Becak. Transportasi itu memang terkenal di Indonesia. Tiap kota memiliki ciri khas tersendiri, misalnya ada yang pakai motor. Di Semarang, becaknya digenjot belakang berbensin nasi, lebih besar dan tinggi. Tanya kenapa? Saya telisik sendiri, paling karena kota ATLAS itu sering kebanjiran. Gak lucu kalau sedang asyik naik becak kena bandangan air dan masuk rok. Byurrr.
Ah, ya. Waktu itu saya pelit sekali naik becak. Mending jalan kaki, nebeng, naik bus kalau mau luxus, ya, taksi. Sudah nyaman, muat banyak, cepat dan harga tetap terjangkau. Betul? Kalau salah, pinjam kepala orang buat dijitak karena rumah saya jauh.
Becak Indonesia makin langka?
Ya, gitu. Begitu pindah ke Jerman, saya merasa bahwa pengorbanan tukang becak itu luar biasa. Mencari sesuap nasi pakai keringat menggenjot pedal sepeda becak sampai kakinya mau mbledhos. Mau?
Jadi dulu ketika mudik ke tanah air, saya cari becak. Gak mudah. Hanya satu dan tidak setiap hari ada. Mumet. Dan ingat betul ketika kakak saya suatu kali sewot:
“Becak dibayar berapa?“
“Limabelasribu.“ Mata saya tak memandangnya karena tahu ada sorotan tak suka adiknya bayar banyak-banyak.
“Kok, gak pakai taksi. Lebih cepat dan nyaman.“ Ide lain muncul, untuk lain kali.
“Nggak papa, kasihan bapaknya. Dia bilang "sakkersane". Lagian anak-anak seneng. Ora tau numpak becak, ndeso.“ Saya meredam rasa curiga keblondrok, membayar terlalu mahal tarif becak yang biasa paling banter dari toko ADA Majapahit ke rumah orang tua saya hanya 10 menit. Sak nyuk. Nilai kulturnya itu lho yang tinggi. Wisata naik becak bersama anak-anak .
Iyalah. Sadar sekali bahwa harga becak tadi untuk ukuran Eropa sebenarnya murah. Muraaah sekali. Cuma satu euro. Di Jerman segitu cuma bisa menjilat permen kojek satu atau melahap Hamburger setipis telapak anak kecil.
Makin Banyak Orang Jerman Mbecak
Kembali ke sarang, Jerman. Beberapa saat kemudian kami ke Köln alias Cologne. Bertemu Thom. Tau kaaann teman lama yang cerita pernah minggat itu?
Yup, Thom punya agen perjalanan, di mana mereka meramu perjalanan tradisional dengan segala sesuatu yang berbau tradisi. Seperti becak dan makanan rumahan Asia (Indonesia, India, China, Turki cs) resep Uroma, nenek.
Nah. Teman baik saya itu menawarkan diri untuk mengajak saya dan kedua gadis jalan-jalan keliling becak, Kompasianer! Ya, Allaaaah! Becak? Di Jerman? Bukan mimpi di siang bolong! Di tengah ramainya kota Cologne yang tak pernah tidur, serem naik becak dan akhirnya jadi seru (apalagi bagian Thom nyari pohon gede buat ngumpet nunut pipis anak ragil saya). Saya dan anak-anak yang ngakak, Thom justru panik.
Waktu jalan-jalan lagi, dengan sigap Thom yang berjaket dan bersepatu kulit itu memasang kain untuk alas dan selimut untuk lutut kami lalu, nggenjot. Walaaaah kalau di Tanah Air, yang nggenjot biasanya bapak-bapak sudah tua, kaosan (belum pernah ketemu tukang becak yang muda dan ganteng, untung). Lah ini, buleeee. Orang Jerman yang dulu rambutnya krebo sak tampah itu sekarang sudah berubah ngganteng dipotong cepak. Matanya yang coklat terang makin mengkilat melihat saya dan anak-anak ngakak terus kalau dia menggenjot ke sana-ke mari. Sampai ...
“Dorrrr!“ Ya, Allahhh. Bannya mbledhos! Padahal saya sudah dari tadi mengira kakinya yang akan meledak. Kami bertiga terkesiap merasa bersalah membuat muatan penumpang overloaded. Alhamdulillah, sudah dekat museum batik. Kami turun, dianya yang nuntun. Alamaaaaak. Spareparts musti pesen dari Vietnam. Iya, lantaran becak yang dipakai di seputar Jerman itu dari Vietnam. Produk impor.
Saya masih ingat katanya, “Biasanya aku hanya mau menarik Rikscha untuk seorang penumpang gemuk maksimal 80 kg, itu sama saja dengan tiga gadisku ini atau bisa dua orang dengan berat segitu.“ Dia meringis sembari jari-jemari menunjuk kami. Orang Jerman kenalan saya ini tak pernah sekalipun bisa ngakak seheboh saya. Nggak bisa. Dan anak saya mulai tambah-tambahan. Iya ya, kami bertiga memang kelas ringan, jadi nggak berat genjotnya. Tapi kenapa tetep mbledhos itu punya ban? Ah, lanjot.
Thom tampak keringatan dan memarkir becaknya. Tukang becak yang baik dan naas hari itu. Namun ia bukanlah satu-satunya tukang becak yang wara-wiri di wilayah Bundesrepublik Deutschland. Masih banyak tukang becak lain yang berkeliaran di kota ramah wifii itu. Jalan ke Brandenburg, di sekitar sungai Rhein dan di kota lama. Ada yang sedang nggos-nggosan beredar atau mereka yang lagi mangkal menunggu tarikan. Modelnya ada yang Rikscha asli sampai yang sudah modifikasi, modern.
Naik becak semenit=Rp 15.000
Waktu saya tanya berapa kami bertiga harus bayar, Thom nggak mau kasih bon. Yaaaa... gratis. Ada kalau 2 jam-an. Mau tahu berapa sebenarnya tarif becak Jerman? Larang tenan! Asli! Di Cologne: 15 menit =8€, 30 menit=33€, 1 jam=59€, 90 menit=89€, 2 jam=115€. Kalau saya kira-kira sendiri, satu menit=1€=Rp 15.000 an. Upsss... Satu menit? Kalau saya masih nyincing rok dan melipat kedua lutut agar tidak mak byak, belum duduk benar di atas becak. Apalagi jalan.... belum, belum sama sekali, sudah bayar duluan ha-ha-ha.
Bagaimana dengan di München? Hampir mirip; 10 menit=15€, 15 menit=19 menit, 30 menit=35 menit, 45 menit=45€, 1 jam= 55€, 90 menit=80€. Silakan hitung kalau dikira-kira satu euro=Rp 15.000. Lain kali tambah info, deh. Saya belum survei kota-kota besar Jerman lainnya yang juga memiliki kendaraan roda tiga ramah lingkungan itu.
Itu tadi bandrolan harga di Jerman. Sedangkan tarif becak di Semarang misalnya 10 menit kira-kira standar Rp 5000 an. Semenitnya kira-kira Rp 500. Sepertigapuluh kali dari harga di Jerman.
Harga satu becak 5 juta rupiah
Karena tahu Rikscha, becak Vietnam begitu populer di Jerman dan bermanfaat sebagai obyek wisata, saya merajuk. Meminta suami membeli becak.
“Pak, beli becak, dong,“ Ngglendhot di tubuhnya yang empuk.
“Mau kamu taruh mana becak segedhe gaban itu, buk?“ Suami bingung. Becak sak upil terbuat dari perak dari kota Gedhe Yogyakarta sudah punya, ditaruh di lemari. Dia beli buat saya waktu kunjungan pabrik ke Indonesia. Kalau yang gedhe, dia mikir. Selain tempat juga uang.
“Di ruang tamu, tho, Pak. Deket sofa.“ Saya ngeyel mau memasukkan becak ke dalam rumah untuk dekorasi interior. Emangnya kafe.... Mana becak gedenya sebagong masuk pintu mana? Jendela?
“Nanti buat becak-becakan anak malah rusak. Lagian sesek.“ Suami geleng kepala. Tahu kalau anak-anak kami kreatif.
“Ya, udah, di kebun depan aja. Cantik, nanti dikasih bunga-bungaan warna-warni di keranjang atau pot. Dipasang fix biar gak jalan atau buat mainan orang.“ Dulunya, suami saya punya ide beli kapal kayu rusak untuk dibuat jambangan bunga buat kebun depan. Laraaaang. Makanya becak bisa jadi alternatif. Nggak takut karatan dari 4 musim?
***
Seminggu kemudian, usai hunting di internet, suami lapor:
“Buk, ini ada becak. 150€. Mau?“ Pria saya itu menunjukkan ipadnya.
“Jelek, Pak. Becaknya gering. Gambarnya juga elek.“ Saya jelas nggak mau. Warnanya merah banteng.
“Kann kamu pinter nglukis. Dilukis ulang, gambar wayang, kayak bangku depan rumah yang kamu lukis dulu.“ Suami membujuk. Selain harganya murah, tempatnya memang tak jauh. Kalau jemput pakai gerobak aluminium gak berat di ongkos.
“Ini aja, pakkkk.“ Mata saya melotot, melihat becak cantik di deretan yang lain. Sayangnya, suami gak ACC. Selain harganya 350€ gak bisa dinego, ambilnya harus langsung TKP di ... Belanda!
Ya, ampun. Lima jaman. Dan kalau pakai gerobak digeret mobil hanya boleh dengan kecepatan 100km/jam. Jerman-Belanda ambil becak? Sipuuuut.
Hmmm ... betul, masih ngiler. Asyik kali, ya, kalau becak-becak Indonesia yang sudah tidak dipakai penggenjotnya itu diekspor ke Jerman. Menyaingi Rikscha, becak Vietnam yang sudah beken duluan. Jadi obyek wisata di Jerman....
Ngimpi.
***
Kalau sudah begitu, saya mikir. Sudah mulai jarang orang narik becak di Semarang. Hilang sudah satu warna kota yang memiliki nilai khas. Semoga nanti kalau pulang masih nemu.
Pernah sedih waktu dalam perjalanan kota-kota naik becak, seorang tukang becak bercerita:
“Alah mbaaak, saya ini sudah 20 tahun mbecak. Lainnya sudah banting setir jadi kernet daihatsu atau nyopir. Malah temen deket saya mbengkel tambal ban. Sayanya aja yang masih narik buat tambahan makan anak-istri.“ Rasanya air mata mau jatuh mendengar perjuangannya, hanya sekedar untuk urusan perut sehari. Trenyuh.
Ya, udah. Kalau ke Indonesia, naik becak jadi wajib, ah. Paling enggak sekali. Bagaimana dengan Kompasianer? Masih pernah naik becak? Bagaimana model becak tradisional di tempat Kompasianer? Apa pula pendapat Kompasianer soal Rikscha yang dilestarikan orang Jerman itu? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H