Mohon tunggu...
Freema H. Widiasena
Freema H. Widiasena Mohon Tunggu... Buruh - Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Suka menyendiri dan suka bersama. Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kenapa Saya (Enggak Pakai WA dan) Pilih Pakai Telegram?

25 November 2022   23:21 Diperbarui: 25 November 2022   23:34 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percayalah, saya ini tergolong udik untuk urusan medsos. Saya yakin, buanyakkk di luaran sana yang diam-diam mungkin memilih jalan hidup seperti saya.

Bukan karena kami generasi tua yang emang telat medsos, namun memang dengan sesengaja-sengajanya memilih untuk menghindari, lebih tepatnya tidak memprioritaskan medsos dalam keseharian.

FACEBOOK

Anda yang awal-awal pernah terkoneksi dengan saya melalui fesbuk, Anda mungkin masih inget jika saya pakai akun milik istri. Ya, saya nebeng akun istri untuk berkoneksi dengan rekan-rekan.

Waktu awal fesbuk meledak/booming, aplikasi ini banyak dibahas di banyak media. Baik online maupun offline. Offline?

Ya! Saat fesbuk mulai mendaki popularitasnya, kala itu media cetak masih berjaya. Media daring (dalam jaring/online) serasa masih menjadi pelengkap saja.

Orang berfesbuk, atau gaulnya: fesbukan, masih dominan pakai komputer. Android masih belom terdengar kiprahnya kala itu. Mungkin sudah ada, tapi masih entah di mana.

Ponsel kebanggan orang kala itu adalah Blackberry. Selebihnya ada yang pegang iPhone mungkin. Sisanya ya masih ponsel tulalit.

Itulah kenapa fesbuk meledak di jagad komputer, bukan ponsel.

Anda yang segenerasi dengan saya pasti ingat masa-masa itu.

***

Saat lihat istri fesbukan, dan recehnya isi fesbuk yang saya nilai kala itu, saya sampai mengolok-olok istri, "Makanan apaan sih ini fesbuk?"

Tapi saya dengan jujur minta ijin nebeng akun dia. Karena saat itu yang kami lihat dalam fesbuk adalah revolusi Friendster yang sukses meranglkai kembali jalur pertemanan yang terputus, terpotong, dan terpisah karena keterbatasan artifisial jaman.

Berangkat dari mindset tersebut, kami memfatwa diri bahkan teman kami adalah teman bersama. Temannya istri adalah teman saya juga, dan teman saya adalah temannya istri juga. Lebih detailnya: kami berdua harus bersama berkumpul dengan semua teman kami, bukan kami "terpisah" dengan teman masing-masing sendiri-sendiri.

***

Meskipun mulai booming, Fesbuk kala itu masih teramat sangat sederhana. Fiturnya sederhana. Isinya sederhana.]

Setelah sekian lama berfesbuk dengan nebeng akun istri, saya mulai menemukan fungsi positif fesbuk. Group yang adanya di Yahoo Groups atau bulletin-board, akhirnya saya dapati perbaruannya di grup fesbuk, setelah kemudian fesbuk meluncurkan fitur grup dari yang awalnya belom ada. Lebih enak diikuti,

Grup yang saya ikuti pun jadi ruame banget.

Teman-teman saya pun, mulai ngoceh dengan bahasa internal kami, yang ini membuat istri jadi riskan: takut teman-teman dia salah paham.

Melihat situasi yang semakin "rumyam" ini pun, akhirnya kami memutuskan "berpisah". Saya bikin akun sendiri, memigrasi semua teman personal saya ke akun saya sendiri, dan nimbrung di Grup dengan identitas saya pribadi, bukan lagi dengan identitas bersama: saya dan istri.

Akun istri pun kemudian menjadi "bersih". Isinya kemudian hanya orang-orang yang memang terkoneksi dengannya saja, enggak lagi campur dengan teman-teman saya.

***

Sampai akhirnya datanglah tragedi itu. Pemilu 2014. Menjadi bencana jagad maya bagi saya.

Teman-teman yang awalnya enjoy semua tanpa ada identitas sektarian, mendadak semua serasa melepas topeng dan menampakkan wujud aslinya.

Teman-teman saya yang jumlahnya ribuan, kemudian bergerak menyamping ke kubu satu dan dua. Hanya segelintir kecil yang masih bersama saya di titik tengah, manusia netral tanpa kubu.

Linimasa saya yang awalnya serba indah, lucu, dan seru, mendadak menjadi ajang perang Baratayudha yang tak kenal ampun.

Semuanya, baik kubu satu maupun dua, berfesbuk dengan satu hal yang sama: berteriak dalam bahasa masing-masing namun sama-sama ilogikal.

Saya mendadak bengong melongo mendapati kondisi ini. Inikah kenyataan sebenarnya yang ada di muka bumi ini?

Hari demi hari, saya bukannya menikmati fesbuk, yang adalah malah depresi karena fesbuk. Bukan karena fesbuknya sebenarnya, melainkan karena para penghuni fesbuknya.

Fesbuk isinya pertikaian yang sama-sama enggak jelas. Apapun itu, intinya semua ilogikal bagi saya.

Hingga saya bikin keputusan yang bikin hidup saya mulai nyaman: saya hapus semua pertemanan saya. Semua!

Ya, kini teman saya adalah nol jumlahnya. Sampai saya diprotes oleh banyak teman, "Kenapa permintaan pertemananku enggak kamu terima?"

Saya pastikan, saya berteman dengan semuanya, tanpa saya harus menerima pertemanan. Caranya adalah dengan dengan membukan pengaturan/setting publik pada posting tertentu saya untuk bisa dibaca dan dikomentari oleh sesiapa saja. Tanpa harus berteman terlebih dahulu.

Saya meng-open source-kan (sebagian) posting fesbuk saya.

Akhirnya protes ini reda dengan sendirinya. Beberapa teman yang kesal karena permintaan pertemanannya saya abaikan, akhirnya memilih mengikuti/follow saya dengan sadar dan ikhlas.

Hehehehehe....

Dengan demikian, khittah fesbuk sebagai ajang silaturahmi bukan sebagai ajang pertikaian tetap saya dapatkan. Saat ini saya menulis posting ini, saya hanya menggunakan fesbuk untuk nimbrung di grup saja, yang tampaknya mulai makin sepi. Tebakan saya: karena semua sudah boyongan ke WA.

Sesekali aja posting di wall sendiri, semacam buat me-log isi benak. Eh, tapi sesekali saya ini kayaknya rajin juga....

Oia, saya juga tetap berfesbuk dengan komputer. Bukan dengan aplikasi, baik fesbuk maupun Messenger-nya.

Artinya, saya hanya nongol ya ketika aktif di kompie. Di kompie juga, panggilan video dan suara/voice call juga bisa dilakukan. Asal kompienya pas ada kamera video dan mikroponnya.

Selebihnya, artinya ya saya sedang tidak (bisa/ingin) terkoneksi. Entah karena lagi ada kesibukan, nyetir, ngobrol dengan rekan, mandi/makan, atau sedang istirahat. Semacam itulah adanya saya offline.

Alhamdulillah, hidup saya nyaman dengan cara ini.

WHATS APP

Pertama kali saya memasang/install Whats App (WA) adalah saat ponsel masih 3G. Belom ada 4G-4Gan kala itu. Saya memasang WA karena rekues teman-teman.

Setelah saya pasang, bajigur, hidup jadi amburadul. Begitu diketahui saya aktif WA, saya langsung dicemplungkan ke grup-grup WA.

Ponsel spek alakadarnya itu berkali-kali hang karena kebanyakan menerima posting. Di sinilah masalahnya: hang. Bukan karena saya anti-sosial atau enggak mau grup-grupan.

Tidak begitu lama, mungkin hanya dalam hitungan bulan, saya bongkar lagi WA yang ada di ponsel.

Dunia kembali senyap dan tenang bagi saya.

Jika ada urusan penting, telepon dan SMS masih sangat bisa diandalkan. Jika ada urusan berkomunikasi dengan berkas pekerjaan, email masih menjadi andalan hebat kala itu. Dan memang pada kenyataannya saat itu, WA masih hanya sebatas menjadi pengganti SMS yang bebas pulsa, karena dia pakai data dan itu memang relatif kecil.

Telepon, dibantu sedikit kiprah SMS, dan terutama dengan senjata email; sudah membuat hidup saya bergerak dengan baik, benar, dan produktif.

Hingga pada suatu ketika, saya diminta pasang WA lagi karena saya harus mengikuti salah satu grup "resmi" berkaitan dengan tugas yang saya emban pada klub otomotif yang saya ikuti.

Ponsel pun disediakan oleh klub kala itu. Baguslah, karena saya pribadi hanya pegang ponsel 4G termurah yang ada di pasaran yang bisa saya beli kala itu: sebuah ponsel dengan RAM 1GB dengan kamera tanpa utofokus dan tanpa lampu kilat/flash yang masih saya pakai hingga hari ini.

Alhasil saya kembali WA-nan. Plus dicemplungkan juga ke banyak grup: alumni sekolah, dll. oleh rekan-rekan lainnya.

Berhubung saya ber-WA karena "tugas" plus dengan ponsel yang disediakan oleh klub, terpaksalah saya harus berriang gembira dengan WA.

Sebagaimana sebelumnya, WA isinya tetap sama saja: posting pengisi hari dan pelipur lara dari semua rekan. Bejibun enggak karuan.

Seiring dengan semakin berkembangnya fitur WA, maka urusan kerjaan mulai merambah ke WA. Meski saya tetap setia dengan email kala itu (dan hingga saat ini).

Hingga kemudian ponsel (bekas) fasilitas dari klub itu rusak. Baterenya melemah -- drop keras yang mana batere akan langsung habis dari sisa 40%, saluran pengisi daya/charger & charging--nya rusak, dan tanpa sengaja terjatuh hingga layarnya retak.

Karena saya anggak kesalahan saya, maka layarnya saya ganti. Namun enggak optimal.

Akhirnya ponsel tersebut saya kembalikan ke klub. Dan saya mencoba melanjutnya tugas dengan ponsel pribadi dengan spek paling rendah seperti saya tera di atas.

Ternyata sengsara juga ber-WA dengan ponsel alakadarnya seperti ini. Ponsel jadi berat dan gampang menggos-menggos. Media penyimpanan sekejap gampang penuh oleh cache.

Alhasil kemudian, WA saya bongkar/uninstall tanpa saya sign-out dari akun saya.

TELEGRAM

Saya lupa bagaimana awalnya menemukan aplikasi ini. Sepertinya dari baca-baca di media maya.

Saya cobalah dia. Dan isinya kosong karena juaranggg banget yang pakai. Mungkin hanya sekitar 10% dari beberapa ratus nama yang ada di kontak saya yang nongol status penggunaan telegramnya.

Hingga kemudian saya minta istri dan keluarga dekat untuk memasang Telegram juga. Lumayan, jadi sering berbunyi ini Telegram.

Dari awalnya hanya untuk berkomunikasi dengan keluarga inti sebagai pengganti WA, akhirnya Telegram ini menjadi alat komunikasi utama saya/kami.

Seiring dengan waktu, saya mulai bisa merasakan nikmatnya Telegram.

  • Telegram itu berfitur enggak se-fancy WA. Enggak ada yang bikin stiker lucu-lucuan di Telegram sebagaimana di WA. Tapi mohon maap, tetap saja masalah stiker itu bukanlah sesuatu yang produktif meski itu sangat menyenangkan.
    Telegram hanya bisa panggilan suara, enggak bisa panggilan video. Tapi ini bukan masalah bagi saya. Karena bisa pakai Duo untuk kebutuhan ini.
  • Dan ini yang paling penting: Telegram itu menyimpan datanya secara cloud, bukan offline-storage sebagaimana WA. Artinya: kita harus mengsinkronkan data WA secara manual ketika berpindah gawai. Atau WA hanya bisa aktif di satu gawai karena di gawai itulah datanya berada.
  • Sementara Telegram itu bisa aktif di banyak perangkat secara bersamaan sekaligus. Karena semua datanya langsung dibaca dari servernya, bukan disimpan secara offline ke gawai kita.

Poin terakhir di atas adalah kelebihan Telegram dan super-duper bikin nyaman ponsel jadul tua kayak yang saya pakai ini. Cache-nya jadi kecil banget, karena datanya enggak tersimpan offline itu tadi. Beda puolll dengan WA. Padahal trafik Telegram saya juga enggak sepi-sepi amat.

Satu keunggulan lagi, metode login ke desktop/kompie teramat sangat berbeda. WA perlu barcode untuk bisa login. Ini teramat susah dan bisa saya bilang mustahil dilakukan dengan ponsel tua tanpa autofokus dengan (kover) lensa kamera yang sudah buram ini. Saya pernah bermenit-menit scanning barcode dan tetap gagal login. Alhasil, saya nyerah.

Telegram menggunakan kata sandi tenporer untuk login, yang dikirim ke aplikasi Telegram di ponsel dan kemudian tinggal kita input ke halaman login yang nongol di layar komputer. Kelar.

Dengan menggunakan komputer, pekerjaan kita akan menjadi lebih nyaman, ringan, dan cepat.

Inilah kemudian kenapa saya mempertahankan Telegram sebagai satu-satunya aplikasi (komunikasi) tambahan yang ada di ponsel ini.

FB, IG, Email? Enggak ada! Antara enggak saya pasang atau saya disable karena dia bawaan hape.

FB dan email tetaplah ranahnya kompie kalo bagi saya.

Cuman yang jadi masalah, gimana ya ntar kalo Telegram kemudian "menjelma" jadi kayak WA yang riuh begitu?

Ah sudahlah, dipikir nanti saja. Dan mudah-mudahan keriuhan yang -maaf noofense-- enggak penting di WA itu enggak menjalar ke Telegram.

Karena sejauh ini, Telegram itu masih merupakan alat yang produktif, setidaknya bagi saya. Bukan alat yang 90% buat senang-senang dan 10%-nya baru produktif.

Sekali lagi ini bagi saya. Yang bisa jadi bertolak belakang bagi Anda. Karena saya tau, buuuaaanyakkk yang menggunakan WA dan IG untuk jualan: melakukan sesuatu yang produktif dan/atau untuk mendapatkan uang.

Umpama saya harus melakukan hal yang sama tersebut (berjualan misalnya, dll.), saya pasti akan aktif juga di WA, tapi dengan nomor khusus/tersendiri lain yang terpisah dengan nomor pribadi.

INSTAGRAM

Saya memasang Instagram/IG pada tanggal 16 Desember 2012. Masih pakai ponsel 3G kala itu, belom jamannya 4G. Hanya buat nyoba saja, karena IG juga mulai meledak kala itu.

Selepasnya, saya enggak terlalu ngurusi IG lagi.

Belakangan kalau saya masih kadang-kadang posting di IG, itu saya lakukan dengan peramban/browser pada ponsel, bukan dengan aplikasi.

Selama sewindu ini saya IG-nan, saya hanya punya 180an post. Artinya setara 20an post per tahun. Alias sekitar 2 post per bulan.

Lah, lumayan juga ya ternyata?

# Kediri, 15 Januari 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun