"Anjing, bangsat, setan, pembunuh!!"
Suara teriakan warga bercampur suara pecahan kaca terdengar ketika beberapa orang polisi membawanya keluar dari dalam rumahnya, sambil tetap menunduk Pelangi bisa melihat warga yang tampak berkerumun di pekarangan bunga yang dulu selalu dirawat ibunya itu.
Beberapa dari mereka bahkan ada yang iseng berusaha memukul wajah, menarik paksa rambutnya ataupun melemparinya dengan benda-benda keras, beruntung polisi sigap melindungi dirinya dari pukulan-pukulan warga, sampai akhirnya ia dibawa dengan sebuah mobil ke kantor polisi.
Satu bulan kemudian, setelah melewati proses hukum yang panjang dia dinyatakan bersalah atas pembunuhan ayahnya.
Masih terngiang hingga kini ketika dengan tegas hakim berkata "25 tahun kurungan penjara,"
Ketukan palu yang dilanjutkan oleh tangisan histerisnya. Ia bahkan belum hidup selama itu. Ia berpikir bahwa inilah akhir dari masa depannya. Menghabiskan sisa hidupnya di dalam penjara. Tidak ada lagi tanaman milik ibunya, tidak ada lagi buku-buku menarik milik ayahnya, hanya jeruji, tempat tidur dan toilet seadanya.
Gadis itu bernama Pelangi, nama yang dia dapatkan hanya karena dia lahir di sore hari setelah hujan reda. Hujan yang kata ibunya turun dengan indah dan berakhir dengan lengkungan cahaya berwarna mejikuhibiniu.
Jauh sebelum pembunuhan itu terjadi, Pelangi adalah seorang gadis manis yang jarang bicara. Selain kedua orang tuanya, bunga, selalu menjadi teman dia bicara. Bunga yang sebetulnya milik ibunya, yang terkadang membuatnya cemburu, namun tak ragu ia sayangi karena dia begitu menyayangi ibunya.
Bersama kedua orang tuanya, dia tinggal di desa di mana senyum dan keramah tamahan masih menjadi sesuatu yang murah. Suara klakson dan knalpot kendaraan bermotor menjadi sesuatu yang sangat mahal. Disini, kecuali hujan turun, suara tetangga yang sedang berteriak dari dalam rumah dapat dengan mudah terdengar hingga jarak dua sampai tiga rumah.
Selepas pulang sekolah, sambil menunggu ayahnya pulang mengajar, dia biasa menghabiskan waktu bermain bersama bunga-bunga milik ibunya, membaca buku-buku milik ayahnya tentang berbagai macam pengetahuan, tentang sejarah negara, tentang jenis-jenis hewan dan cara mereka tumbuh. Tentang matahari dan bulan yang datang silih berganti.
Ayahnya adalah seorang pahlawan, setidaknya begitulah Pelangi menjawab ketika ada temannya bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Setiap pagi ketika sebagian besar mahluk Tuhan termasuk matahari masih beristirahat, dia sudah siap dengan baju dinasnya. Baju dinas yang tampak lusuh karena sudah terlalu sering dicuci. Setiap pagi dengan penuh semangat ayahnya akan mengayuh sepeda kumbangnya menyusuri jalanan pedesaan yang berbatu-batu, menuju sebuah sekolah dimana karakter-karakter generasi muda dibentuk.
Beliau merupakan satu-satunya guru di sekolah menengah yang ada di desa itu. Gedung sekolah yang lebih mirip kandang ternak karena keadaannya yang tidak terawat. Di sana dia mengajarkan semua pelajaran, dari mulai nilai-nilai pancasila yang mulai hilang dari generasi muda, bagaimana menyusun kata-kata hingga menjadi kalimat yang lebih bermakna dalam bahasa Indonesia, sampai memahami angka-angka dalam ilmu matematika. Kemuliaan ayahnya membuat dia selalu bercita-cita untuk menjadi guru.
"Aku ingin menjadi guru seperti ayah," begitu kata Pelangi, ketika ada orang yang bertanya tentang cita-citanya.
Keinginan yang selalu ia katakan pada kedua orang tuanya, dan tidak pernah absen dari doa-doanya kepada Tuhan.
Bila ayahnya adalah pahlawan, maka Pelangi selalu menganggap ibunya adalah seorang malaikat yang diturunkan Tuhan untuk membimbingnya. Ibunya selalu mengajarkan kepadanya tentang bagaimana menjadi manusia yang dicintai Tuhan.
"Jika Tuhan mencintaimu, maka seluruh mahluk-Nya akan mencintaimu nak," begitu ibunya berkata suatu hari.
"Tapi bagaimana agar aku dicintai Tuhan ibu?"
"Mulailah dengan berbaktilah pada orang tua nak, Tuhan menyayangi anak yang berbakti,"
"Aku akan jadi anak yang berbakti ibu,"
"Bagus, berjanjilah pada ibu kamu akan jadi anak yang berbakti,"
"Iya, aku janji Ibu," jawab Pelangi sambil memeluk ibunya.
Pelangi tumbuh menjadi anak yang cerdas, tidak jarang dia mendapatkan prestasi-prestasi di sekolahnya. Ketika itu dia masih berseragam putih abu dan lebih tertarik dengan bedak dan gincu daripada sepasang boneka yang dulu dihadiahi orang tuanya. Tak ada satupun orang yang meragukan kecantikannya. Dengan prestasi akademik segudang dan wajah yang rupawan tidaklah sulit bagi dia untuk mendapatkan perhatian dari banyak lelaki.
Tak jarang beberapa pria dari mulai yang tua sampai yang muda, dari yang tampan sampai buruk rupa, mendatangi rumahnya dan meminta Pelangi untuk menjadi istri mereka. Namun keinginannya untuk sekolah yang tinggi dan mengejar cita-cita untuk menjadi guru, membuat dia memutuskan untuk tidak buru-buru menikah.
Selalu terpikir dalam benak Pelangi bahwa hidupnya nyaris sempurna. Orang tua yang menyayanginya, prestasi akademik mentereng dan wujud fisik yang rupawan. Apalagi yang perlu dia cari. Menurutnya inilah yang dimaksud oleh ibunya tentang saat dimana Tuhan menyayangi dirinya.
Tapi nyatanya memang tak ada gading yang tak retak. Tuhan tidak pernah mengizinkan mahluk-Nya meraih kesempurnaan yang hanya akan menjadi milik-Nya. Ibunya pun seakan lupa menjelaskan jika kasih sayang Tuhan itu tidak selamanya berbentuk kebahagiaan
Suatu malam ketika hujan turun dengan derasnya dimana angin mengamuk dan petir membentak-bentak di langit yang kian menghitam. Ibunya pergi. Tanpa pamit dan tentu saja bukan untuk kembali. Kepergian yang meninggalkan duka bagi Pelangi dan ayahnya.
Ayahnya yang dulu bersahabat dengan ayat suci, kini lebih memilih bersahabat dengan alkohol dan meja judi. Sampai akhirnya, nyaris tidak ada lagi harta yang tersisa. Semua habis di meja judi.
Petuah-petuah bijak yang dulu selalu menghiasi percakapan-percakapannya dengan sang ayah, berganti caci maki dan kemarahan ayahnya terhadap Tuhan. Tuhan yang dianggap ayahnya telah merebut sang ibu darinya.
Hatinya hancur, kehidupan yang dulu dia anggap sempurna pergi bersama ibu yang selalu dia anggap malaikat Tuhan yang dikirim untuk menjaganya. Malaikat yang mengajarkan dia untuk selalu berbakti.
Dalam bernaknya terlintas, bahwa mungkin ini saatnya untuk berbakti, sebagaimana yang diajarkan oleh almarhumah ibunya dulu. Tanpa sempat menyelsaikan sekolahnya, ia pun akhirnya memutuskan untuk melupakan cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Pelangi memutuskan untuk mencari pekerjaan, mengumpulkan keping demi keping rupiah untuk menghidupi ayahnya. Salah satu wujud berbakti yang dia rasa paling tepat dilakukan saat itu.
Pergilah Pelangi mencari pekerjaan, hanya bermodalkan paras cantik dan kemolekan tubuh. Namun untuk mendapatkan pekerjaan rupanya ijazah pendidikan jauh lebih berharga daripada paras cantik, beberapa minggu berselang, setelah belasan kantor ia datangi, pekerjaan tak juga didapatkan.
Sampai suatu hari temannya yang bernama Midah datang menawarinya pekerjaan. Tentunya bukan pekerjaan yang membutuhkan ijazah sebagai syarat utama.
"Kamu hanya perlu menemani pelanggan minum bir. Itu saja!" begitu Midah menjelaskan mengenai pekerjaan itu.
Karena keinginan yang kuat untuk berbakti, maka dengan terpaksa Pelangi mau bekerja ditempat yang orang-orang sebut pub itu. Setiap malam selepas isya, dia gunakan gincu berkilauan serupa cahaya kunang-kunang kemudian membiarkan rambutnya tergerai sampai menutupi payudaranya yang setengah terbuka, lalu siap melayani pelanggan menghabiskan gelas demi gelas bir sampai pagi menjelang.
Rupanya Midah lupa atau sengaja lupa menjelaskan bahwa tangan para pemabuk itu kerap kali tidak bisa diam, awalnya jemari itu hanya menyentuh tangan dan wajah, lama-lama merayap ke segala arah. Beruntung peraturan pub yang melarang pelanggan menyetubuhi pelayan di tempat, membuat Pelangi masih bisa mempertahankan kehormatannya.
Batinnya menangis. Ingin rasanya dia pergi, berhenti membiarkan tubuhnya dijamah puluhan pria hidung belang hanya demi keping-keping rupiah, namun keinginan kuat untuk berbakti pada ayahnya yang membuat Pelangi tetap bertahan. Tetap membiarkan tubuhnya terjamah, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk kemudian digunakan oleh ayahnya untuk mabuk dan berjudi.
Tidak bisa dipungkiri, dengan tubuh molek dan wajah rupawan ditambah dengan pakaian yang menantang, membuat semua pria ingin menyetubuhi dirinya, termasuk ayahnya.
Suatu hari ketika hujan turun begitu deras, sang ayah yang sedang mabuk berjalan ke arah ke kamarnya, dengan langkah sulit ia memaksa masuk, seakan tidak peduli dengan tangisan Pelangi yang semakin kuat, ayahnya terus menghampirinya, lalu dengan paksa menanggalkan satu persatu pakaian yang melekat di badan mereka.
"Jangan takut sayang, ayah cuma mau mengajarkan kamu bagaimana berbakti," begitu kata ayah.
"Jangan ayah, istigfar! Ini Pelangi anakmu"
"Justru karena kamu anakku, maka ibumu tidak akan keberatan bila aku mencintaimu"
"Jangan ayah, jangan."
Hujan yang turun semakin deras menenggelamkan teriakan Pelangi, semenjak hari itu, setiap hujan turun, ayahnya selalu menyetubuhinya berulang-ulang. Sampai hujan akhirnya reda.
Selau terpikir olehnya untuk melaporkan ayahnya kepada pihak yang berwajib, namun cinta dan juga keinginannya untuk berbaktilah yang membuat dia tetap bertahan, menutup rahasia perbuatan dosa sang ayah. Bukankah agama melarang manusia untuk membuka aib orang lain. Begitu pikirnya.
Rasa cintanya yang besar pada sang ayah juga yang akhirnya membuat dia memutuskan untuk membunuh sang ayah. Ketika anjuran untuk segera bertobat tidak lagi dihiraukan, ketika dalil-dalil kitab suci hanya dibalas teriakan "kurang ajar" maka hanya dengan membunuh ayahnya dia dapat menyelamatkan sang ayah dari dosa yang lebih besar tanpa perlu membuat orang lain tau apa dosa ayahnya.
Sekarang di sinilah dia, di balik jeruji, menanti pelangi yang entah kenapa tak juga tiba setelah hujan reda, di cap berdosa karena menyelamatkan sang ayah dari dosa.
- Selesai -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H