Di atas merupakan lirik dari lagu "12 November" dan masih dapat kita dengarkan dari media youtube maupun media yang lainnya. Peristiwa 12 November 1926 merupakan suatu peristiwa yang mewarnai sejarah resmi kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan peristiwa "Pemberontakan" Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah Hindia Belanda tahun 1926 yang menjajah Indonesia dan menjadi perlawanan terhadap penjajah yang pertama kalinya dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Akan tetapi, pemberontakan tahun 1926 berhasil dipatahkan dan diatasi oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1926. Alhasil PKI mengalami kekalahan telak, para kader dan simpatisan PKI banyak yang tewas, mendekam di penjara dan dibuang ke Boven Digul pulau Papua.
Menurut Alimin sebagai kader PKI masa itu, pemberontakan PKI tahun 1926 terhadap pemerintah Hindia Belanda merupakan bentuk perjalanan revolusi Indonesia dan langkah perjuangan yang pertama kali untuk mencapai revolusi nasional yang saat ini telah diperoleh. Alimin (1947) dalam buku Kaoem Boeroeh Seloeroeh  Doenia, Bersatoelah (ANALYSIS), memberikan pendapat bahwa "revolusi di Indonesia pada tahun 1926 adalah revolusi yang membuka jalan pertama menuju kemerdekaan Indonesia. Pengalaman revolusi itu telah memberi pengajaran dan meninggikan derajat teori perjuangan kaum proletar di Indonesia, dan hasil pengajaran dan pengalaman revolusi 1926 itu telah terbukti dalam kemenangannya revolusi nasional pada masa ini".
Selain itu, Aliarcham sebagai bagian dari PKI masa itu yang menilai pemberontakan PKI tahun 1926 kepada penjajah yang mengalami kekalahan yang telak dan menerima hukuman adalah bentuk resiko perjuangan yang harus diterima tanpa menyalahkan siapapun. Aliarcham (1964) dalam buku ALIARCHAM (Sedikit Tentang Riwajat dan Perdjuangannja), memberikan penjelasannya bahwa "suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima pembuangan ini sebagai suatu resiko perjuangan yang kalah. Tidak ada diantara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang salah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara. Kita harus terus menggunakan waktu pembuangan ini untuk belajar marxisme dan pengetahuan umum".
Kemudian, Tan Malaka sebagai komitern partai masa itu yang memberikan penilaian yang berbeda terhadap pemberontakan PKI tahun 1926 yang menurutnya adalah tindakan yang sembrono, putch dan advonturis serta tidak mencerminkan dasar-dasar aksi massa. Menurut Tan Malaka (2016) dalam buku Aksi Massa yang lahir sebagai respon terhadap pemberontakan PKI tahun 1926 berpendapat bahwa "selama seorang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan putch atau anarkisme, hal itu hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak".
Lebih lanjut, Soe Hok Gie juga memberikan pandangannya terhadap pemberontakan PKI tahun 1926 yang dianggapnya sebagai tindakan dari suara sebagian kelompok yang hanya berharap pembaharuan tanpa bercermin terhadap garis ideologis PKI seperti ajaran Marxisme dan leninisme. Menurut Soe Hok Gie (2005) dalam buku Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, memiliki pandangan bahwa "dalam suasana seperti itu, tokoh-tokoh PKI angkatan 26 dibesarkan. Pandangan-pandangan mereka sering tidak marxis-leninis. Lebih banyak merupakan cetusan suara kelompok-kelompok yang menginginkan datangnya pembaharuan".
Namun, pandangan berbeda dikemukakan oleh Takashi Shiraishi yang menyebut pemberontakan PKI tahun 1926 yang mengalami kekalahan dan banyaknya korban berjatuhan tetapi paska kejadian tersebut muncul ide dan bentuk baru dari pergerakan. Menurut Takashi Shiraishi (1997) dalam buku ZAMAN BERGERAK (Radikalisme Rakyat Di Jawa  1912-1926), yang berpendapat bahwa "sekalipun pemberontakan itu berakhir dengan kematian yang memilukan, tetapi sejak itu ide dan bentuk-bentuk pergerakan telah menjadi pengetahuan umum dalam bahasa melayu dan Indonesia".
Pemberontakan PKI tahun 1926 memang berhasil dipatahkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan PKI mengalami kekalahan yang telak. Kekalahan tersebut membuat para kader dan simpatisan PKI banyak yang tewas, mendekam di penjara dan diasingkan ke Boven Digul pulau Papua. Namun, sebenarnya sejarah apa yang terjadi dibalik syair lagu "12 November" tersebut yang dikenal dengan peristiwa pemberontakan PKI tahun 1926.
Polemik Sebelum Pembemrontakan PKI tahun 1926 Terjadi
Peristiwa pemberontakan PKI tahun 1926 yang mengalami kekalahan dan memakan banyak korban tersebut, telah dipersiapkan setahun sebelum peristiwa pemberontakan terjadi. Bermula pada 25 Desember 1925, para pemimpin PKI di bawah pimpinan Sardjono mengadakan suatu pertemuan kilat sebuah konferensi di Prambanan, Jawa tengah. Pertemuan tersebut membahas situasi terakhir pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dalam pertemuan tersebut Sardjono sebagai pimpinan mengusulkan untuk mengadakan aksi bersama, dimulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung aksi senjata. Kaum tani dalam hal ini supaya dipersenjatai  dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini.
Konferensi Prambanan berakhir dengan menerima usul dari Sardjono sebagai pimpinan untuk melakukan pemberontakan. Rencananya pemberontakan tersebut akan mulai dilaksanakan pada pertengahan 1926 tepatnya pada bulan Mei dan Juni. Di susul pada rapat 13 Januari 1926 yang menegaskan bahwa aktivitas politik legal tidak mungkin lagi dilakukan dan satu-satunya harapan adalah dengan jalan revolusi. Rencana-rencana untuk melakukan pemberontakan di dalam negeri segera dipersiapkan. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda juga bertindak semakin keras. Pada bulan Januari tahun 1926, belanda memutuskan untuk menangkap Musso, Boedisoetjitro dan soegono. Namun mereka bertiga berhasil lolos dari penangkapan dan melarikan diri ke Singapura.
Sebelumnya para pentolan PKI telah banyak ditangkap dan dibuang keluar negeri oleh pemerintah Hindia Belanda. Di mulai dengan Sneevliet pada tahun 1919 dan diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya. Semaun sebagai pentolan PKI juga dibuang pada tahun 1923. Selain itu, Darsono juga harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1925 karena dibuang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Aliarcham juga ikut dibuang pada tahun 1925 ke Irian Barat atau pulau Papua. Tiga tahun sebelumnya, Tan Malaka telah dipaksa angkat kaki meninggalkan Indonesia. Haji Misbach meninggal pada 1926 setelah dua tahun bertahan hidup dalam pembuangan. Kemudian, Alimin juga sudah melarikan diri dari kejaran polisi pemerintah Hindia Belanda sejak bulan Juli 1925.