“Iya, gara-gara anakmu dan tetanggamu.“ Si ibu sewot.
“Hahaha ... aku nggak pernah sekalipun datang dan melaporkan anakmu ke sekolahan. Kalau sekali dua kali anakku laporan, anakmu mukul anakku, anakku justru kunasehati untuk menjauhi anakmu. Lebih aman. Habis perkara. Kalau dengar-dengar dari guru dan tetangga, sih, itu salah anakmu. Dia nggak bisa diatur di sekolah dan mengganggu teman-teman lainnya secara fisik. Betul? Sudah, urusan anak-anak kita nggak usah turut campur. Diskusi kita tutup sampai sini!“
Si ibu berambut pirang meninggalkan saya sendiri. Barangkali kehabisan kata-kata atau entahlah ....
Check-rechek dulu sebelum menuduh anak orang lain salah
Dalam acara karnaval minggu ini, duduk seorang perempuan dengan anak gadisnya di sebelah saya. Setelah asyik ngobrolin soal kamera DSLR, beralih ke bab anak. Dia cerita kalau ada anak perempuan tetangga yang memegang krah baju anaknya, sembari mengatakan kalau anaknya itu pelacur.
Yaelahhh ... baru saja kelas 3, umur 9 tahun. Kaget kan dibilangin begitu, laporlah ke maminya. Yang ngata-ngatain sudah lebih besar, 10 tahun.
Si mami itu bertanya pada saya:
“Bagaimana menurut pendapatmu?“
“Aku kenal anak itu, memang bukan dari keluarga baik-baik. Sepertinya liar. Dari kalimat dan tindakannya sudah bisa dideteksi. Dia sering main ke rumahku bahkan pernah menginap. Aku sebenarnya nggak suka, sih tapi namanya anak-anak. Mereka kann berteman sejak TK. Hanya saja aku pesan ke anakku untuk memberi pengaruh positif, bukan ikutan negatif anak lain. Susah memang.“ Ingat kan peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga? Mendingan juga jatuh coklat setitik, minum susu coklat sepuasnya.
“Ohh ... begitu? Menurutmu apakah baik kalau aku ngomong ke anak itu? Aku tahu, anakku juga bukan malaikat. Bisa saja yang ia ceritakan padaku bohong tapi aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi...“ Sebelum melakukan sebuah tindakan, si ibu meminta pendapat saya. Ia tidak mau gegabah menuduh anak orang lain salah dan anak sendiri paling benar. Bagus! Dua jempol eh empat jempol malah, pinjem punya suami yang segede gada rujakpolo punya Werkudoro.
“Coba nanti aku tanyakan anakku di rumah. Dia ada kann waktu kejadian?“ Janji saya.