Itulah mengapa, tekanan Patricia untuk hengkang dari rumah, aku simpan dalam hati saja. Terpendam bersama asa yang tak pernah padam.
***
Suatu hari, kami bertengkar. Mempermasalahkan mertua yang tidak suka padaku. Aku kukuh. Aku tak mau tunduk pada keinginan mertuaku. Aku pikir, masalah keluarga kami, harusnya kami yang selesaikan. Mertua tidak boleh ikut campur.
Niko kalap. Ia mendorongku. Aku terjatuh. Kepalaku dipukul. Perutku ditendang ... sampai ... ketubanku pecah!
“Help, me God!!!“ Aku berteriak sekuat tenaga.
Patricia datang karena mendengar suara ribut-ribut dari tadi. Ditariknya tangan Niko. Suamiku badannya terlalu kuat, Patricia terbanting. Aku menjerit. Menjerit karena kesakitan dan sedih melihat apa yang terjadi di rumah kami.
Niko membanting pintu. Ia pergi. Pergi di saat yang kurang tepat.
Tertatih, Patricia meraih telepon di atas meja. Nomor 112.
Tak berapa lama, ambulans datang menjemputku. Membawaku ke sana. Patricia menemaniku. Niko? Entah aku tak tahu ....
Kuminta Patricia menelpon mama agar menjemput Maike dari taman kanak-kanak. Untung suster mau meminjamkan telepon. Kami lupa bawa. Panik tersingkap di dada.
Lima jam kemudian, lahirlah Matthias. Caesar. Bayi yang benar mirip Niko, suamiku. Jabang bayi itu, seperti keluar dari mesin foto kopi!