OPINI ditulis oleh Fridrik Makanlehi, ST,M.,Sc
(Tokoh Muda NTT dan Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UT)
Belakangan ini muncul beragam narasi, pro dan kontra yang diungkapkan orang atau kelompok tertentu melalui jagat media dalam jaringan (daring/media masa), cetak maupun secara langsung di Indonesia, yang berisikan generalized anxiety disorder (GAD) atau gangguan kecemasan umum ditandai dengan adanya gangguan perasaaan kekhawatiran, takut yang berlebihan terkait muncul lagi ‘Politik Identitas’ (identity politics), khususnya pada saat menjelang Pemilu 2024.
Meski masih samar terdengar di khalayak umum, belum terdengar secara menyeluruh ke proletar atau akar rumput (grass roots) dan meski masih ter-bicarakan di kalangan atau orang-orang yang ibaratnya kategorikan sebagai kaum ‘elitis’ atau melek media sosial terhadap kepentingan politik. Kecemasan dan kekhatiran terus dan terus terkungkung dalam benak seseorang.
Bagi sebagian orang, politik identitas akan merusak demorasi pemilu Indonesia, merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, merusak toleransi antar beragama dan menciderai hubungan persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Tak hanya itu, juga dapat menyebabkan kaum minoritas merasa akan kehilangan hak pilih atau hak untuk dipilih yang sama dengan kaum mayoritas dalam pemerintahan negara, khususnya dalam hal mengikuti pemilu maupun pemilihan apa saja.
Apa itu Politik?
Istilah atau kata ‘Politik’ pertama kali diperkenalkan dan digunakan oleh Filsuf Yunani Kuno ternama Aristoteles, dengan penyebutan nama saat itu yaitu "Zoon Politikon". Turunan dari politik adalah ‘polites’ merupakan warga negara, ‘politeia’ berarti hal-hal yang berhubungan dengan negara, ‘politika adalah pemerintahan negara’, "politikos adalah kewarganegaraan". Politik menurut teori klasik dari Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama; dalam artian ‘berurusan dengan negara atau pemerintahan dalam mewujudkan kebaikan bersama’.
Wikipedia.org menjelaskan, Zoon Politicon merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut makhluk sosial. Kata Zoon Politicon merupakan padanan kata dari kata Zoon yang berarti "hewan" dan kata politicon yang berarti "bermasyarakat". Secara harfiah Zoon Politicon berarti hewan yang bermasyarakat.
Brainly.co.id, manusia disebut sebagai zoon politicon atau mahluk sosial karena dalam kehidupannya manusia senantiasa membutuhkan manusia lainnya, agar tetap bisa melangsungkan hidup. Manusia-manusia ini memiliki peran dalam pemenuhan kebutuhan satu sama lain dalam segala bidang, sehingga membentuk suatu sistem.
Menurut tirto.id, Ari Wibowo dalam tesis berjudul “Implementasi Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia” (2014) menyebutkan, politik pada awal kemunculannya merupakan sebuah usaha untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Plato dan Aristotles menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life.
Wikipedia mengatakan, politik berasal dari bahasa Yunani yakni politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara, adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Andrey Heywood menjelaskan, pengertian politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Apa itu Identitas?
Kata ‘identitas’ dari bahasa inggris ‘identity’ yang berarti jati diri, ciri-ciri dan tanda-tanda yang menempel langsung pada seseorang.Wikipedia menuliskan, Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap.
Pada dasarnya, identitas itu disematkan untuk menjawab pertanyaan, seperti: ‘Siapa saya?’, ‘Apa yang ada pada diri saya?’ atau lebih tepat identitas berbicara tentang jati diri seseorang. KBBI menjelaskan, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri. Contoh: jati diri pencuri itu sudah diketahui oleh pihak keamanan; yaitu pencuri itu bercirikan badan besar, kulit berwarna terang, rambut lurus, badan kekar, rambut pirang dan lainnya.
Apa itu Politik Identitas?
Frasa politik identitas terdiri dari dua kata yaitu ‘politik dan identitas’, yang disatukan menjadi satu ikatan; tentunya memiliki pengertian yang luas atau umum. Politik identitas adalah sebuah sarana yang digunakan oleh orang-orang atau kelompok tertentu dengan cara menggunakan unsur suku, agama, ras maupun golongan untuk memperebutkan sebuah kekuasaan (power) atau memperbutkan apa yang diinginkannya. Istilah politik identitas itu muncul sejak tahun 1970-an. Disitu politik identitas dijadikan sebagai bagian dari salah satu wacana untuk menggerakan politik pengakuan.
Mengutip dari laman Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr M Arskal Salim GP menyebutkan politik identitas dalam bidang Ilmu Sosial dan Humaniora dimaknai sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik, dan ideologi politik. Politik identitas menggerakkan aksi-aksi untuk meraih tujuan politik tertentu.
Ini mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama. Umumnya, politik identitas dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun arjinal dalam upaya melawan ketidakadilan attau ketimpangan sistem.
Wikipedia.org mengatakan, Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.
Frasa Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristotles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dapat diartikan sebagai salah cara untuk memperebutkan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk menguntungkan diri sendiri. Muhammad Ahsan dalam kompasiana.com mengartikan, en dam onia atau the good life adalah perebutan kuasa, harta, dan tahta.
Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.
Pengertian-pengertian ini mengarahkan kepada kita agar kita dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik identitas. Selanjutnya, bagaimana seseorang atau kelompok tertentu menggunakan atau menjadikan dan men-framing isu politik identitas sebagai alat yang tepat dan menarik untuk memperebutkan kekuasaan atau kekudukan yang diinginkan. Masyarakat mudah percaya atas apa yang disampaikan oleh orang atau kelompok-kelompok tertentu pada saat menjelang pemilihan.
Politik Identitas berlaku dimana saja?
Politik identitas mempunyai pengertian yang luas, abstrak atau umum yang tak hanya terjadi atau berlaku pada bidang politik saja, melainkan sering terjadi juga di bidang atau tempat lain seperti yang sedang terjadi di lingkungan eksekutif, yudikatif, agama, sosial, organisasi, masyarakat dan lainnya. Keliru jika kita menilai bahwa politik identitas hanya terjadi atau berlaku pada bidang politik saja. Politik identitas berlaku juga di dunia eksekutif, yudikatif bahkan lingkungan sekitar keberadaan (tempat dimana kita tinggal/domisili).
Mari uji kebenarannya:
- Bidang Politik
Betul, politik identitas terlihat jelas ketika menjelang pemilihan umum (pemilu). Politik identitas sebagai alat atau kendaraan terenak bagi orang-orang atau kelompok untuk mempolitisasinya. Mempolitisasinya dengan cara yang tak profesionalisme, elegan dan tak jujur bahkan kita menggunakan alat itu untuk menjatuhkan atau menjelek-jelekan lawan politik, guna mencapai tujuan kekuasaan yang kita ingingkan atau capai.
- Bidang Eksekutif
Terlihat jelas, saat pemilihan pimpinan atau perekrutan kepegawaian/karyawan, kita selalu menggunakan politik identitas untuk menilai seseorang yang sedang melamarnya. Kita sering menggunakan “oh, dia dari suku NTT, suku Medan, suku Jawa, agama A, atau agama B dan lain sebagainya untuk menilai seseorang. Contoh: pemilihan presiden, sampai saat ini presiden harus dari suku Jawa. Jika bukan dari suku Jawa maka kita tidak memilihnya dengan alasan yang bervariatif yaitu dari jumlah pemilihnya, dari kisah sejarahnya dan lainnya.
- Lingkungan Masyarakat.
Saat pemilihan RT, RW atau Kepala Desa, kita pun sering menggunakan isu agama, suku, ras, golongan untuk mengukur, menilai para calon tersebut. Kita memprovokasi lingkungan sekitar dengan menggunakan isu politik identitas. Hingga, calon yang berkarisma, berpotensi, cerdas, mempunyai kemampuan digeser dan tak dipilih. Akibatnya pemimpin yang dipilih menggunakan isu politik identitas ini, kinerjanya menjadi buruk dan tidak efektif serta efisien.
- Organisasi
Jika mereview kembali, politik identitas terjadi juga di organisasi. Di organisasi, kita pun sering menggunakan isu politik identitas kesukuan, ke-agamaan, golongan pada saat menjelang pencalonan ketua organisasi. Organisai yang dimaksud adalah organisai di lingkungan universitas, luar universtas, organisasi keagaaman dan pemilihan ketua rukun/paguyuban.
Disitu, kita bisa melihat dan menyaksikan secara langsung, betapa seramnya setiap pemilih menggunakan politik identitas keagaman, kesukuan, ras dan golongan untuk menjatuhkan lawannya. Pengikut atau tim sukses salah satu kandidat selalu menggunakan cara-cara yang tidak elegan atau sportif untuk menjatuhkan kandidat lain.
Tuduhan Politik Identitas Kepada Anies Baswedan
Belakangan ini muncul tuduhan politik identitas kepada Anies Baswedan. Calon presiden yang diusung oleh Partai NasDem ini kerap disebut-sebut memainkan isu agama yang dikategorikan sebagai politik identitas sejak Pemilihan Gubernur (Pilgub) tahun 2017. Isu agama itu mengundang netizen untuk melabeli atau men-capnya sebagai “Bapak Politik Identitas”. Kelompok-kelompok oposisi mengganggapnya sebagai orang yang mendalang atau memanfaatkan kelompok Islam untuk menyerang pesaing politiknya, yakni Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
Akademisi Muhammadiyah, Edi Sugianto mengatakan, politik identitas yang disematkan atau dilabelkan kepada Anies Baswedan memang tidak akan pernah selesai (terus berkelanjutan). Ketidakterimaan mereka terhadap kemenangan Anies Baswedan tersebut berakibatkan munculnya kedengkian atau kedendaman yang belum terbereskan dan belum ter-move on.
Orang-orang atau kelompok yang tidak bisa move on itulah yang dapat menciptakan cara-cara yang tidak sehat melalui framing kata, bahasa dan sikap untuk menjatuhkan elektabilitas Anies; 1000 macam kata, doktrin dilakukannya untuk menggulingkan Anies Baswedan. Tujuannya adalah semakin hari, semakin rakyat membenci dan tidak memilih Anies Baswedan untuk bertarung di pemilihan presiden 2024.
Menurut saya, menggunakan isu politik identitas untuk menyerang seseorang merupakan hal yang lucu, aneh, tidak tepat sekaligus pandir. Mengapa lucu atau pandir? Karena tuduhan yang disematkan kepada Anies Baswedan sepertinya tidak tepat dan tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Anies, saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI.
Awal Isu Agama pada Pilgub DKI
Menjelang pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017, isu penggunaan ayat agama disebutkan oleh Ahok. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut pernah mengutip Al-Maidah ayat 51 sebelum menyampaikan pidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Ahok menyebut “jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah”. Ini menjadi bola panas hingga merajalela ke pelosok Indonesia. Menyebut ayat tersebut berarti ia sendiri sedang menggunakan ‘politik isu agama’ untuk menghajar lawannya, dalam hal ini menghajar Anies Baswedan. Ia menilai bahwa Anies menggunakan surat Al-Maidah untuk meruntuhkan kemenangannya, Ahok.
Dari data ini, lantas siapa yang layak dinilai ‘Bapak Politik Identitas’? silakan kita menilai secara benar, nyata, jujur dan bertanggung jawab kepada publik. Secara pribadi, saya menilai bahwa Anies bukan ‘Bapak Politik Identitas tetapi Politik Toleransi’.
Mari kita lihat datanya, pada bulan September 2022, “Anies menggunakan stola gereja sambil meresmikan dua rumah ibadah yaitu Gereja Bethel Indonesia (GBI) Jelambar Timur di Penjaringan, Jakarta Utara dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Yordan Gading Griya Lestari di Cilincing, Jakarta Utara. Tidak hanya itu, ia juga memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kurang lebih 30-an rumah ibadah nonmuslim. Ini adalah bukti bahwa Anies sangat mencintai toleransi antar umat beragama.”
Tuduhan Politik Identitas ke Anies adalah Salah Alamat
Ketua DPP Partai NasDem, Effendy Choirie atau Gus Choi sering mengatakan bahwa narasi politik identitas yang disematkan atau dialamatkan kepada Anies Baswedan merupakan hal yang tidak benar atau salah alamat. Mengapa? Dalam program Catatan Demokrasi yang diadakan oleh tvOneNews melalui kanal YouTube, ia mengatakan bahwa “Itu sebetulnya cap yang salah alamat”. Gus Choi membenarkan bahwa stigma politik identitas muncul setelah Pilkada DKI Jakarta 2017. Lebih lanjutnya, Gus Choi menambahkan, Ahoklah yang sebenarnya menjadi pemicu utama dan membangun narasi munculnya isu politik identitas. “Sebetulnya sebelum ada Pilkada DKI, hal-hal seperti itu kan tidak ada. Ketika Pilkada DKI kasus Ahok, itulah kemudian muncul,” dan “Sebetulnya kalau kita teliti ke belakang, sebetulnya munculnya karena statement Ahok. Sebelumnya kan tidak ada”.
Maka itu, benarkah Anies Baswedan ‘Bapak Politik Identitas’? tidak benar, sekali lagi saya bilang ‘tidak benar: Anies Baswedan bukan bapak politik idetitas tetapi bapak politik toleransi’. Sebab, berdasarkan informasi atau data diatas, sudah tentu kita tidak bisa melabelkan Anies Baswedan sebagai politik identitas. Ketika kita melabelkan Anies Baswedan sebagai politik identitas, maka bagi saya itu merupakan sebuah penilaian atau penyematan yang keliru, tidak benar, tidak tepat dan tidak jujur atas data fakta yang telah ada. Bagi saya, penyematan politik identitas itu merupakan salah alamat dan dan juga hanyalah tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar. Anies banyak melakukan bantuan-bantuan kepada kaum nonmuslim, hanya saja tidak terpublikasi secara terbuka di medsos atau publik.
Kesimpulan
- Sebelum kita menyematkan atau melabelkan politik identitas kepada orang lain, alangkah baiknya jika kita pun terlebih dulu mengintropeksi diri “saya pernah berpolitik identitas atau belum?”, “semasa masih aktif di organisasi baik di universitas, organisasi luar, organisasi aktivis, organisasi kerohanian, lingkungan masyarakat, organisasi perusahaan dan lainnya, pernahkan kita mengunakan isu politik identitas seperti isu kesukuan, agama, ras dan antar golongan untuk menumbang atau menjelek-jelekan kandidat lain? jika pernah, maka kita pun tidak perlu menyematkan politik identitas kepada siapa saja. Dalam sebuah pepatah mengatakan, “keluarkanlah dahulu balok (tai mata) dari mata sendiri sebelum kita mengeluarkan balok itu dari mata orang lain”.
- Dari jejak Anies Baswedan, saya menilai bahwa Anies bukan “Bapak Politik Identitas melainkan politik toleransi”.
- Pernahkah gubernur lain yang beragama muslim memberikan IMB rumah ibadah nonmuslim dan beranikah gubernur lain memakai stola dan berdiri di atlar lalu meresmikan rumah ibadah nonmuslim? Jika pernah, berapa banyak, dimana, dan kapan dilakukannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H