Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cerpen: Kembalikan Suamiku

18 Februari 2016   17:24 Diperbarui: 19 Februari 2016   01:44 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tuhan, kembalikan suamiku ...."][/caption]Di bawah pohon Ahorn aku terduduk. Daunnya yang berjatuhan kuambil satu persatu. Kuning, oranye, merah, hijau ... mereka begitu terbuang. Lemah tak berdaya berpegang pada ranting. Seperti diriku.

Aku masih saja terisak. Butiran-butiran sedih, masih saja berjatuhan ... seperti daun-daun yang mirip lambang negara Kanada itu.

“Marie, bibirmu berdarah!“ Patricia, tetanggaku tergopoh-gopoh. Melepas sarung tangan kebun warna pink, membuangnya ke tanah dan bergegas menghampiriku. Ia keluarkan sesuatu dari jaket. Tangannya sibuk mencari tissue tanpa parfum. Aku tak peduli ... kudiamkan saja ia merawatku dan memuntahkan sejuta kata. Mengumpat suamiku yang menamparku tanpa ampun.

Ya, tanpa kuceritakan, Patricia sudah tahu. Nikolah biang keladinya.

“Aku nggak habis pikir, mengapa Niko tega melakukan ini lagi. Kamu harus minggat, Patricia. Bawa anakmu sekalian. Mengungsilah sejenak ke tempat ibumu.“

“Aku malu pada mama, Patricia. Sudah berulang kali aku melakukannya dan aku selalu luluh untuk kembali saat Niko menjemput kami. Aku rapuh. Aku bodoh.“ Hidungku mulai berair bukan saja karena dingin tapi tekanan emosi yang meluluhlantakkan hatiku.  Aku semprotkan pada tisu pemberian Patricia tadi. Aku sedikit terbatuk.

“Kamu harus pergi! Bayi yang ada di perutmu, tidak boleh rusak sebelum jadi!“ Patricia mengelus-elus perutku yang tertutup sweater. Badanku memang mulai mengembang. Sudah lima bulan.

***

Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi langgananku. Rambut yang rontok karena jambakan tangan kuat suamiku, warna biru di sekujur tubuhku, darah yang menetes ....

Ah ... pilu. Sungguh pilu nasibku. Inikah kutukan keturunan dari mamaku?

Demi Maike dan bayi yang ada dalam kandunganku, aku bertahan. Aku tak mau hidup seperti aku waktu kecil dulu. Hanya dengan mamaku. Di mana papaku, akupun tak tahu.

Itulah mengapa, tekanan Patricia untuk hengkang dari rumah, aku simpan dalam hati saja. Terpendam bersama asa yang tak pernah padam.

***

Suatu hari, kami bertengkar. Mempermasalahkan mertua yang tidak suka padaku. Aku kukuh. Aku tak mau tunduk pada keinginan mertuaku. Aku pikir, masalah keluarga kami, harusnya kami yang selesaikan. Mertua tidak boleh ikut campur.

Niko kalap. Ia mendorongku. Aku terjatuh. Kepalaku dipukul. Perutku ditendang ... sampai ... ketubanku pecah!

“Help, me God!!!“ Aku berteriak sekuat tenaga.

Patricia datang karena mendengar suara ribut-ribut dari tadi. Ditariknya tangan Niko. Suamiku badannya terlalu kuat, Patricia terbanting. Aku menjerit. Menjerit karena kesakitan dan sedih melihat apa yang terjadi di rumah kami.

Niko membanting pintu. Ia pergi. Pergi di saat yang kurang tepat.

Tertatih, Patricia meraih telepon di atas meja. Nomor 112.

Tak berapa lama, ambulans datang menjemputku. Membawaku ke sana. Patricia menemaniku. Niko? Entah aku tak tahu ....

Kuminta Patricia menelpon mama agar menjemput Maike dari taman kanak-kanak. Untung suster mau meminjamkan telepon. Kami lupa bawa. Panik tersingkap di dada.

Lima jam kemudian, lahirlah Matthias. Caesar. Bayi yang benar mirip Niko, suamiku.  Jabang bayi itu, seperti keluar dari mesin foto kopi!

***

Setahun berlalu. Niko seperti menemukan sesuatu pada Matthias. Meski ia belum juga berubah, ada mainan baru Niko di rumah. Matthias! Seolah ada gairah hidup baru pada Niko. Sayangnya, gairah itu bukan untukku.

Aku ingin kami kembali seperti waktu pacaran dulu. Romantis, harmonis. Kuusulkan pada Niko untuk liburan ke Bodensee. Kebetulan mama memberikan kami voucher menginap di sana, sebagai hadiah ulang tahunku. Tiga puluh tahun.

Perjalanan ke sana tak begitu lama. Hanya satu jam.

Kami pun berangkat. Musim gugur rupanya tak mengekang orang untuk berniat pergi. Jalanan macet! Apalagi Jerman, kapan dan di mana-mana, jalanan diperbaiki. Terlalu banyak uang, disebar di jalan.

Kulirik anak-anak di belakang. Maike sedang menggambar, Matthias tampak memainkan gantungan pada Maxi cosy, kursi bayi warna biru muda. Aku tersenyum. Apa yang aku harapkan dalam hidup ini, selain memiliki anak-anak yang manis, dikasihi, dirindukan dan mencintai orang tuanya?

Pandanganku kembali ke depan, sesekali kutatap suamiku yang seperti resah dengan kemacetan yang terjadi.

Dari arah depan, sebuah mini bus melaju. Aku khawatir. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat. Sepertinya, lajunya terlalu kencang. Dan benar, ia terpelanting, menghantam mobil kami. Semua gelap.

***

Samar-samar kudengar suara orang di sekitarku. Kukenal betul, itu mama dan Patricia! Perlahan, kubuka mataku.

“Mana Maike dan Matthias?“ Badanku masih terasa sakit.

“Mereka ada di ruang anak-anak, 2 A. Mereka baik-baik saja, hanya butuh pengecekan  sedikit dari tim dokter.“ Mama menenangkanku.

“Aku di mana?“

“Rumah sakit Konstanz“ Patricia memegang tanganku.

“Niko?“

Mama dan Patricia saling berpandangan. Mereka menggelengkan kepalanya. Aku menangis. Aku masih ingat terakhir kali memandang wajahnya di dalam mobil, menuju Bodensee, bunyi benturan keras dan suara helikopter.

***

Aku terduduk. Lagi-lagi menangis. Bukan karena Niko menganiayaku. Bukan.

Aku terduduk di sini. Bukan lagi di pohon Ahorn, di kebun belakang rumahku. Bukan.

Aku terduduk di depan makam Niko. Pria yang biasa membuangku layaknya ranting pada daun-daun di musim gugur. Aku terjatuh. Aku tak ingin mendikte pencipta bumi dan langit ini. Aku hanya ingin nyawa Niko kembali, untuk kami.

Biarlah Niko mencercaku, memarahiku, menamparku, memukulku, menendangku ... asal ia kembali.

Tuhan, kembalikan suamiku .... (G76)

PS: Let’s stop violence against women! Mari hentikan kekerasan pada para perempuan, di manapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun