Dan hari ini setelah bertahun-tahun lamanya, tanpa rencana, Ben menemukanku di sebuah perpustakaan universitas.
“Selamat pagi, Mimi, apa kabaaaar? Kamu kuliah di sini, ya? Sudah lama kita tidak bertemu. Senang bertemu denganmu.“ Ben memelukku. Hangaaaat sekali. Aku sendiri, pura-pura frigid.
“Selamat pagi, Ben. Ya, aku anak baru. Dan seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja kan.“ Penampilanku berhasil memalsukan hati yang mendung. Bertemu dengan pria yang pernah ingin kumiliki? Oh, tidak!
“Aku senang mendengarnya, eh, kamu puasa? Kemarin aku lihat berita di TV, rakyat muslim negerimu mulai menjalankan ibadah puasa.“
“Iyalah ... sudah terbiasa dari kecil. Tak usah khawatir.“ Aku pura-pura membenahi buku yang kuambil dari rak dan berharap Ben tak mendengar bunyi keroncongan perutku.
“Tapi lama kaaann di Jerman. Sembilanbelas jam. Lemes. Kalau aku, bisa dehidrasi tanpa air! Apalagi pantangan lain ... waduhhh mana tahaaaan.“ Ben menggelengkan kepalanya. Kupandangi bibirnya yang merah alami. Sayangnya, bibir itu hanya sah dikecup Melisse. “Eh, kamu tertarik sama dunia kesehatan, ya?“ Ben mengambil salah satu bukuku. Segera kuserobot buku itu dan kudekap erat. Untung tak robek.
“Maaf, aku ada perlu. Pergi dulu, ya?“ Kutinggalkan Ben yang tak mengerti, mengapa aku sedikit agresif. Ben tak boleh tahu bahwa aku ingin baca banyak tentang penyakit kelamin.
***