Keempat, praktek tanpa mencontek. Lupa? No, problemo, ulangi lagi sampai bisa.
Kelima, pentasss. Kalau lupa, ingat variasi yang dilihat dari beragam penari di youtube. Masing-masing penari atau pelatih tari memiliki gaya sendiri. Gerakan intinya, masih tetap sama. Nggak masalah. Psssttt ... nggak banyak yang tahu, kok.
Jangan tiru yang jelek dari saya ... hahaha.
***
Begitulah cara saya memperkenalkan tari Gambyong berikut ubarampe (dari kepala sampai kaki) di panggung Konstanz, Jerman.
Menari di luar negeri sudah saya mulai sejak umur 18 tahun, kelas III SMA. Waktu itu acara malam budaya di KTT Pemuda Asia Pasifik oleh IFRCRCS di Philipina. Jadi, menari Gambyong tadi bukan tarian tradisional Indonesia pertama yang saya pamerkan kepada dunia luar. Masih banyak lagi tarian Indonesia lain yang sudah saya pamerkan di negara-negara Asia-Eropa. Saya tak mau berhenti.
Bersyukur bahwa saya pernah aktif gabung LSM sehingga banyak kesempatan untuk pentas di malam budaya pada acara pertemuan internasional.
Bersyukur pula bahwa waktu sekolah, ikut kegiatan ekstrakurikuler tari seminggu sekali. Coba kalau nggak pernah ikut? Yup. Betul, itu buah dari minat yang saya tekuni. Bagaimana dengan anak-anak Kompasianer? Sudahkah belajar tarian tradisional Indonesia? Semoga mereka mendapat banyak kesempatan untuk memamerkannya karena ini adalah cara melestarikan budaya bangsa dan mengharumkan nama nggak hanya penarinya tapi negara asal si penari. Mumpung masih muda ... nggak kayak saya yang makin lama makin nggeget kalender. Byuhhh.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H