Indonesia sendiri agar belajar tentang budaya bangsa sendiri, supaya kelak tetap melestarikannya sampai anak cucu? Jangan-jangan yang dikasih kesempatan orang asing melulu, orang lokal nggak dikasih kesempatan lantas terlena. Lupa!

Pengalaman pribadi, saya termasuk beruntung. Ada darah seni dari keluarga saya dan rajin belajar tari tradisional dari sekolah (TK-SMA). Setelahnya, yaaaa mau belajar sendiri. Niat banget. Saya sadar, kesenian yang saya lestarikan sejak umur 5 tahun itu jadi bekal go international. Waktu muda, tes yang saya ikuti untuk mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar/mahasiswa ke luar negeri, memiliki syarat harus bisa salah satu kesenian daerah. Saya hitung, bisa saya pamerkan di 8 negara.

Bagaimana dengan Kompasianer, sudah belajar budaya tradisional Indonesia apa? Pilih sesuai bakat dan minat kalian. Jangan kalah sama eks darmasiswa dari Hongaria di atas,  ya. Isin-isin.(G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun