Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenalkan Gambyong Pada Publik Jerman

1 Oktober 2015   16:14 Diperbarui: 1 Oktober 2015   17:04 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam hidup, saya mengamati banyak hal yang dianggap remeh beberapa orang, justru oleh beberapa orang lainnya, dianggap luhur alias tinggi.

Salah satunya adalah tari Gambyong.

Tinggi? Iya. Semakin tinggi ketika saya diberi kesempatan untuk mengenalkan dan memamerkannya di depan publik Jerman minggu lalu. Terima kasih untuk Mbak Andi Nurhaina, ibu-ibu Indonesia/panitia dan pemda Konstanz, sebagai penyelenggara. Tanpa diadakannya acara itu, nggak bakal saya ditanggap.

 

Info: Mejeng di depan rumah

Info: poto bareng penonton, teman dari Manado

Info: poto bareng penonton, teman dari Lombok

Asal muasal tari Gambyong

 

Tari yang mulanya berasal dari Ledek atau tledek, sudah dikenal pada tahun 1700-1800 an saat sinuhun PB VI berkuasa. Itu memang merupakan tarian rakyat kas bawah. Ledek atau Tledek itu kabarnya adalah para wanita penghibur. Setelah diangkat ke istana, dikemas dengan sentuhan bangsawan, menjadikan tari Gambyong yang masih luwes, kenes dan nggemeske, naik pangkat.

“Nampa saweran rak?“ Widi, seorang teman dari Singen menanyakan apakah saya menerima selipan uang. Waktu itu, saya yang sedang membenahi pakaian bagian atas yang melorot, ngakak.

“Saweran? Ora!“ Jawab saya, “Tidak“ dan segera mempersiapkan diri di kiri panggung yang tidak begitu tinggi. Badan saya memang dibungkus rapi, jarikan, pakai kain batik ketat (dan modifikasi) di acara Indonesische: Kulinarisches Fest“ di Konstanz pada hari Sabtu, 26 September 2015 lalu. Nggak kesrimpet, kok.

MC mulai mlipir ketika musik segera mengisi gendang telinga kami.

Kendang

Mbak Komang asli Bali, salah satu penari (Cendrawasih) dalam acara Kulinarische Fest di Konstanz, 26 September 2015 usai menyaksikan saya menarikannya, bilang "Tari Gambyong ayu yaaaa..." Ya, jelas beda dengan tari Bali yang dari musik dan gerakannya lebih rancak dan tegas.

Jawa Tengah khususnya tari Gambyong itu musik dan tariannya berciri lembut, pelan dan luwes. Meski tetap ada ketegasan yang terdengar dari hentakan kendang.

Yak. Gerakan yang indah dan teratur sesuai musik, utamanya kendang, menjadi ciri khas tari Gambyong. Sayangnya, agak sulit kalau penontonnya ngobrol sendiri, parah lagi nyanyi sendiri di dekat panggung. Selain konsentrasi penari pecah, suaranya mengganggu pendengaran demi menangkap musik yang dimulai dengan Pangkur. Kalau musik terlalu keras juga tidak baik, sih. Nggak asyik.

Bagaimanapun, senang melihat publik yang kebanyakan orang Jerman dan orang Indonesia yang tetap menyimak dan menikmati tarian dengan seksama. Kursi-kursi lipat warna hitam itu jadi saksi bisu.

 

 

Riasan wajah dan tata rambut

Konon, kalau dandanannya sendiri “kuat“ termasuk faktor pamor dari tari Gambyong.  Semakin aura keluarnya, semakin kuatlah tarian yang akan ia bawakan. Sayang waktu itu, saya sedang sakit, flu berat. Sudah mulai indikasi dua-tiga hari sebelum hari H. Obat kimia paling saya hindari. Dopping yang saya lakukan dengan jamu kunir asem, temu lawak, jahe anget dan beras kencur. Tidak puas dengan itu, saya tambahi jus perasan jeruk 100%, empat botol. Kurang opo? Hahaha.... Tapi tetap saja, mata dan badan saya nggak bisa bohong. Saya sedang nggak enak badan. Pancaran wajah nggak bisa secerah pas lagi fit. Kali, ini capek yang saya bawa 6 minggu tinggal di Indonesia. Inkubasinya 2 minggu! Hahaha.

Ya, sudah nggak papa. Membuka acara dengan tari Gambyong dengan wajah dimanis-maniske. Matanya kedap-kedip manja.

Nah, karena bajunya ada nuansa oranye, saya pakai lipstik oranye dan eyeshadow dengan nada sama.

Rambut memang harus disanggul. Waduh. Tak pernah sekalipun dalam hidup saya menarikan tari Gambyong. Melihat dalam acara perkawinan, wisuda, peresmian gedung dan acara resmi lainnya, bahkan melihat orang salon menyanggul atau merias orang, sudah biasa. Saya termasuk orang yang kalau ada sesuatu yang menarik, menyimak detilnya. Eh, sekarang harus nyanggul ... melakukan sendiri? Ya, ampuuuun, nggak gampang ki!

Ahhhhh, nggak boleh nyerah. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Saya bertekat, “Nggak ada salon Jawa, harus bisa. Ayo, dicoba!“

Ya, udah, dicoba. Untuk dandanan rambut sudah saya siapkan sunduk mentul 3 buah, roncen melati plastik, sisir sasak, sisir hias, jepit, hairspray/lack, hairdryer dan tusuk konde. 

Rambut dibagi dua. Satu untuk disasak. Satu dikucir kuda. Setiap sisi rambut yang disasak ditarik ke belakang pelan-pelan dengan sisir sasak, semprot dengan hairlack lalu dijepit biar tetap rapi. Tak lama kemudian, selesai dari kiri ke kanan.

Taraaa ... setelah menyasak rambut dan jadi dalam waktu 30 menit saya mematut diri di kaca ukuran 2x1 meter. Hai rambut, kasihan kau, dijambak-jambak.

Selanjutnya, pasang gelungnya di kuciran (kuda) rambut yang sudah dijepit rambut. Pasangi tusuk konde kanan, kiri dan tengah lalu sekelilingnya dengan jepit rambut (biting). Disusul sunduk mentul di kanan, sisir hias di tengah dan ronce melati di kiri.

 

 

Pakaian

Pernah baca-baca, karena dulunya digunakan sebagai tarian syukur pada dewi Sri saat panen, warna hijau dan kuning yang melambangkan hasil bumi memang banyak dipilih. Meski ada juga yang pilih warna merah, biru atau oranye.

Kain batik yang sudah diwiru (dilipat kecil memanjang, vertikal) pemberian kompasianer Sri Sulastri aka mbak Ncul sudah saya siapkan. Termasuk kendit model tempel biar singset dan langsing, dalaman kemben yang bahannya kaku demi feminitas (xixi), kain oranye tadi sebagai pemanis dan sabuk hitam dengan payet emas.

Sebenarnya, waktu pentas, saya memang mau pakai kemben tapi kok punyanya warnanya pink, maunya kuning atau hijau, kek. Ya, sudah, saya ambil batik warna oranye saja dari almari. Biar bisa kawin sama warna kuning dari selendang.

Sampur atau selendang yang diselempangkan di pundak kanan, dijepit dengan bros, melingkar ke pinggang ke arah kiri lalu dikaitkan dengan peniti di bagian pinggang kiri, biar mudah untuk dikebyakke, gerakan membuang selendang.

Halahhh ... biasa yang dandani salon, dandan sendiri sudah keringetan meski belum nari.

Belajar Gambyong dari youtube

Kok, saya bisa nari Gambyong? Ya, belajar dong. Dari youtube! Kalau sanggar mana ada di Jerman? Sanggar saya sudah tutup. Hahaha.

Untungnya, lantaran sudah pernah belajar dan menarikan tari bondan dan golek manis waktu sekolah (TK-SMA), belajar Gambyong kilat nggak ribet. Lihat saja, banyak kok gerakan yang mirip seperti ukel (pergelangan tangan meliuk, bergerak melingkar), trisik (berjalan, berpindah posisi kaki dengan tetap menjamah lantai), mentang (kedua tangan meregang, seblak sampur (membuang selendang ke samping), mendak (posisi kedua lutut merendah) dan masih banyak lagi.

Berapa lama belajarnya? Kira-kira 3 bulanan lah.

Pertama terbiasa mendengarkan musiknya dulu. Sambil setrika lah, sambil bersih-bersih lah, sambil memasukkan cucian lah atau pas nulis.

Kedua, melihat tariannya secara detil dan mencocokkan dengan musik yang kita ingat. Kalau “tung“ tuh begini gerakannya kalau pas “tak“ tuh begono gerakannya. Dan seterusnya ....

Ketiga, bener-bener praktek dengan tetap melihat youtube.

Keempat, praktek tanpa mencontek. Lupa? No, problemo, ulangi lagi sampai bisa.

Kelima, pentasss. Kalau lupa, ingat variasi yang dilihat dari beragam penari di youtube. Masing-masing penari atau pelatih tari memiliki gaya sendiri. Gerakan intinya, masih tetap sama. Nggak masalah. Psssttt ... nggak banyak yang tahu, kok.

Jangan tiru yang jelek dari saya ... hahaha.

***

 

Begitulah cara saya memperkenalkan tari Gambyong berikut ubarampe (dari kepala sampai kaki) di panggung Konstanz, Jerman.

Menari di luar negeri sudah saya mulai sejak umur 18 tahun, kelas III SMA. Waktu itu acara malam budaya di KTT Pemuda Asia Pasifik oleh IFRCRCS di Philipina. Jadi, menari Gambyong tadi bukan tarian tradisional Indonesia pertama yang saya pamerkan kepada dunia luar. Masih banyak lagi tarian Indonesia lain yang sudah saya pamerkan di negara-negara Asia-Eropa. Saya tak mau berhenti.

Bersyukur bahwa saya pernah aktif gabung LSM sehingga banyak kesempatan untuk pentas di malam budaya pada acara pertemuan internasional.

Bersyukur pula bahwa waktu sekolah, ikut kegiatan ekstrakurikuler tari seminggu sekali. Coba kalau nggak pernah ikut? Yup. Betul, itu buah dari minat yang saya tekuni. Bagaimana dengan anak-anak Kompasianer? Sudahkah belajar tarian tradisional Indonesia? Semoga mereka mendapat banyak kesempatan untuk memamerkannya karena ini adalah cara melestarikan budaya bangsa dan mengharumkan nama nggak hanya penarinya tapi negara asal si penari. Mumpung masih muda ... nggak kayak saya yang makin lama makin nggeget kalender. Byuhhh.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun