Frasa Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristotles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dapat diartikan sebagai salah cara untuk memperebutkan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk menguntungkan diri sendiri. Muhammad Ahsan dalam kompasiana.com mengartikan, en dam onia atau the good life adalah perebutan kuasa, harta, dan tahta.
Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.
Pengertian-pengertian ini mengarahkan kepada kita agar kita dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik identitas. Selanjutnya, bagaimana seseorang atau kelompok tertentu menggunakan atau menjadikan dan men-framing isu politik identitas sebagai alat yang tepat dan menarik untuk memperebutkan kekuasaan atau kekudukan yang diinginkan. Masyarakat mudah percaya atas apa yang disampaikan oleh orang atau kelompok-kelompok tertentu pada saat menjelang pemilihan.
Politik Identitas berlaku dimana saja?
Politik identitas mempunyai pengertian yang luas, abstrak atau umum yang tak hanya terjadi atau berlaku pada bidang politik saja, melainkan sering terjadi juga di bidang atau tempat lain seperti yang sedang terjadi di lingkungan eksekutif, yudikatif, agama, sosial, organisasi, masyarakat dan lainnya. Keliru jika kita menilai bahwa politik identitas hanya terjadi atau berlaku pada bidang politik saja. Politik identitas berlaku juga di dunia eksekutif, yudikatif bahkan lingkungan sekitar keberadaan (tempat dimana kita tinggal/domisili).
Mari uji kebenarannya:
- Bidang Politik
Betul, politik identitas terlihat jelas ketika menjelang pemilihan umum (pemilu). Politik identitas sebagai alat atau kendaraan terenak bagi orang-orang atau kelompok untuk mempolitisasinya. Mempolitisasinya dengan cara yang tak profesionalisme, elegan dan tak jujur bahkan kita menggunakan alat itu untuk menjatuhkan atau menjelek-jelekan lawan politik, guna mencapai tujuan kekuasaan yang kita ingingkan atau capai.
- Bidang Eksekutif
Terlihat jelas, saat pemilihan pimpinan atau perekrutan kepegawaian/karyawan, kita selalu menggunakan politik identitas untuk menilai seseorang yang sedang melamarnya. Kita sering menggunakan “oh, dia dari suku NTT, suku Medan, suku Jawa, agama A, atau agama B dan lain sebagainya untuk menilai seseorang. Contoh: pemilihan presiden, sampai saat ini presiden harus dari suku Jawa. Jika bukan dari suku Jawa maka kita tidak memilihnya dengan alasan yang bervariatif yaitu dari jumlah pemilihnya, dari kisah sejarahnya dan lainnya.
- Lingkungan Masyarakat.
Saat pemilihan RT, RW atau Kepala Desa, kita pun sering menggunakan isu agama, suku, ras, golongan untuk mengukur, menilai para calon tersebut. Kita memprovokasi lingkungan sekitar dengan menggunakan isu politik identitas. Hingga, calon yang berkarisma, berpotensi, cerdas, mempunyai kemampuan digeser dan tak dipilih. Akibatnya pemimpin yang dipilih menggunakan isu politik identitas ini, kinerjanya menjadi buruk dan tidak efektif serta efisien.
- Organisasi
Jika mereview kembali, politik identitas terjadi juga di organisasi. Di organisasi, kita pun sering menggunakan isu politik identitas kesukuan, ke-agamaan, golongan pada saat menjelang pencalonan ketua organisasi. Organisai yang dimaksud adalah organisai di lingkungan universitas, luar universtas, organisasi keagaaman dan pemilihan ketua rukun/paguyuban.Â
Disitu, kita bisa melihat dan menyaksikan secara langsung, betapa seramnya setiap pemilih menggunakan politik identitas keagaman, kesukuan, ras dan golongan untuk menjatuhkan lawannya. Pengikut atau tim sukses salah satu kandidat selalu menggunakan cara-cara yang tidak elegan atau sportif untuk menjatuhkan kandidat lain.