“Kann kamu pinter nglukis. Dilukis ulang, gambar wayang, kayak bangku depan rumah yang kamu lukis dulu.“ Suami membujuk. Selain harganya murah, tempatnya memang tak jauh. Kalau jemput pakai gerobak aluminium gak berat di ongkos.
“Ini aja, pakkkk.“ Mata saya melotot, melihat becak cantik di deretan yang lain. Sayangnya, suami gak ACC. Selain harganya 350€ gak bisa dinego, ambilnya harus langsung TKP di ... Belanda!
Ya, ampun. Lima jaman. Dan kalau pakai gerobak digeret mobil hanya boleh dengan kecepatan 100km/jam. Jerman-Belanda ambil becak? Sipuuuut.
Hmmm ... betul, masih ngiler. Asyik kali, ya, kalau becak-becak Indonesia yang sudah tidak dipakai penggenjotnya itu diekspor ke Jerman. Menyaingi Rikscha, becak Vietnam yang sudah beken duluan. Jadi obyek wisata di Jerman....
Ngimpi.
***
Kalau sudah begitu, saya mikir. Sudah mulai jarang orang narik becak di Semarang. Hilang sudah satu warna kota yang memiliki nilai khas. Semoga nanti kalau pulang masih nemu.
Pernah sedih waktu dalam perjalanan kota-kota naik becak, seorang tukang becak bercerita:
“Alah mbaaak, saya ini sudah 20 tahun mbecak. Lainnya sudah banting setir jadi kernet daihatsu atau nyopir. Malah temen deket saya mbengkel tambal ban. Sayanya aja yang masih narik buat tambahan makan anak-istri.“ Rasanya air mata mau jatuh mendengar perjuangannya, hanya sekedar untuk urusan perut sehari. Trenyuh.
Ya, udah. Kalau ke Indonesia, naik becak jadi wajib, ah. Paling enggak sekali. Bagaimana dengan Kompasianer? Masih pernah naik becak? Bagaimana model becak tradisional di tempat Kompasianer? Apa pula pendapat Kompasianer soal Rikscha yang dilestarikan orang Jerman itu? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H