Beliau merupakan satu-satunya guru di sekolah menengah yang ada di desa itu. Gedung sekolah yang lebih mirip kandang ternak karena keadaannya yang tidak terawat. Di sana dia mengajarkan semua pelajaran, dari mulai nilai-nilai pancasila yang mulai hilang dari generasi muda, bagaimana menyusun kata-kata hingga menjadi kalimat yang lebih bermakna dalam bahasa Indonesia, sampai memahami angka-angka dalam ilmu matematika. Kemuliaan ayahnya membuat dia selalu bercita-cita untuk menjadi guru.
"Aku ingin menjadi guru seperti ayah," begitu kata Pelangi, ketika ada orang yang bertanya tentang cita-citanya.
Keinginan yang selalu ia katakan pada kedua orang tuanya, dan tidak pernah absen dari doa-doanya kepada Tuhan.
Bila ayahnya adalah pahlawan, maka Pelangi selalu menganggap ibunya adalah seorang malaikat yang diturunkan Tuhan untuk membimbingnya. Ibunya selalu mengajarkan kepadanya tentang bagaimana menjadi manusia yang dicintai Tuhan.
"Jika Tuhan mencintaimu, maka seluruh mahluk-Nya akan mencintaimu nak," begitu ibunya berkata suatu hari.
"Tapi bagaimana agar aku dicintai Tuhan ibu?"
"Mulailah dengan berbaktilah pada orang tua nak, Tuhan menyayangi anak yang berbakti,"
"Aku akan jadi anak yang berbakti ibu,"
"Bagus, berjanjilah pada ibu kamu akan jadi anak yang berbakti,"
"Iya, aku janji Ibu," jawab Pelangi sambil memeluk ibunya.
Pelangi tumbuh menjadi anak yang cerdas, tidak jarang dia mendapatkan prestasi-prestasi di sekolahnya. Ketika itu dia masih berseragam putih abu dan lebih tertarik dengan bedak dan gincu daripada sepasang boneka yang dulu dihadiahi orang tuanya. Tak ada satupun orang yang meragukan kecantikannya. Dengan prestasi akademik segudang dan wajah yang rupawan tidaklah sulit bagi dia untuk mendapatkan perhatian dari banyak lelaki.