Mohon tunggu...
Abdul Ghofur (Affu)
Abdul Ghofur (Affu) Mohon Tunggu... -

Passion di Bidang Extractive Metallurgy; Renewable Energy; dan Strategic Management | Lumajang-Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membaca Fenomena Disruption di Sektor Energi

19 Agustus 2017   20:13 Diperbarui: 22 Agustus 2017   01:26 5055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Pulau Cinta di Gorontalo (sumber gambar: http://www.pulocinta.com)

2.) Proses Bisnis menjadi lebih hemat biaya dan lebih simpel

Jika digambarkan dengan bisnis model kanvas, proses bisnis pada industri energi terbarukan akan didapatkan lebih hemat biaya dan simpel. Tapi, untuk menjadikan energi terbarukan sebagai sebuah disrupsi di sektor energi tak cukup hanya dengan bisnis model kanvas.

Saat ini, kita tahu bahwa biaya yang dikeluarkan untuk industri bahan bakar fosil mencakup proses eksplorasi, eksploitasi, pemanfaatan, dan penimbunan serta daur ulang. Proses produksi penambangan dilakukan, selanjutnya dilakukan pengangkutan bahan hasil tambang tersebut, dan butuh tempat untuk pemurnian seperti kilang minyak atau tempat pencucian batubara, gudang, disamping itu juga membutuhkan sarana transportasi dan logistik untuk sampai ke konsumen. Tentu dalam model bisnis ini, industri berbahan dasar fosil terlihat sangat kompleks dan kurang efisien.

Maka, untuk menjadikan energi terbarukan dapat menjadi disrupsi perlu inovasi dalam bisnis dan kembali merekayasa ulang proses bisnis itu agar tidak kalah dengan bahan bakar fosil yang sudah terbukti murah dan andal.

Kita sudah beberapa kali menemui bahwa harga yang murah bukanlah patokan saklek dalam menentukan dan membeli barang atau jasa, bukan?

3.) Kualitas yang dihasilkan lebih baik

Seperti dalam penjelasan diatas, bahwa kita sudah beberapa kali menemui bahwa harga yang murah bukanlah patokan saklek dalam menentukan dan membeli barang/ jasa. Meski nilai efisiensi dan faktor kapasitas dari teknologi energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) lebih rendah daripada teknologi berbahan bakar fosil, namun kualitas listrik yang dihasilkan akan mendapatkan nilai tambah dari segi inovasi nilai. Energi yang bersih dan ramah lingkungan, akan membuat konsumen menjadi lebih tertarik.

Bukankah banyak industri pariwisata berkelas internasional yang menawarkan liburan eksotis, private dan menawarkan petualangan di pulau-pulau terpencil? Untuk listriknya, tentu mereka menggunakan energi terbarukan. Di Indonesia pun sudah ada contohnya seperti Pulau Cinta di Gorontalo yang menggunakan panel surya [8]. Pulau ini digadang-gadang sebagai Maldives-nya Indonesia.

Gambar 2. Pulau Cinta di Gorontalo (sumber gambar: http://www.pulocinta.com)
Gambar 2. Pulau Cinta di Gorontalo (sumber gambar: http://www.pulocinta.com)
Industri pariwisata pun mulai menawarkan pelayanan yang selain menyenangkan, juga menyehatkan. Maka, pilihan penyediaan listrik berbahan energi terbarukan adalah salah satu terobosan untuk memberikan pelayan itu. Bayangkan jika destinasi wisata sudah bagus, namun tenaga listrik yang digunakan bersumber dari diesel yang notabene berbahan bakar fosil. Tentu berisik dan menyebabkan polusi.

Industri berbasis energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) menjadi sangat potensial jika digunakan dalam kondisi seperti pulau-pulau kecil dan pedalaman. Pelaku industri berbasis ini harus bisa melihatnya sebagai pasar potensial yang tidak akan disasar oleh PLTU konvensional. Jelas akan rugi, karena pembuatan jaringan (grid) dan instalasinya akan mahal. Energi terbarukan adalah solusinya.

4.) Menciptakan pasar baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun