Dengan senang hati penulis akan menjawab: benar dan bisa.
Beberapa strateginya akan dibahas pada tulisan ke-13 dan 14 (nanti). Namun, kali ini akan diberikan wawasan dan pandangan secara umum terkait membaca fenomena disruption pada industri di sektor energi terbarukan dalam tulisan ini.
Ciri-Ciri Energi Terbarukan agar Menjadi Fenomena Disruption:
Terdapat beberapa ciri agar suatu industri bisa menjadi sebuah disruptive innovation (disruption). Berikut ini merupakan cirri-ciri disruption dan kemudian akan diberikan penjelasan oleh penulis terkait sektor energi terbarukan sebagai bentuk disrupsi.
1.) Dari kepemilikan perorangan menjadi berbagi peran/ kolektif-kolaboratif
Dalam tulisan kedua mengenai #15HariCeritaEnergi kemarin, penulis telah menjelaskan dan memberikan gambaran bahwa permasalahan penerapan energi terbarukan sebagaimana dikeluhkan beberapa pelaku bisnis adalah karena masalah pendanaan. Penulis juga sudah memberikan contoh bahwa ternyata di luar negeri semisal di Afrika, pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dilakukan dengan skema kerjasama multinasional dan juga investasi dari organisasi dunia & bank dunia. Dengan begitu, akan berakibat pada semakin banyaknya pihak yang ikut untuk mengembangkan dan merealisasikan meskipun tidak di negaranya karena tujuannya bukan lagi untuk negaranya tapi untuk masa depan dunia.
Masalah pendanaan sekali lagi bukan masalah. Nyatanya investasi di bidang energi terbarukan terbilang sangat kuat dan besar. Pada tahun 2015 investasi sebesar 286 milyar dolar untuk energi terbarukan berhasil tercatat dan diproyeksikan akan terus meningkat [5].
Contoh lainnya adalah PLTU Biomassa (PLTBm) yang dibangun oleh Growth Steel Group (GSG). GSG merupakan industri berbasis baja, namun telah memiliki 5 PLTBm dan masih berencana membangun 5 PLTBm baru di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. GSG dengan lokasi yang strategis berhasil membangun kerjasama untuk menyerap limbah cangkang sawit dan tongkol jagung untuk dijadikan bahan bakar pada PLTBm. Sehingga, listrik yang dihasilkan pun bisa dijual ke PLN. Jadi bahan baku bukanlah permasalahan utama dalam penerapan energi terbarukan sebagaimana disampaikan oleh Dirut PT EBI (BUMN) yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya.
Pembangkit listrik berbasis sampah kota pun juga cukup menarik, meski model bisnisnya  saat ini masih belum melibatkan masyarakat secara langsung. Di Surabaya sudah terdapat pembangkit listrik berbahan dasar sampah, sementara Jakarta juga sudah membangun pembangkit listrik sampah kota (Municipal Solid Waste/ MSW). Singapura sudah punya lima. Bahkan Denmark impor sampah dari Perancis untuk pembangkit listriknya. Sementara itu beberapa negara pun tertarik untuk investasi pembangkit listrik sampah di Jakarta seperti Finlandia [6,7].
Saat ini sampah rumah tangga masih belum bernilai bagi kita, bahkan merepotkan. Namun, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kedepan sampah yang biasa kita buang dan tidak ada harganya malah bisa menghasilkan uang. Karena lahir industri baru yang membeli sampah (misal online dan ambil di tempat)Â untuk dipakai sebagai sumber listrik berbahan sampah yang mereka punya, misalnya.
Bukan hal yang mustahil, kan?