MC mulai mlipir ketika musik segera mengisi gendang telinga kami.
Kendang
Mbak Komang asli Bali, salah satu penari (Cendrawasih) dalam acara Kulinarische Fest di Konstanz, 26 September 2015 usai menyaksikan saya menarikannya, bilang "Tari Gambyong ayu yaaaa..." Ya, jelas beda dengan tari Bali yang dari musik dan gerakannya lebih rancak dan tegas.
Jawa Tengah khususnya tari Gambyong itu musik dan tariannya berciri lembut, pelan dan luwes. Meski tetap ada ketegasan yang terdengar dari hentakan kendang.
Yak. Gerakan yang indah dan teratur sesuai musik, utamanya kendang, menjadi ciri khas tari Gambyong. Sayangnya, agak sulit kalau penontonnya ngobrol sendiri, parah lagi nyanyi sendiri di dekat panggung. Selain konsentrasi penari pecah, suaranya mengganggu pendengaran demi menangkap musik yang dimulai dengan Pangkur. Kalau musik terlalu keras juga tidak baik, sih. Nggak asyik.
Bagaimanapun, senang melihat publik yang kebanyakan orang Jerman dan orang Indonesia yang tetap menyimak dan menikmati tarian dengan seksama. Kursi-kursi lipat warna hitam itu jadi saksi bisu.
Riasan wajah dan tata rambut
Konon, kalau dandanannya sendiri “kuat“ termasuk faktor pamor dari tari Gambyong. Semakin aura keluarnya, semakin kuatlah tarian yang akan ia bawakan. Sayang waktu itu, saya sedang sakit, flu berat. Sudah mulai indikasi dua-tiga hari sebelum hari H. Obat kimia paling saya hindari. Dopping yang saya lakukan dengan jamu kunir asem, temu lawak, jahe anget dan beras kencur. Tidak puas dengan itu, saya tambahi jus perasan jeruk 100%, empat botol. Kurang opo? Hahaha.... Tapi tetap saja, mata dan badan saya nggak bisa bohong. Saya sedang nggak enak badan. Pancaran wajah nggak bisa secerah pas lagi fit. Kali, ini capek yang saya bawa 6 minggu tinggal di Indonesia. Inkubasinya 2 minggu! Hahaha.
Ya, sudah nggak papa. Membuka acara dengan tari Gambyong dengan wajah dimanis-maniske. Matanya kedap-kedip manja.