Tak jarang beberapa pria dari mulai yang tua sampai yang muda, dari yang tampan sampai buruk rupa, mendatangi rumahnya dan meminta Pelangi untuk menjadi istri mereka. Namun keinginannya untuk sekolah yang tinggi dan mengejar cita-cita untuk menjadi guru, membuat dia memutuskan untuk tidak buru-buru menikah.
Selalu terpikir dalam benak Pelangi bahwa hidupnya nyaris sempurna. Orang tua yang menyayanginya, prestasi akademik mentereng dan wujud fisik yang rupawan. Apalagi yang perlu dia cari. Menurutnya inilah yang dimaksud oleh ibunya tentang saat dimana Tuhan menyayangi dirinya.
Tapi nyatanya memang tak ada gading yang tak retak. Tuhan tidak pernah mengizinkan mahluk-Nya meraih kesempurnaan yang hanya akan menjadi milik-Nya. Ibunya pun seakan lupa menjelaskan jika kasih sayang Tuhan itu tidak selamanya berbentuk kebahagiaan
Suatu malam ketika hujan turun dengan derasnya dimana angin mengamuk dan petir membentak-bentak di langit yang kian menghitam. Ibunya pergi. Tanpa pamit dan tentu saja bukan untuk kembali. Kepergian yang meninggalkan duka bagi Pelangi dan ayahnya.
Ayahnya yang dulu bersahabat dengan ayat suci, kini lebih memilih bersahabat dengan alkohol dan meja judi. Sampai akhirnya, nyaris tidak ada lagi harta yang tersisa. Semua habis di meja judi.
Petuah-petuah bijak yang dulu selalu menghiasi percakapan-percakapannya dengan sang ayah, berganti caci maki dan kemarahan ayahnya terhadap Tuhan. Tuhan yang dianggap ayahnya telah merebut sang ibu darinya.
Hatinya hancur, kehidupan yang dulu dia anggap sempurna pergi bersama ibu yang selalu dia anggap malaikat Tuhan yang dikirim untuk menjaganya. Malaikat yang mengajarkan dia untuk selalu berbakti.
Dalam bernaknya terlintas, bahwa mungkin ini saatnya untuk berbakti, sebagaimana yang diajarkan oleh almarhumah ibunya dulu. Tanpa sempat menyelsaikan sekolahnya, ia pun akhirnya memutuskan untuk melupakan cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Pelangi memutuskan untuk mencari pekerjaan, mengumpulkan keping demi keping rupiah untuk menghidupi ayahnya. Salah satu wujud berbakti yang dia rasa paling tepat dilakukan saat itu.
Pergilah Pelangi mencari pekerjaan, hanya bermodalkan paras cantik dan kemolekan tubuh. Namun untuk mendapatkan pekerjaan rupanya ijazah pendidikan jauh lebih berharga daripada paras cantik, beberapa minggu berselang, setelah belasan kantor ia datangi, pekerjaan tak juga didapatkan.
Sampai suatu hari temannya yang bernama Midah datang menawarinya pekerjaan. Tentunya bukan pekerjaan yang membutuhkan ijazah sebagai syarat utama.
"Kamu hanya perlu menemani pelanggan minum bir. Itu saja!" begitu Midah menjelaskan mengenai pekerjaan itu.