"Sebenarnya ini pengalaman pahit yang kualami selama perjalanan petualanganku, karena alam memang tidak bisa diduga sebentar ramah sebentar ganas".(Wing Hing Ing)
Bagi yang hobi mendaki gunung dan pernah ke Gunung Marapi (2891 mdpl) di Ranah Minang, tentu sudah tak asing lagi dengan suasana di atasnya, seperti hamparan cadas yang datar dan luas, kawah aktif, Tugu Abel, Puncak Merpati dan taman edelweis.
Gunung Marapi salah satu gunung favorit yang sering dikunjungi di Sumatera Barat selain Gunung Singgalang, Gunung Tandikek, Gunung Talang, Gunung Talamau serta Gunung Kerinci.
Gunung yang masih tergolong aktif ini terletak di perbatasan Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Berada di antara lintasan jalan raya Padang -- Bukitinggi. Sehingga mencapai akses lokasi ini mudah dari berbagai arah.
Sejak saya masih remaja (era 90-an), Gunung Marapi memang tidak pernah sepi dikunjungi. Hampir tiap minggu selalu ramai. Terlebih lagi di hari libur nasional dan libur anak sekolah. Tidak saja bagi pendaki domestik, juga dari mancanegara tertarik mendaki ke sana.
View alam yang disajikan Gunung Marapi memang sangat indah. Di atas gunung ini akan disambut dengan hamparan datar bercadas yang luas dan sedikit bergelombang. Ada juga "lapangan bola" di sana.Â
Di samping pemandangan yang indah juga lintasannya yang menarik serta fenomena kawah aktif (kawah Verbeck) yang fenomenal. Dalam diamnya kawah ini bisa menimbulkan suara gemuruh pelan yang disertai dengan keluarnya asap tipis yang berwarna putih dan terkadang hitam.
Dan itulah yang pernah terjadi pada Minggu, 5 Juli 1992, dan berikut paparannya di bawah ini.
Awalnya tulisan ini akan saya tayang pada tangal 5 Juli 2017, sekaligus memperingati 25 tahun meninggalnya Abel Tasman di Gunung Marapi. Karena sesuatu hal dan juga kesibukkan, jadinya publish artikel ini terundur. Â
Di Gunung Marapi ini terdapat sebuah Tugu, yakni Tugu mengenang (alm) Abel Tasman yang tewas di tempat pada hari Minggu, 5 Juli 1992. Tepatnya meninggal di kaki Puncak  Merpati (Parapati). Tetapi pemasangan Tugu tidak di sini, mengingat kontur yang terlalu miring dan menghadap ke jurang. Yang bisa membahayakan berupa tanah rengkah yang bisa longsor sewaktu penggalian pondasi.
Pemasangan posisi Tugu ini merupakan hasil kesepakatan ketika itu oleh para komunitas pendaki gunung dari Kota Padang. Sekaligus bertujuan sebagai tanda jalur naik - turun ke cadas dan/atau ke atas.
Pada awalnya setelah beberapa bulan dari kejadian yang menimpa Abel, sudah ada rencana pemasangan tugu dari organisasi Kelompok Pecinta Alam (KPA) JIPALA (Jiwa Pencinta Alam). Ya, Abel adalah anggota dari KPA Jipala.
Karena terbentur masalah dana yang tidak sedikit, ditambah dengan vakumnya aktivitas KPA Jipala beberapa lama pasca tragedi tersebut, maka realisasinya baru bisa berselang dua tahun kemudian. Dimana KPA Jipala berhasil memenangi Lomba Linta Alam (LLA) di Padang yang diadakan oleh komunitas KPA Rawa Rimba.
Dengan hasil menang lomba itulah semua uang hadiahnya disumbangkan untuk membuat tugu serta biaya logistik lainnya.
Selanjutnya, mari kita lihat lebih dekat kisah detik-detik sebelum kejadian tragedi tersebut. Tujuan utama saya lainnya juga untuk meluruskan cerita simpang siur yang beredar sejak era 2000-an tentang Tugu Abel Tasman ini dan latar belakang peristiwanya.
Uraian kisah dari para saksi hidup.
Kisah ini saya tulis bersumber dari beberapa orang sebagai saksi hidup yang selamat dari letusan Gn. Marapi. Di antaranya ; Ery Incek, dan Wing Hing Ing.
Eri Incek adalah sobat dekat saya sewaktu remaja yang sama-sama hobby berpetualang. Sering dia main ke rumah saya. Dan dari dialah sedikit banyaknya saya mendapat cerita tentang tragedi tersebut. Hingga sampai saat ini masih bisa saya ingat.
Ada lagi dua orang tetangga rumah saya yang ikut yakni; Rum, dan Us. Dari bertiga ini hanya Eri Incek yang pernah mendaki beberapa kali ke Gunung Marapi. Sementara Rum dan Us baru dikatakan pendaki pemula (perdana). Saya pun sebenarnya juga diajak ketika itu oleh Eri Incek. Tetapi kemudian saya tolak dengan alasan terlalu ramai.
Sebelumnya saya dengan Eri sudah buat kesepakatan bahwa kita mendaki Gunung tanggal 12 Juli-nya ke Gunung Marapi. Diprediksi tanggal 4-5 Juli itu bakal sangat ramai yang mendaki gunung karena sehubungan dengan libur anak sekolah telah di mulai pada awal bulan Juli.
Prediksi saya itu terbukti benar. Para pendaki gunung ini sudah ramai berkumpul di suatu titik kawasan sekaligus tempat berangkat menggunakan bus, di salah satu jalan di Kota Padang.
Saya pun sempat juga mengantarkan / mengiringi mereka dengan menggunakan motor ke Koto Baru sekaligus refreshing malam minggu bersama teman yang juga tetangga rumah (Boy). Ternyata sekali lagi prediksi saya jadi bertambah yakni para pendaki gunung telah ramai memadati lokasi titik berangkat di Koto Baru pada malam itu.
Ibarat pasar malam sehingga memacetkan jalan raya Padang -- Bukittinggi. Sebagian para pendaki itu ada yang ke Gunung Singgalang dan sebagian besarnya ke Gunung Marapi.
===
Sebelum Marapi meletus, cuaca pagi itu sangat cerah. Pemandangan lepas ke segala penjuru. Teman-teman pendaki gunung sudah banyak yang sampai ke Puncak Merpati dan berfoto-foto di sana.
Semua pendaki yang saat itu berada di atas terkejut. Begitu juga yang berada di Puncak Merpati langsung berlari tunggang langgang menuruni puncak. Eri Incek sempat terkena batu panas seukuran buah rambutan di lengannya. Membuat jacket levisnya jadi bolong.
Hujan abu langsung membumbung tinggi ke angkasa. Seiring itu pula hujan batu pun ikut menyertai. Hingga sampai ke Puncak Merpati yang berjarak kira-kira berkisar 300 meter dari Kawah Verbeck.
Mengenai tewasnya Abel Tasman, mari kita dengar dari kisah lainnya.
Berikut adalah penuturan saksi hidup Wing Hing Ing (Herwin Sukhavira) yang saat itu menyaksikan detik-detik Gunung Marapi meletus.
Saya pun berhasil melacak fb beliau dan mengundang ke dalam group Ikatan Pendaki Gunung Sumatera Barat (IPG-SB) untuk menceritakan kembali pengalamannya ketika itu.
Beruntung Wing Hing masih menyimpan dokumentasi tragedi Marapi meletus. Sebenarnya saya juga masih menyimpan dokumentasi ini, tapi sewaktu pindah ke Medan, sebagian besar album foto saya tidak ikut terbawa.
Uraian kisah beliau ini sedikit ada "pengeditan" dan penegasan kata di dalam tanda kurung. Pada intinya tidak mengubah substansi kisah nyata dari pengalaman Wing Hing Ing.
True Story Letusan Gunung Marapi Minggu, 5 Juli 1992.
(Begitu judul yang dituliskan oleh : Wing Hing Ing).
Sebenarnya ini pengalaman pahit yang kualami selama perjalanan petualanganku, karena alam memang tidak bisa diduga sebentar ramah sebentar ganas.
Membuat kita sebagai manusia harus bisa belajar, apa yang patut kamu sombongkan dengan mengatakan bisa menaklukkan banyak puncak gunung, karena kita hanyalah segelintir debu di alam semesta ini.
Ini pengalaman yang ingin kusimpan rapat-rapat sebagai masa lalu, tapi karena banyak yang penasaran cerita sebenarnya, akan saya ceritakan kejadian yang sebenarnya.....
Semula berawal dengan pendakian Marapi turun Simabua (suatu kawasan Nagari di balik Gunung Marapi).
Kami berkumpul di (jalan) Belakang Olo, Padang tempat bus berangkat.
Kami berjumlah 10 orang yang merupakan gabungan anak pencinta alam yang mangkal tiap malam minggu berkumpul disini.
Terakhir bus sampai Koto Baru jam 11 malam dan kami makan dulu di rumah makan Citra disana.
Setelah makan dan istirahat sejenak baru kami memulai mendaki dan bertemu dengan kelompok Rizal anak (kawasan) Pattimura Padang, berjumlah 5 orang yang di dalamnya termasuk Abel Tasman dan Sulastri
Mereka bergabung dengan kelompok kami untuk ikut turun ke Simabua, jadi kami semua berjumlah 15 orang jadinya.
Saya sempat mengobrol dengan Abel Tasman yang mengatakan bahwa dia terakhir naik Marapi dan mau ikut tes masuk polisi karena dia baru tamat sma waktu itu. Â Di cadas kami sampai sekitar pagi hari dan bertemu dengan rombongan bule 4 orang yang salah satunya Dosen Bahasa Universitas Bung Hatta.
Kami masih sempat mengambil foto bersama mereka. Lalu kami mulai mendaki cadas dan semuanya (kondisi) cuaca sangat cerah.
Sampai di atas kami agak terpecah rombongan karena saya, Da John, Martha, Yanti dan Jon Piter duluan turun dari Puncak Merpati mau menuju Simabua. Abel Tasman dan Sulastri posisinya sudah mendekati Puncak Merpati dan yang lainnya masih di belakang mereka menuju Puncak Merpati.
Tanpa di sangka begitu kami berlima mendekati kawah aktif sekitar 5 meter (dari bibir kawah) dan mau turun ke arah Simabua sekitar jam 9 pagi lewat sedikit, terdengar suara gemuruh dalam kawah yang keras dan Marapilangsungmeletus mengeluarkan asap hitam yang membumbung tinggi disertai batu-batu panas terlontar dari dalam kawahnya.
Kami semua terkejut tidak tahu harus berkata apa, yang saya rasakan seperti kiamat saja rasanya saat itu, Â sampai terdengar bunyi batu jatuh ke cadas baru kami tersadar dan lari kembali menuju puncak merpati.
Di Puncak Merpati ini kami berlima berlindung dengan carrier (ransel) di kepala, dan di bawah kami sekitar 10 -- 15 meter dari Puncak Merpati Abel Tasman dan Sulastri berlindung, dan yang lain berlindung tidak begitu jauh dari mereka.
Setelah Marapi tidak mengeluarkan batu lagi dan asapnya melebar, langsung kami berlima lari turun dari Puncak Merpati dan terdengar suara Sulastri minta tolong, Â " Da tolong ... awak kanai da ",katanya. (Artinya " Uda, tolong .... saya kena Da"). Maka waktu itu di tolong sama Da Jhon.
Dan kami turun agak menjauhi Puncak Merpati dan Sulastri bercerita pada kami bahwa dia sempat terkena pecahan batu di bahunya dia juga sempat pingsan sebentar sekitar beberapa detik dan waktu dia sadar dia sempat melihat Abel Tasman sudah terkapar di cadas.
Akhirnya saya sama Us yang agak pincang kakinya akibat terkilir naik lagi ke puncak merpati untuk melihat Abel Tasman.
Ternyata Abel Tasman sudah meninggal di tempat karena batu tepat mengenai kepalanya sebagian dan giginya juga hilang saya lihat, dan anehnya kejadian baru sebentar sudah ada beberapa ekor lalat hijau mengelilingi darah di kepalanya. Karena tidak tahan melihat itu saya mengambil kantung asoy (kresek:red) untuk menutupi kepalanya dan kami pun terpaksa meninggalkan Abel Tasman untuk membantu teman yang terluka.
Kalau masih hidup waktu itu kami akan berusaha untuk membantunya, tapi Tuhan berkata lain.
Teman yang terluka ditambah lagi bule yang kami temui dicadas satu orang patah kaki terpaksa dibidai dan tangannya berdarah terluka, dan cewek bule tangannya terkelupas kena asap panas karena mereka terlalu dekat dengan kawah waktu letusan itu, jadi kami yang masih sehat membantu mereka menuruni cadas.
Lalu kami membagi tenaga 2 orang disuruh dulu turun melapor kebawah secepatnya untuk minta bantuan, dan sisanya berusaha turun sambil tolong menolong. Sampai di bawah cadas disitu kami bertemu dengan anak (KPA) Suripala Bukittinggi, Â yang sengaja naik ke atas Marapi untuk memberikan bantuan.
Sampai di bawah cadas Sulastri telah kehilangan tenaganya dan terpaksa dibuat tandu dan di tambah bantuan anak Suripala kami membawanya turun ke bawah. Letusan Marapi waktu itu cukup besar dan abunya sampai di Bukittinggi dan cuaca kelam waktu itu karena abunya.
Sesampai di bawah kami bermalam di Polsek Koto Baru sambil menunggu teman dari Padang untuk S.A.R Â Abel keesokan harinya.
Dan cerita mengenai Abel tasman menolong Sulastri waktu pingsan itu mungkin benar sehingga dia tidak melihat batu tepat mengenai kepalanya.
Sebuah kejadian yang pahit ini telah merubah seluruh pandangan saya tentang hidup ini dan ini pula yang membuat saya menjadi pendaki solo, karena dalam mendaki ini membawa teman, harus punya tanggung jawab yang berat. Bukan seperti sekarang ini banyak pendaki yang egois suka meninggalkan teman, karena supaya dia dianggap cepat dan kuat.
Inilah cerita sebenarnya dari letusan Marapi (Minggu) 5 Juli 1992 yang terjadi.
Semoga ini menjadi pelajaran buat saya dan teman semua bahwa persiapan yang matang pun akan hancur berantakan kalau alam sudah berkehendak lain.
Sesudah kejadian ini Martha, Yanti dan Jon Pieter tidak mau naik gunung lagi, sedangkan yang lain saya tidak tahu kabarnya karena kami lama tidak bertemu.
===
Senin besoknya (6/7/92) baru petugas SAR dan di bantu para pendaki dari Gunung Singgalang bergerak untuk menjemput jenazah Abel ke kaki Puncak Merpati. Sedikit menemui kendala sewaktu menjemput jenazah karena khawatir sewaktu-waktu terjadi lagi letusan kecil atau istilahnya kawah "batuk-batuk".
Sambil berlari petugas SAR ini ber-estafet bergantian membawa jenazah di kawasan cadas. Baru setelah meninggalkan cadas petugas bisa lega.
Inilah sepenggal kisah dari saksi hidup yang melihat dengan mata kepala sendiri detik-detik meletusnya kawah Gunung Marapi. Semoga cerita ini bermanfaat buat generasi pendaki berikutnya.Â
Tulisan ini juga sebagai rasa hormat saya kepada teman-teman penggiat di alam bebas terkhusus buat para pendaki gunung saat kejadian tragedy tersebut, terutama kepada Wing Hing Ing, Eri incek, Rum Razi, Us, Pak Jhon, Sulastri, Zal, Martha, Yanti, Jon Pieter, dan lain-lain serta kepada Petugas SAR yang datang membantu evakuasi korban Abel Tasman.
Dan saya juga berpesan kepada para pendaki gunung yang bertujuan naik ke Gunung Marapi, harap berhati-hati serta tetap mawas diri. Mengingat kapan gunung batuk / meletus kita tidak pernah tahu.Â
Diminta juga untuk bisa menjaga dan memelihara Tugu Abel dari aksi perusakkan atau corat-coret. Karena TuguAbelsudah menjadi salah satu ikon di Gunung Marapiselain Puncak Merpati dan Kawah Utama.
Wassalam.
Notes :
Dokumentasi untuk pemasangan Tugu Abel Tasman, tidak bisa saya publikasikan karena masih tersimpan di rumah saya di Padang. Suatu saat nanti akan saya ceritakan kembali tentang kisah pemasangan Tugu tersebut, Insyaa Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H