Mohon tunggu...
futihat nurul karimah
futihat nurul karimah Mohon Tunggu... Lainnya - menulis itu, ya menulis

lahir 16 tahun lalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kata yang Tak Sempat "Berkata"

2 Desember 2020   13:56 Diperbarui: 2 Desember 2020   14:01 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Agam, menyesap rokoknya dalam dalam, sembari membiarkan tubuhnya menyandar santai pada tembok sekolah. Seperti biasa, pukul 4 sore, Agam tidak pernah absen nangkring di halaman sekolah menunggu Anjani, menyelesaikan kelas tambahannya. Pakaiannya sudah tidak karuan, baju yang memang tak pernah dipasang rapih, pun, dasi abu abu yang keberadaannya tak terlihat melekat pada Agam. dalam bahasa guru BK, Agam adalah contoh urakan yang mencoreng pendidikan Indonesia.

sedangkan kini, didepannya, persis saat pintu koridor terbuka, seorang pria berjalan beriringan bersama Anjani. Dengan pakaian yang jauh lebih rapih, namun sialnya, sama sekali tidak terlihat 'culun', tangan yang sibuk memegang tumpukan buku sedangkan ia memegang sepuntung rokok. singkatnya, Agam adalah kebalikannya. selalu.

"Agam! udah lama?" Anjani melempar senyum, membenarkan sedikit dekapan buku bukunya yang hendak meluncur bebas.

Agam tersenyum kecil, membuang puntung rokoknya, lalu menginjak hingga padam apinya. "Belum lama. baru 3 jam."

pria disamping Anjani ikut tersenyum, menyapa Agam, "Jemput gue, atau Anjani?" jahilnya, membuat Agam salah tingkah menggaruk kepalanya.

"Jemput lo, zam. cepetan, mau bareng gak?" padahal bukan itu yang ingin Agam sampaikan. bukan untuk menjemput Azam, saudara kembarnya. bukan.

Azam tau peris bukan dirinya yang Agam tunggu sejak tadi. seraya menepuk bahu Agam, Azam tersenyum lalu masuk kedalam mobil hitam yang terparkir di halaman sekolah. sorot matanya memandang Agam miris, seolah mengatakan, 'nih, akibat lo ga jujur, yang ngikut pulang malah gue kan'

Pasrah, di depan Anjani Agam selalu jadi pengecut nomor satu. sedangkan Azam, selalu selangkah di depannya. benar benar sial. di dalam mobil keduanya saling tatap dalam hening, Agam dengan sorot mata menantangnya, dan Azam dengan sorot mata tenangnya.

"hmm?" Azam bergumam, memancing sorot mata menantang dari Agam. 

jika Agam lebih senang, beradu dengan fisik, memerkan semua kehebatan bisep dan trisepnya. Azam lebih senang bermain dengan elegan, tenang, dan rapih. Dibanding beradu dengan fisik, Azam lebih senang memacu otaknya dengan menyelesaikan setumpuk soal soal kimia.

"Lo suka?" sambil menyetir mobil, tanpa memandang Azam, Agam berujar datar. pertanyaan yang ambigu, karena Agam malas memperjelas konteks pertanyaannya.

Azam masih membalik halaman bukunya dengan tenang, memecahkan beragam rumus kimia pada buku paketnya. ia mendengar Agam, namun, kimia lebih menarik untuk dijawab. barulah, ketika Agam mengulang pertanyaannya untuk kedua kali, tanpa menoleh, Azam menjawab tenang.

"Suka."

sontak jawaban Azam, membuat Agam naik darah. baru, saja hendak ia menyemprot Azam dengan rentetan makian, namun Azam memotong emosi Agam yang hendak meluap.

"Kimia. suka kimia."

oh, hampir saja, satu pukulan melayang.

Sejak kecil, mereka adalah rival. meski berbeda jalur, namun perseteruan dalam segala bidang tak pernah terelakan. bingkai foto usang di ruang tamu adalah saksi perseteruan mereka yang telah dimulai sejak kecil. sebuah bingkai foto, yang menampilkan potret 3 anak kecil. 

pada sebelah kanan, tampak potret anak laki laki yang sedang menyeringai galak, sebelah tangannya merangkul anak  berpita merah posesif. dan pada sebelah kiri, anak laki laki lainnya sedang tersenyum manis, bersama buku digenggaman tangannya.

diantara segala perbedaan  keduanya, hanya 2 hal yang sama. bentuk fisik, juga visi misi, yang menempatkan Anjani pada prioritas pertama.

"kenapa?" Azam kecil, memandang bingung kearah Anjani yang sedang menatap murung buku buku pelajarannya.

"Bingung," lesu Anjani, mencorat coret buku.

Azam menutup buku pelajarannya, menghampiri Anjani yang sore itu sedang belajar bersama di rumahnya. "Besok ada ulangan ya?"

Anjani mengangguk, seraya menunjukan materi pelajaran yang baginya begitu rumit. Azam tersenyum, ini mudah. Sore itu, Anjani yang hampir menyerah, dibantu Azam mengerjakan soal soal perkalian. Bagi Anjani, Azam selalu bisa ia andalkan, seseorang yang pasti, dan konstan. 

Agam juga tak mau kalah, menjalankan visi misi nya. Seperti dulu, saat Anjani dan dirinya baru saja pulang sekolah, dengan seragam merah putih, dan sebuah permen kapas digenggaman tangan, mereka berjalan bersama melewati pabrik kerupuk. Namun, sekumpulan, bocah pabrik yang hobi bermain petasan juga hobi menjahili anak SD yang melewati pabrik, menyergap keduanya. 

dengan lancang, merebut paksa permen gula milik Anjani, hingga tubuhnya hampir limbung ke pekarangan pabrik. Agam, si spontan, tidak pernah suka dengan orang lancang, terutama pada Anjani. ia belum tau caranya bertengkar, namun sore itu, dibalut perasaan kesal yang teramat, ia menghadiahi sebuah bogem mentah untuk anak anak pabrik. Hingga saat ini, anak anak pabrik, tidak berani menatap, bahkan melewati Agam barang sejengkalpun.

Bagi Anjani, Agam adalah sosok bebas yang selalu spontan, nekat, juga tak pernah bisa ditebak alur pikirannya, namun selalu ada untuk Anjani, dimanapun, kapanpun.

namun masalahnya, Agam terlalu lama bungkam, sibuk menyembunyikan perasaannya sendiri, hingga membuat Anjani menganggap Agam sebagai sesuatu yang imajiner, abu abu, mengambang. Anjani tidak pernah tau pasti, bagaimana perasaan Agam kepadanya, apa yang Agam pikirkan terhadapnya. karena, semuanya, terlalu, seperti dugaan. 

Usai berperang batin, selama pelajaran bahasa indonesia, Anjani yang saat itu duduk dibangku SMP hendak bertanya, memastikan bagaimana sebenarnya, perasaan Agam padanya. Apa benar, selama ini ia hanya menduga duga, atau semua yang ia fikirkan adalah fakta?

"Suka sama Ajani? enggaklah. dia udah aku anggap kaya ade sendiri," Agam tertawa canggung, menatap Azam. keduanya, sedang berbincang sambil memakan sepotong roti di halaman sekolah.

oh, hanya adik. ada secercah awan abu, yang menghinggapi Anjani, memakan fakta, bahwa selama ini ia sudah berani 'berharap' seorang diri, adalah fakta yang paling menyebalkan. 

hari hari berikutnya, Anjani tidak mau lagi salah mengartikan, kebaikan Agam, toh, ia sekadar berbuat baik, tanpa kejelasan apapun. Berharap lebih, malah akan membuatnya semakin patah. 

dulu, ia menyukai sesuatu yang tidak pasti, seperti Agam. penuh kejutan, tidak bisa tertebak, membuatnya penasaran, dan terus menunggu.

sedangkan kini, menyambut masa masa putih abu abunya, disaat Anjani sudah bisa melihat segala sesuatu dengan objektif. ia semakin menyukai kepastian, seperti ilmu ilmu yang ia pelajari di jurusan IPA. ilmu ilmu pasti, sudah ada rumusnya, dan ia tinggal merangkai, lalu memecahkannya. Anjani mulai terbiasa dengan segala hal yang pasti.

bebas, tanpa kepastiaan, penuh dugaan, dan banyak opsi, membuatnya terlalu bingung, dan sulit menentukan.

seperti saat ini, ketika, ia sedang tenggelam bersama rumus rumus kimia yang menarik untuk dipecahkan, bersama Azam. berdiskusi bagaimana memecahkan satu rumus ke rumus yang lain, serta pengaplikasiaannya diberbagai jenis soal. memang rumit, namun pasti. setelah melewati beragam kerumitan, akan ada satu jawaban yang keluar. dan jawaban antara dirinya dan Azam selalu sama.

memasuki soal ke 50, Azam membalik halaman buku, menunjukan satu soal kepada Anjani.

bukan soal kimia, namun rasanya Anjani membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menemukan jawabannya.

"Ini  soal ke 50 jawabannya apa?" Azam bertanya, berusaha menyembunyikan irama jantungnya yang sudah tidak beritme.

Anjani terdiam, "Pilihannya?"

"Iya atau engga, pilihannya."

mengambil sebuah pensil, Anjani mencorat coret soal ke 50, hingga jawaban hasil keluar.

iya.

Anjani tersenyum, selain kimia, ternyata ada lagi yang jauh lebih pasti. Azam, membalik halaman bukunya, kembali mengerjakan soal ke 51, namun senyumnya masih berhenti pada pertanyaan ke 50.

sedangkan Agam, menghisap rokoknya dalam dalam, sembari menyandarkan tubuhnya pada pintu kelas. seandainya, ia tidak terlambat, mungkin ia masih memiliki kesempatan, saat mereka mengerjakan soal ke -49.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun