Kesadaran akan kekurangan manusia menjadi pendorong bagi auditor untuk terus belajar, mengembangkan diri, dan meningkatkan kualitas audit mereka. Mereka tidak hanya menerima keterbatasan dan kekurangan pribadi mereka, tetapi juga menyadari bahwa setiap orang memiliki keterbatasan yang harus diakui dan diperbaiki.
Secara keseluruhan, model Hanacaraka memberikan panduan yang kuat bagi auditor perpajakan untuk menjalankan tugas mereka dengan integritas, kehati-hatian, keadilan, dan kesadaran akan kodrat Tuhan. Model ini tidak hanya mengarah pada praktik audit yang lebih baik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan integritas pribadi yang kuat dalam diri auditor.
Penerapan praktis model dialektika Hanacaraka dalam auditing perpajakan dapat dilakukan dalam beberapa tahapan dan aspek. Berikut adalah contoh penerapan praktisnya:
Penyusunan Prosedur Audit: Auditor perpajakan dapat menggunakan konsep Ha Na Ca Ra Ka (Adanya Utusan Tuhan) untuk membangun prosedur audit yang berbasis pada integritas dan kejujuran. Mereka dapat mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam setiap langkah audit yang mereka lakukan, seperti memastikan kejujuran dalam pengumpulan data dan pelaporan hasil audit.
Analisis Risiko dan Kepatuhan: Dalam menganalisis risiko dan kepatuhan, auditor perpajakan dapat menggunakan konsep Da Ta Sa Wa La (Kodrat Tuhan yang Tidak Bisa Diingkari). Mereka dapat memahami bahwa setiap hasil audit adalah bagian dari keputusan Tuhan, sehingga mereka perlu menganalisis dengan hati-hati potensi risiko dan kepatuhan dalam konteks tersebut.
Rekomendasi Perbaikan: Ketika memberikan rekomendasi perbaikan, auditor perpajakan dapat menggunakan konsep Pa Dha Ja Ya Nya (Pertimbangan dan Berpasangan). Mereka dapat mempertimbangkan dengan cermat semua faktor yang relevan dan memberikan rekomendasi yang seimbang dan bermanfaat bagi klien mereka.
Peningkatan Kualitas Audit: Auditor perpajakan juga dapat menggunakan konsep Ma Ga Ba Tha Nga (Manusia yang Memiliki Kekurangan) untuk terus meningkatkan kualitas audit mereka. Mereka dapat melihat setiap kekurangan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang, sehingga meningkatkan kualitas audit secara keseluruhan.
PERBANDINGAN ANTARA DIALEKTIKA HEGELIAN DAN HANACARAKA
Dialektika Hegelian dan Hanacaraka adalah dua pendekatan yang berbeda dalam melakukan audit perpajakan. Dialektika Hegelian menekankan logika dialektis untuk memahami kontradiksi dalam sistem perpajakan dan mencari solusi yang lebih baik, sementara Dialektika Hanacaraka lebih fokus pada simbol-simbol dan makna filosofis dalam bahasa Jawa kuno untuk menganalisis aspek-aspek audit perpajakan.
Dalam Dialektika Hegelian, auditor memeriksa kontradiksi antara kebijakan perpajakan dan praktik pelaksanaannya. Mereka menggunakan logika dialektis untuk memahami perubahan yang diperlukan dalam sistem perpajakan dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Pendekatan ini sangat berguna dalam mengidentifikasi kelemahan sistem perpajakan dan menyusun strategi perbaikan yang konkret.
Di sisi lain, Dialektika Hanacaraka lebih menekankan pada aspek spiritual dan filosofis dalam audit perpajakan. Auditor menggunakan simbol-simbol Hanacaraka untuk menganalisis hubungan antara pajak dan masyarakat secara lebih dalam. Pendekatan ini dapat memberikan wawasan yang unik tentang bagaimana sistem perpajakan mempengaruhi budaya dan nilai-nilai lokal.