Seminggu yang lalu, kami kedatangan tamu. Seorang pria Jerman yang pernah saya kenal 14 tahun lalu itu memang selalu menyempatkan diri ke rumah kami kalau sedang berada di daerah Jerman Selatan. Ia tinggal di Jerman Barat.
Sengaja ia tidak membawa istrinya. Istri sedang sibuk mengurusi orang tua dan nenek yang berlibur bersama di sebuah tempat penginapan, satu jam dari rumah kami. Teman saya bilang, istrinya memang sangat dekat dengan keluarga, berbeda dengan dirinya yang paling banter setahun sekali ketemu orang tua. Jadi, itu dulu yang utama, keluarga, lainnya nomor sekian makanya tidak mau datang ke tempat saya yang bukan saudara.
Beberapa anak muda Jerman suka minggat
Thom, kawan saya itu lalu bercerita bahwa waktu muda ia pernah minggat ke lain kota. Mengapa? Alasannya, tidak sepaham dengan orang tua, orang tua terlalu keras mendidik. Banyak aturan. Pertanyaan saya, mengapa di antara empat saudaranya, hanya dia yang minggat? Dia tertawa. Saya taksir karena cara beradaptasi anak (Thom) dengan ortu, berbeda dengan saudara-saudaranya. Yang lain manut orang tua dan jadi orang. Ya iya lah, kalau jadi jambu mete bisa dirujak.
Naaah, waktu minggat umur 17 tahun itu, dia merasa super bebas dan mandiri, melakukan apa saja yang diinginkan. Happy. Sampai suatu ketika, dia mengalami kecelakaan dan menghadap orang tua. Apa kata bapaknya?
“Hmm ... dulu waktu dinasehati kamu tidak mau. Suka membangkang lalu minggat. Sekarang, kamu tiba-tiba datang hanya karena punya masalah besar dan butuh bantuan orang tua.“ Ya, iyalah, pak. Kalau minta bantuan Angela Merkel yang sedang pusing soal penarikan hutang Yunani, bisa sulit perkara. Oh, ya. Waktu Thom cerita begitu, saya membayangkan bapaknya yang berkacamata itu malang kerik, berkacak pinggang sambil geleng-geleng.
Thom mengaku sejak kembali, ia menjadi lebih dekat dengan sang ibu yang sekarang kena alzheimer. Menurut saya, itu hikmah baik dari pubertas dan minggatnya Thom. Insyaf.
Saya tahu kalau Thom bukan satu-satunya anak Jerman yang pernah minggat. Anak tetangga kami, salah satunya juga pernah minggat. Minggatnya memang mapan, pindah ke rumah neneknya dan memang diketahui sang ibu yang single parent.
Ben, sebut saja begitu, minggat ketika berumur 18 tahun. Itu saat dia lulus dari SMA kelas 10 lalu meneruskan ke kelas 11 di Gymnasium, dekat rumah nenek. Minggatnya karena bertengkar dengan sang bunda. Si anak malas membantu di rumah, kerjaannya hanya nonton youtube, dengerin musik dari Ipod, merokok, makan, tidur, sekolah dan jalan-jalan saja. Urusan sekolah tetap beres, sih, tapi harapan mamanya bahwa ia mengerti keadaan rumah tangga, tidak terpenuhi. Anak pertama tinggal di luar kota untuk kuliah. Otomatis, hanya anak ragil yang rajin membantu pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, memotong rumput dan lain-lain. Tidak adil. Diusirlah si anak. Anak mutung, marah lalu benar-benar minggat.
Saya yakin waktu itu, si ibu hanya emosi. Mana ada harimau makan anaknya? Nasi sudah jadi intip. Keras.