Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Sekutu memiliki kekuasaan penuh atas wilayah pendudukan Jepang.
Belanda merasa 'ikatan'nya dengan Indonesia belum putus. Pun dengan Inggris selaku pemimpin Sekutu yang merasa berhak atas beberapa wilayah Indonesia.
Akhirnya disepakatilah perjanjian bersama itu. Inggris menyuruh Jepang mempertahankan status quonya selagi  Civil affairs Agreement dibuat.
Namun terlambat. Perjanjian itu baru ditandatangani pada 24 Agustus 1945, tepat satu Minggu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Di sisi lain, kedatangan  Belanda bersama tentara AFNEI itu, sontak menimbulkan ketegangan.
Selain disebabkan oleh perasaan muak terhadap hal-hal yang berbau penjajahan, saat itu Indonesia juga baru  berdiri . Ibarat rumah yang baru dibangun, masa mau dirobohkan lagi?
Wajarlah rakyat Indonesia  bahu membahu mempertahankan kemerdekaannya apalagi Belanda yang bersikukuh menguasai Indonesia.
Buktinya, terjadi serangkaian 'gangguan' dari Belanda. Mulai dari blokade ekonomi, pembebasan tawanan Belanda yang pernah ditahan pada masa pendudukan Jepang, hingga pengibaran bendera merah putih biru di hotel Yamato yang membuat rakyat terhina.
Tindakan Belanda yang ekstrem itu memicu pergolakan sehingga muncullah pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Masa itu disebut dengan masa revolusi fisik.
Akhirnya, untuk menekan korban jiwa, dibuatkanlah perundingan antara Indonesia dengan Belanda yang diprakarsai oleh PBB.
Perundingan pertama adalah perundingan Linggarjati yang diingkari Belanda sendiri dengan melakukan agresi militer pertamanya. Dalam agresi itu, ibukota RI pindah ke Yokyakarta.