Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik

13 Februari 2019   07:10 Diperbarui: 13 Februari 2019   09:03 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi KampungNTT

Pendahuluan

Lama sebelumnya, Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Centesimus Annus telah menguraikan minimnya penegakkan hak-hak manusia baik oleh manusia itu sendiri maupun oleh lembaga negara, khususnya dalam negara-negara yang berhaluan demokrasi. 

Paus memperlihatkan salah satu krisis bagi negara demokrasi adalah kehilangan kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan demi kesejahteraan umum. 

Dalam negara demokrasi, tuntutan terhadap perkembangan masyarakat tidak dikembangkan menurut norma moralitas dan keadilan melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh bahkan menurut kemampuan financial dari kelompok-kelompok tertentu. 

Paus melanjutkan, lambat laun, kemerosotan perilaku politik merongrong segala kepercayaan dan menimbulkan sikap apatis, sehingga partisipasi politik mengalami kemunduran dan semangat kewarganegaraan turun di kalangan masyarakat, yang merasa dirugikan dan mengalami frustrasi. 

Paus Yohanes Paulus II juga mencatat bahwa keterlibatan dalam politik merupakan sikap yang terus dianjurkan oleh Gereja, justru karena inti perjuangan itu terletak pada visi tentang martabat pribadi manusia, yang jelas diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma. 

Karena Gereja merupakan pakar perihal kemanusiaan maka martabat pribadi manusia merupakan inti dari perjuangannya. Martabat pribadi manusia merupakan dasar bagi perjuangan kesejahteraan umum, dalam arti bahwa segala perjuangan politik, jika dikatakan bertujuan untuk kesejahteraan umum, maka pertama-tama yang diupayakannya adalah perjuangan akan martabat manusia itu sendiri.

Penegasan di atas mengingatkan kita akan keterlibatan kita sebagai warga negara dalam politik. Di tengah politik ditengarai oleh berbagai penyimpangan, sebagai manusia yang bermartabat, kita justru terpanggil untuk mengembalikan berbagai penyimpangan politis itu dengan cara benar-benar terlibat menurut norma moral dan keadilan. Keterlibatan ini, tidak lain dan tidak bukan adalah perwujudan hak asasi kita sebagai makhluk ciptaan dan makhluk sosial.

Dimensi Teologis Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia secara teologis didefenisikan sebagai "yang terberi dari Allah sejak diciptakan (dilahirkan)". Yang terberi dari Allah adalah kehidupan, maka kehidupan merupakan hak kodrat yang terus dikehendaki oleh semua negara dan semua warganegara. Tidak ada satupun perjuangan di dunia ini selain kenyataan bahwa perjuangan itu dilakukan demi eksistensi dan esensi setiap pribadi manusia.

Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik Pacem in Terris, mulai dari artikel 11-27 menyebutkan dan menguraikan hak-hak yang tergolong dalam hak asasi manusia. 

Semua hak itu berpuncak pada satu yakni hak hidup yang ditempuh melalui berbagai keterlibatan pribadi dan sosial, penghargaan akan martabat manusia dengan upaya-upaya material sewajarnya dan pelayanan yang seadil-adilnya.

Segala upaya dan pelayanan yang dilakukan semakin menegaskan pribadi manusia sebagai makhluk sosial dengan titik tolak martabatnya terlibat aktif dalam kehidupan umum, membawa sumbangannya sendiri kepada kesejahteraan umum. 

Di sini, setiap manusia bukanlah unsur pasif dalam masyarakat melainkan sebagai pemeran utama dalam kehidupan umum.  

Dimensi teologis Hak Asasi Manusia terletak pada suatu kenyataan keterciptaan bahwa kehidupan adalah suatu pemberian dari Sang Pencipta,  yang pelaksanaannya ditempuh melalui pelaksanaan hak-hak entah sebagai pribadi maupun dalam hidup bersama. 

Dalam arti ini, keterlibatan seseorang dalam politik, ketika politik dimengerti sebagai perjuangan akan martabat manusia dan kesejahteraan umum, merupakan perwujudan dari hak hidup dengan mengingat bahwa hak hidup tidak hanya diperjuangkan oleh individu itu sendiri hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk kehidupan sesamanya.

Dimensi Personal Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia secara personal merupakan hak yang melekat dalam kemanusiaan kita, yang tanpa hak itu, mustahil kita disebut sebagai manusia. Hak yang dimaksud adalah hak untuk hidup, hak untuk dihargai dan hak untuk terlibat dalam kehidupan umum sebagai perwujudan dari status sejak diciptakan yakni saling melengkapi dan saling membutuhkan.

Dimensi personal Hak Asasi Manusia menandaskan bahwa Hak Asasi Manusia memang dipenuhi dalam kehidupan di dunia ini, dan oleh setiap pribadi manusia tetapi tidak hanya untuk diri sendiri. 

Hak Asasi manusia, karena yang tertinggi adalah hak untuk hidup, maka penggunaannya tidak boleh mengabaikan hak orang lain. 

Di sini, pemenuhan Hak Asasi Manusia, melekat erat dengan hak-hak bernegara dan berbangsa, di mana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menampakkan secara jelas dimensi sosial manusia.

Dimensi Politis Hak Asasi Manusia

Dalam konteks kehidupan bernegara, dimensi politis Hak Asasi Manusia nampak dalam penggunaan hak untuk terlibat dalam politik semisal hak untuk memilih dalam pemilu, mengingat bahwa kehidupan bernegara sebagai kenyataan yang dihidupi oleh manusia-manusia, tidak dapat menyangkal bahwa perjuangan akan kesejahteraan umum tidak terlepas dari keterlibatan sesama yang lain, dalam hal ini; kekuasaan pihak lain yang mengatur dan menatanya. 

Dengan terlibat dalam politik, seseorang justru makin menegaskan hak asasinya yang asli yakni menjunjung tinggi kehidupan dirinya dan kehidupan sesamanya. Substansinya adalah tentang kehidupan dan pelaksanaannya dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik.

Dimensi politis dari Hak Asasi Manusia juga nampak dalam perjuangannya menentukan pemimpin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dengan memilih pemimpin, seseorang tidak hanya taat aturan tetapi pertama-tama yang muncul dari tindakan memilihnya adalah menghargai adanya orang lain dan memberi kepercayaan terhadap orang lain, sebagaimana tuntutan kodrat sosialnya yakni hidup saling melengkapi dan saling membutuhkan. 

Walaupun demikian, sikap taat aturan perlu dipandang sebagai sarana yang dapat mengatur seseorang membatasi dirinya dalam pemenuhan hak-haknya mengingat bahwa masih ada hak-hak orang lain juga.

Hak Asasi Manusia Bukanlah Alasan Untuk Alergi Politik

Ketika berbagai praktek dan kebijakan politik menyimpang dari norma moral dan keadilan, maka Hak Asasi Manusia yang menjunjung tinggi martabat manusia merupakan dasar keterlilbatan bagi setiap orang untuk memperjuangkan agar kehidupan politik kembali pada tujuan luhurnya yakni kesejahteraan umum. 

Dalam arti ini, Hak Asasi Manusia bukanlah dasar yang tepat bagi seseorang untuk alergi politik atau membangun sikap apatis terhadap politik. Hak Asasi Manusia justru merupakan titik tolak paling utama bagi seseorang untuk terlibat dalam bidang politik.

Perjuangan hak asasi ini akan terperangkap dalam suatu sikap egosentris jika tidak mengandaikan yang lain sebagai rekan seperjuangan. Bahkan atas cara itu, seseorang bisa terperangkap dalam asumsinya sendiri serentak memandang politik sebagai suatu dunia yang jauh dari jangkauan manusia.

Hak Asasi Manusia Bukanlah Alasan Yang Tepat Untuk Golput

Golput merupakan pilihan tetapi secara demokratis, golput bukanlah pilihan demokratis. Apalagi menggunakan Hak Asasi Manusia sebagai dasar untuk tidak memilih dalam pemilu alias golput. 

Di sini, golput bukanlah suatu kebajikan, ketika perjuangan akan hak untuk hidup selalu merupakan perjuangan bersama. Dalam konteks negara demokrasi, Hak Asasi Manusia justru nampak secara manusiawi dalam sikap memilih pemimpin melalui pemilu.

Seringkali, golput berdiri di atas alasan bahwa tidak ada pemimpin yang layak entah secara kualitatif maupun secara integral. Menurut hemat saya, dengan titik tolak manusiawi, golput justru merupakan cara yang makin memperparah  kondisi di mana, orang yang memilih golput sama sekali tidak terlibat untuk menentukan nasib hidupnya dalam konteks yang lebih luas dan lebih umum.

Hak Asasi Manusia Dalam Pusaran Politik

Tujuan utama dari politik adalah memperjuangkan kesejahteraan umum yang nyata melalui perhatian dan pelayanan terhadap martabat manusia. Merupakan hak asasi yakni hak yang berpihak pada kehidupan kalau benar-benar dinyatakan melalui sikap peduli terhadap politik. Dalam arti ini, Hak Asasi Manusia menempati posisi strategis dalam politik. 

Disebut posisi strategis karena antara Hak Asasi Manusia dan politik, keduanya disatukan dalam satu inti perjuangan yakni martabat pribadi manusia. Pemenuhan terhadap martabat pribadi manusia ini tidak dilakukan secara sendirian, walaupun setiap pribadi manusia adalah pemerannya. 

Perjuangan ini membutuhkan suatu konteks sosial dan ruang sosial. Ruang sosial dalam kehidupan bernegera itulah yang kita sebut sebagai politik. Di sini, politik dimengerti sebagai ruang dan aktivitas untuk memperjuang kesejahteraan umum.

Perjuangan akan kesejahteraan umum ini, dalam tradisi negara demokrasi, tidak dapat terhindarkan dari kenyataan memilih pemimpin dalam pemilu. Maka menurut hemat saya, golput dalam pemilu merupakan suatu kegagalan dalam mengejawantahkan Hak Asasi Manusia.

Sebagai catatan kritis, golput merupakan suatu sikap kontraproduktif di tengah bangsa sedang mengalami krisis perhatian dan pelayanan terhadap kesejahteraan umum. 

Miris, jika segala upaya bertujuan untuk kesejahteraan umum tetapi keterlibatan dalam memilih justru diabaikan, sementara perjuangan akan kesejahteraan umum tidak terlepas dari kekuasaan yang dipercayakan kepada seseorang atau seorang pemimpin.

Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa pemilu bukan untuk memilih yang terbaik melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Dengan memperhitungkan segala keterbatan dan kelemahan manusiawi, seseorang justru atas sikapnya yang memilih golput dalam pemilu makin memperparah kondisi demokrasi. 

Setiap orang perlu meyakini dirinya sendiri bahwa dengan memilih, ia berkontribusi untuk menentukan kemajuan bangsa ini melalui figur yang dipilihnya. Dengan memilih, seseorang tidak hanya menegaskan bahwa ia hidup melainkan atas cara itu, ia juga berpartisipasi menghidupi demokrasi.

Sumber Bacaan :

 

Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes

Katekismus Gereja Katolik

Kompendium Katekismus Gereja Katolik

Ensiklik Pacem In terries oleh Paus Yohanes XXIII

Ensilik Centesimu Annus oleh Paus Yohanes Paulus II

Kompendium Ajaran Sosial Gereja

Dokumen Ajaran Sosial Gereja

Frans Ceunfin, Hak-Hak Asasi Manusia, Aneka Suara dan Pandangan


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun