Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator Tafenpah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Keluar-Masuk Kampus karena Keterbatasan Finansial

3 Agustus 2022   14:17 Diperbarui: 12 Agustus 2022   13:31 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu dari sekian persoalan terbesar keluarga yang tidak mampu adalah biaya pendidikan anak-anaknya (Sumber gambar: Pexels)

Satu dari sekian persoalan terbesar keluarga yang tidak mampu adalah biaya pendidikan anak-anaknya.

Ya, begitulah yang saya alami. Berasal dari keluarga yang hidupnya pas-pasan di perbatasan RI - Timor Leste, tentunya saya punya mimpi yang besar untuk melanjutkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi.

Sayangnya, perekonomian orang tua saya tidak mendukung. Akibatnya, saya memilih untuk merantau ke pulau Jawa, dengan tujuan bekerja sambil kuliah.

Kesempatan itu saya dapatkan pada tahun 2014 silam. Di mana, saya memilih untuk melanjutkan studi di Seminari, tepatnya di kota Malang.

Alasan terbesar saya memilih untuk masuk Seminari adalah mendapatkan kesempatan yang lebih, layaknya anak-anak yang berasal dari keluarga berada.

Akan tetapi, saya tidak memanfaatkan peluang tersebut. Karena perihal perekonomian orang tua saya.

Belum lagi sibling rivalry atau perebutan kekayaan tanah dan apa pun di antara keluarga dari ayah ikut menghambat studi saya.

Sebagai jalan penengah, saya memutuskan untuk keluar dari Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang.

Kebetulan waktu itu, setelah pendidikan karakter selama 3 tahun, saya pun memasuki dunia Perguruan Tinggi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

Sebelum resign dari Perguruan Tinggi swasta tersebut, ada banyak discermen atau jalan perefleksian dari saya maupun masukan yang berharga dari para Formator (Pendamping Calon Imam Katolik).

Namun, keputusan saya sudah bulat, alias saya tidak akan melanjutlan kuliah.

Alasannya saya langsung terjun ke dunia kerja, demi membantu perekonomian kedua orangtua, terutama pendidikan adik-adik saya.

Ya, beginilah resiko terlahir sebagai anak sulung. Di mana tanggung jawab keluarga dialihkan ke pundak saya.

Barangkali pembaca budiman juga punya pengalaman serupa.

Saya pun terus berkelana sembari mencona untuk mendaki karir di dunia kerja.

Akan tetapi, lagi dan lagi tingkat pendidikan di lingkungan kerja itu sangat berpengaruh dari sisi penghasilan.

Selain, kesempatan yang lebih bagi mereka yang berstatus S1, S2 dst.

Saya memasuki masa transisi yang begitu rumit dan terkadang menangis sendiri akan kehidupan yang saya alami.

Saya menyakiti diri dan ingin berontak, layaknya kontroversi kedua filsuf berpengaruh asal negeri romantis Prancis, Albert Camus dan Jean Paul Sartre.

Di mana, Albert Camus berontak karena ia ada. Sementara, Sartre berontak karena ia berpikir.

Elaborasi dari ada (being) dan berpikir (Thingking) menyebabkan chaos atau kekacauan dalam diriku.

Selama sekian purnama, saya berperang dengan kedua kata "ada" dan "berpikir."

Sampai pada satu titik, saya menemukan sesuatu yakni setiap orang punya masalah, dan kita punya potensi untuk keluar dari permasalahan tersebut.

Berangkat dari kesadaran baru ini, tahun 2019 saya menikmati puncak karir. Ya, meskipun bekerja sebagai perawat lansia (caregiver). Tetapi dari sisi ekonomi, itu pun cukup untuk biaya kuliah saya maupun kebutuhan keluarga.

Kenikmatan dalam bekerja dengan cuan yang cukup membuat saya lupa diri untuk melanjutkan kuliah.

Saya pun memutuskan untuk kuliah sambil kerja di salah satu industri Pabrik di kota Tangerang.

Ya, meskipun penghasilan itu cukup untuk kebutuhan saya di kota metropolitan Jakarta.

Namun, saya masih merasa gelisah. Kegelisahan terbesar saya adalah melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi.

Hematnya, saya pun mendaftarkan kuliah di Universitas Dian Nusantara Jakarta dengan mengambil Program Studi Ilmu Komunikasi (Broadcast).

Sayangnya, saya tidak bertahan di Universitas tersebut. Padahal, saya pun mendapatkan kepercayaan dari para Dosen, Rektor, dan pemilik Yayasan untuk bekerja sebagai Copywriter.

Penyebab utamanya adalah meninggalnya adik bungsu saya di kampung halaman tercinta.

Saya pun memutuskan untuk kembali ke kampung. Begitu pun saya resign dari Universitas Dian Nusantara, termasuk kerjaan saya sebagai Humas dan Copywriter Kampus. Saya drop dan saya tidak tahu harus melangkah ke mana lagi.

Dalam kesempatan tersebut, Dosen dari Undira pun memotivasi saya untuk kembali ke kampus.

Tetapi, lagi dan lagi ini soal finansial. Saya pun memutuskan untuk terus bekerja di media maupun mengembangkan blog pribadi.

Namun, berdasarkan pengalaman yang cukup lama di dunia kerja, status pendidikan di bangsa kita masih menjadi sesuatu yang mutlak.

Ya, meskipun kita punya kemampuan. Tetapi, jika tidak ditunjang dengan pendidikan diploma. Kita pun akan ketinggalan dalam berbagai kesempatan.

Kenyataan ini mendorong saya untuk kembali kuliah dengan mencari beasiswa. Namun, kesempatan itu belum ada. Karena persoalan usia.

Saya pun memutuskan untuk mendaftar di salah satu Universitas ternama di kota Kupang. Namun, usia saya sudah melewati batas.

Hanuuuuuur! Sebagai jalan alternatif, mau tidak mau saya harus kembali kuliah. Meskipun biaya ditanggung sendiri. Karena bagaimanapun, pendidikan adalah investasi. Di sisi lain saya juga tidak ingin membebani perekonomian orangtua.

Entah sampai kapan kita akan merasakan investasi tersebut, namun melalui pendidikam yang cukup, kesempatan yang lebih pun akan kembali terbuka untuk saya dan pembaca yang punya kisah yang sama dengan saya.

Akhir, sekiranya dengan pengalaman saya ini bisa menjadi referensi bagi sobat muda, di mana jangan menyia-nyiakan kesempatan dari orangtua, bila mereka mampu menginvestasikan pendidikan sobat ke jenjang yang lebih tinggi.

Karena banyak orang, terutama saya, yang punya kemauan untuk melanjutkan studi, meski impian itu pun terbentur dengan realita ekonomi keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun