Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Bertengkar dengan Anak Lain, Betulkah Anak Kita Selalu Benar?

28 Februari 2017   20:43 Diperbarui: 1 Maret 2017   06:01 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kata orang, anak adalah permata hati. Tanpanya, tak ada kekuatan supranatural yang mampu menguatkan diri orang tua dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Anak menjadi tumpuan harapan masa depan sebuah keluarga. Bahkan, menurunkan klan sebuah keluarga. Anak juga menjadi penyemangat untuk membuat hidup orang tua lebih baik dan mapan, dari waktu ke waktu.

Sebaliknya, ada orang tua yang merasa memiliki anak adalah beban. Membunuh anak di dalam kandungan, membuang anak di sampah atau sungai ketika lahir, tak punya waktu menemani mereka dari masa kanak-kanak hingga dewasa karena sibuk sendiri, tidak merawat dan mendidiknya dengan baik dan benar, mengusir dari rumah karena kelewatan serta entah apalagi....

Di waktu lain, orang tua yang tidak dianugerahi titipan berupa anak, hanya mampu  berharap.

Manusia oh manusiaaaa.

Oalahhh, ngobrol soal anak nggak pernah ada habisnya.

Anak saya selalu benar, anakmu yang salah

Pernah kejadian, kotak pos kami berisi surat berisi kata kotor dari anak tetangga, 5 tahun. Setelah ketemu dengan ibunya, saya minta klarifikasi. Betul bahwa si ibu yang mengajari menulis kata kotor dan mengijinkan anaknya mengirim surat ke anak saya. Tentu saja saya marah, pertama, mengapa ada seorang ibu mau mengajari anaknya hal buruk; menulis kata kotor dan mengijinkan mengirimnya? Kedua, si ibu mengatakan bahwa anaknya yang benar dan anak saya yang salah. Mana mungkin?

Katanya, surat itu ditulis karena anak saya bilang sepeda anaknya kebesaran. Nggak pas. Yang punya sepeda mengadu ke ibunya. Yang beli sepeda nggak terima. Akhirnya saya bilang, ini urusan anak-anak, biarlah anak-anak menyelesaikan sendiri. Orang tua nggak usah ikut-ikut. Anak saya juga ikut saya nasehati untuk lain kali, memberikan komentar yang tidak menyinggung perasaan anak atau orang lain. Jaga mulut dan hati sejak dini.

Iapun ngeloyor pergi. Kasus dipetieskan tapi surat masih saya simpan sampai hari ini.

Setahun kemudian, di sebuah kolam renang. Si ibu berseru kepada anak saya, “Jangan ganggu anakku.“

Merasa anak saya hanya berenang dalam sebuah klub tim penyelamat DLRG, nggak cari gara-gara, ia mengadu pada saya.

Sewaktu jam renang selesai, kami pulang dan bertemu si ibu di depan kolam renangg. Naaaah, saya tanya lahhh:

“Mengapa kamu bilang begitu pada anakku?“ Sebelum menuduh yang nggak-nggak, saya tanyakan sebabnya si ibu berkata begitu pada anak saya.

“Anakmu harus menjauhi anakku.“ Katanya ketus. Tangannya dilipat.

“Menjauhi? Lho, memangnya kamu belum tahu. Anakku sudah lebih dari tiga tahun renang di klub ini. Jangan kira, kami ikut-ikutan kamu ... Beberapa minggu lalu, kami nggak datang karena anak-anak sakit.“ Tangan saya mulai berkacak pinggang.

“Memangnya anakku harus menjauhi anakmu?“ Suaranya mengeras cetar.

“Tidak ada yang menyuruhmu untuk melakukannya. Tempat ini milik umum. Kamu tidak berhak melarang anakku datang ke sini. Aku juga tidak berhak melarang anakmu untuk datang. Hanya DLRG yang berhak mengusir anakmu. Ini urusan anak-anak. Biarkan mereka menyelesaikan sendiri. Makanya aku tanya mengapa kamu bilang begitu pada anakku.“ Rupanya ketahuan kalau si ibu lagi antar anaknya untuk Schnuppernstunde, nyempil mencoba menjajal renang. Kalau bagus ikut, kalau nggak ya nggak datang lagi.  Weleh. Lucunya, baru dua kali coba saja, sudah berantem sama anak lelaki lain dan sudah ribut dengan kami. Biasanya, anak-anak yang susah diatur dalam training berenang rutin, akan didiskualifikasi dan Hausverbot, nggak boleh datang lagi. Perasaan nggak lama, deh ... soalnya si anak sudah diusir dari SD setempat karena mendorong seorang anak dari anak tangga sampai terluka. Kejadian yang tidak hanya satu-dua kali terlihat.

“Ahhh, sudah, aku nggak mau ngomong sama Ausländerin sepertimu.“ Ausländerin adalah sebutan orang asing yang tinggal di Jerman. Konotasinya jadi agak negatif karena dari cara dia mengucapkannya. Padahal, intinya sama dengan sebutan bule di tanah air.

“Hey, kamu rasis.“ Mata saya mendelik.

“Maksudku, aku juga punya teman Ausländerin tapi aku nggak mau berteman denganmu.“

Ya, amploooop. Dia pikir saya juga mau berteman dengan orang yang tidak menyukai saya? Mencari teman pasti lah yang disukai dan cocok, bukan? Orang nggak ada hujan nggak ada angin dia suka cari gara-gara. Untuk urusan pertemanan di kampung Jerman, saya ini masih pandai bergaul lho. Uhukkk. Xixixi, jadi batuk kaaaaan.

“Ahhhh, makanya, anakmu dikeluarkan dari sekolah.“ Karena kalimatnya yang kurang bersahabat, rasis tadi, saya ingat sesuatu.

“Iya, gara-gara anakmu dan tetanggamu.“ Si ibu sewot.

“Hahaha ... aku nggak pernah sekalipun datang dan melaporkan anakmu ke sekolahan.  Kalau sekali dua kali anakku laporan, anakmu mukul anakku, anakku justru kunasehati untuk menjauhi anakmu. Lebih aman. Habis perkara. Kalau dengar-dengar  dari guru dan tetangga, sih, itu salah anakmu. Dia nggak bisa diatur di sekolah dan mengganggu teman-teman lainnya secara fisik. Betul? Sudah, urusan anak-anak kita nggak usah turut campur. Diskusi kita tutup sampai sini!“

Si ibu berambut pirang meninggalkan saya sendiri. Barangkali kehabisan kata-kata atau entahlah ....

Check-rechek dulu sebelum menuduh anak orang lain salah

Dalam acara karnaval minggu ini, duduk seorang perempuan dengan anak gadisnya di sebelah saya. Setelah asyik ngobrolin soal kamera DSLR, beralih ke bab anak. Dia cerita kalau ada anak perempuan tetangga yang memegang krah baju anaknya, sembari mengatakan kalau anaknya itu pelacur.

Yaelahhh ... baru saja kelas 3, umur 9 tahun. Kaget kan dibilangin begitu, laporlah ke maminya. Yang ngata-ngatain sudah lebih besar, 10 tahun.

Si mami itu bertanya pada saya:

“Bagaimana menurut pendapatmu?“

“Aku kenal anak itu, memang bukan dari keluarga baik-baik. Sepertinya liar. Dari kalimat dan tindakannya sudah bisa dideteksi. Dia sering main ke rumahku bahkan pernah menginap. Aku sebenarnya nggak suka, sih tapi namanya anak-anak. Mereka kann berteman sejak TK. Hanya saja aku pesan ke anakku untuk memberi pengaruh positif, bukan ikutan negatif anak lain. Susah memang.“ Ingat kan peribahasa  nila setitik rusak susu sebelanga? Mendingan juga jatuh coklat setitik, minum susu coklat sepuasnya.

“Ohh ... begitu? Menurutmu apakah baik kalau aku ngomong ke anak itu? Aku tahu, anakku juga bukan malaikat. Bisa saja yang ia ceritakan padaku bohong tapi aku ingin  tahu apa yang sebenarnya terjadi...“ Sebelum melakukan sebuah tindakan, si ibu meminta pendapat saya. Ia tidak mau gegabah menuduh anak orang lain salah dan anak sendiri paling benar. Bagus! Dua jempol eh empat jempol malah, pinjem punya suami yang segede gada rujakpolo punya Werkudoro.

“Coba nanti aku tanyakan anakku di rumah. Dia ada kann waktu kejadian?“ Janji saya.

Ketika di rumah, saya tanya anak. Ia menceritakan kejadian dari awal hingga akhir. Akhirnya, ketemu ujungnya. bahwa anak si mami tadi memang yang mulai. Artinya, sebelum keluar umpatan “pelacur“ tadi, anak si mami sudah membuat gara-gara duluan. Bisa saja caci maki keluar-berikut cengkeraman kerah baju, sebagai bentuk pertahanan diri dari anak lainnya.

Pahami karakter anak

Ibu saya pernah bilang “Endhog pitik netese dhewe-dhewe“ bahwa telur anak ayam akan menetas di waktu yang berbeda. Dari situ, bisa ditilik karakter yang berbeda dari setiap anak yang dilahirkan di dunia ini. Meski satu ibu, tetap saja beda karakternya. Ada yang gampang, ada yang biasa-biasa saja dan ada yang sulitnya minta ampun.

Memahami karakter anak juga perlu dalam mendidik mereka tumbuh dan berkembang dengan semestinya.

Kalau sudah paham karakter anak, orang tua punya cara jitu untuk menyelesaikan masalah. Seperti pawang.

Sebagai gambaran, ada anak yang suka berbohong dan melakukan segala cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Jangan sampai orang tua mendukungnya dengan selalu melindungi, menutupi kesalahan anak dan menganggap anaknya selalu benar. Ada lho, orang tua seperti itu.

Harusnya, orang tua mengajarkannya untuk tidak berbohong karena kata orang Jerman “Lüge hat kurze Beine“, jika sering berbohong akan ketahuan juga suatu hari nanti. Sekali berkata jujur, tidak akan dipercaya.

OK, termasuk orang tua yang bagaimanakah, Kompasianer? G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun