Anjani mengangguk, seraya menunjukan materi pelajaran yang baginya begitu rumit. Azam tersenyum, ini mudah. Sore itu, Anjani yang hampir menyerah, dibantu Azam mengerjakan soal soal perkalian. Bagi Anjani, Azam selalu bisa ia andalkan, seseorang yang pasti, dan konstan.Â
Agam juga tak mau kalah, menjalankan visi misi nya. Seperti dulu, saat Anjani dan dirinya baru saja pulang sekolah, dengan seragam merah putih, dan sebuah permen kapas digenggaman tangan, mereka berjalan bersama melewati pabrik kerupuk. Namun, sekumpulan, bocah pabrik yang hobi bermain petasan juga hobi menjahili anak SD yang melewati pabrik, menyergap keduanya.Â
dengan lancang, merebut paksa permen gula milik Anjani, hingga tubuhnya hampir limbung ke pekarangan pabrik. Agam, si spontan, tidak pernah suka dengan orang lancang, terutama pada Anjani. ia belum tau caranya bertengkar, namun sore itu, dibalut perasaan kesal yang teramat, ia menghadiahi sebuah bogem mentah untuk anak anak pabrik. Hingga saat ini, anak anak pabrik, tidak berani menatap, bahkan melewati Agam barang sejengkalpun.
Bagi Anjani, Agam adalah sosok bebas yang selalu spontan, nekat, juga tak pernah bisa ditebak alur pikirannya, namun selalu ada untuk Anjani, dimanapun, kapanpun.
namun masalahnya, Agam terlalu lama bungkam, sibuk menyembunyikan perasaannya sendiri, hingga membuat Anjani menganggap Agam sebagai sesuatu yang imajiner, abu abu, mengambang. Anjani tidak pernah tau pasti, bagaimana perasaan Agam kepadanya, apa yang Agam pikirkan terhadapnya. karena, semuanya, terlalu, seperti dugaan.Â
Usai berperang batin, selama pelajaran bahasa indonesia, Anjani yang saat itu duduk dibangku SMP hendak bertanya, memastikan bagaimana sebenarnya, perasaan Agam padanya. Apa benar, selama ini ia hanya menduga duga, atau semua yang ia fikirkan adalah fakta?
"Suka sama Ajani? enggaklah. dia udah aku anggap kaya ade sendiri," Agam tertawa canggung, menatap Azam. keduanya, sedang berbincang sambil memakan sepotong roti di halaman sekolah.
oh, hanya adik. ada secercah awan abu, yang menghinggapi Anjani, memakan fakta, bahwa selama ini ia sudah berani 'berharap' seorang diri, adalah fakta yang paling menyebalkan.Â
hari hari berikutnya, Anjani tidak mau lagi salah mengartikan, kebaikan Agam, toh, ia sekadar berbuat baik, tanpa kejelasan apapun. Berharap lebih, malah akan membuatnya semakin patah.Â
dulu, ia menyukai sesuatu yang tidak pasti, seperti Agam. penuh kejutan, tidak bisa tertebak, membuatnya penasaran, dan terus menunggu.
sedangkan kini, menyambut masa masa putih abu abunya, disaat Anjani sudah bisa melihat segala sesuatu dengan objektif. ia semakin menyukai kepastian, seperti ilmu ilmu yang ia pelajari di jurusan IPA. ilmu ilmu pasti, sudah ada rumusnya, dan ia tinggal merangkai, lalu memecahkannya. Anjani mulai terbiasa dengan segala hal yang pasti.