ADIL,
Apa kabarmu di kampung?
Aku berharap kamu baik-baik saja.
Dan semoga sawah-sawah kita tidak berganti menjadi beton-beton penuh keangkuhan.
Semoga kebun kita masih berwarna hijau daun padi yang menyejukan kan mata.
Bukan pabrik-pabrik pemeras keringat saudara sekampung kita yang penuh pasrah tanpa bisa menuntut hak, meski sebatas UMR.
Sungguh aku merindukan saat kita bermain di pematang sawah tanpa polusi dan limbah pabrik yang menyesakkan dada.
Aku berharap semua sehat-sehat saja
Sahabatku ADIL, Di sini, di Jakarta udara disesaki oleh berita-berita tentang bank Century. Tentang 6,7 triliun rupiah uang negara yang tidak jelas kemana larinya.
Jangan tanya saya, seberapa banyak 6,7 triliun itu.
Ya, uang itu sangat banyak dan kalau dibuat membangun sekolah dan puskesmas di desa kita, bisa jadi ada ratusan atau bahkan ribuan.
Cak Warno, tetangga sebelah rumah kita, tentu tidak perlu lagi minta surat keterangan tidak mampu dari pak Lurah untuk sekedar berobat ke puskesmas. Karena semua sudah ditanggung pemerintah.
Lik Wati tidak akan menggadaikan sepetak sawah warisan orang tuanya untuk menyekolahkan si sulung yang masuk SMP. Karena semua sudah ditanggung pemerintah.
Memang benar, itu hanyalah khayalanku belaka, sahabatku.
Yang terjadi tidaklah begitu.
Kamu tentu mendengar dari televisi yang dulu kita sering menonton di kelurahan.
Berita soal Adinda. Bocah kecil berumur 5 tahun harus dipasung sang ayah, karena sang ayah harus mengamen untuk belanja sementara di rumah tidak ada siapa-siapa.
Kamu juga mendengar tiga bocah ditinggal sang bunda mencari nafkah selama seminggu dikurung dalam rumah. Tanpa makanan, tanpa penjagaan.
ADIL, mereka tidak punya pilihan hidup karena mereka miskin.
Benar katamu, saya juga percaya bahwa masih banyak adinda-adinda yang tidak terurus , harus meregang nyawa karena kemiskinan orang tuanya.
Lihat saja, di jalan-jalan. Ratusan bahkan ribuan bocah kecil berkelahi dengan waktu dipinggir jalan penuh debu dan sampah.
Hanya sekadar untuk mengganjal perutnya. Sekadar mengais sesuap nasi dalam arti sebenarnya agar bisa menyambung nyawa.
UUD Republik Indonesia ini jelas menyebut bahwa anak yatim dan terlantar menjadi tanggungan negara.
Dimana pemerintah?
ADIL,
kamu juga pasti mendengar berita di televisi.
Oh ya sekarang layar televisinya pasti sudah berwarna. Ada ibu menjual bayi yang masih ada di kandungannya.
Bukan karena dia tidak sayang dan cinta sang buah hati, tapi karena mereka miskin.
Seorang pemulung harus merelakan anaknya meninggal dalam gerobak sampahnya karena sakit demam karena tidak mampu membayar biaya berobat di Puskesmas Rp 10 ribu rupiah.
Kamu tahu berapa nilai 10 ribu rupiah itu di Jakarta?
Uang itu sama dengan biaya parkir mobil mewah para pejabat pemerintah untuk satu jam pertama.
Undang-undang Dasar negara kita jelas menyebut bahwa mereka menjadi tanggungan negara.
Dimana pemerintah?
Kamu juga pasti mendengar dari berita, mobil dinas berharga 1,3 miliar.
1,3 miliar rupiah untuk sebuah mobil dinas.
Ada pagar penjaga bangunan megah dan ruang berdemontrasi yang harus diperkokoh dengan puluhan miliar rupiah.
Ada rumah dinas wakil rakyat yang perlu dipernyaman dengan ratusan miliar.
Semua itu berasal dari uang rakyat, uang Cak Warno dan Lik Wati.
Kemana mereka yang menyandang gelar pejabat dan wakil rakyat itu?
Mereka hanya sibuk bicara berbusa-busa tanpa makna.
Sekarang rakyat menjadi komoditas yang diperebutkan untuk meraih kekuasaan.
Kata rakyat seringkali menjadi pembenar nafsu serakah merebut tahta.
Lihatlah di televisi, di radio bahkan di koran-koran mereka sibuk berdebat soal kekuasaan atas nama rakyat.
Cuihh, rasanya aku ingin meludahi muka mereka....
ADIL sahabatku,
Mungkin kamu belum tahu, aku sekarang bekerja di tempat yang membuat aku banyak tahu tentang mereka, tentang kelakukan mereka yang selalu berkata atas nama rakyat itu.
Mereka sering berteriak soal kebenaran, padahal mereka adalah biang bajingan.
Mereka selalu menyebut dirinya bersih, padahal mereka hampir setiap hari memeras dan menerima suap.
ADIL sahabatku,
Aku mulai mendengar amarah di asah di kolong-kolong jembatan.
Kecewa bersemi di pinggir-pinggir jalan penuh sampah.
Sementara tidak ada tempat buat menjawab amarah itu.
Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan kekecewaan itu.
Mereka sepertinya tuli atas suara-suara itu.
Nurani mereka sepertinya dibutakan oleh nafsu harta dan tahta.
Kita hanya bisa berdoa semoga jalanan tidak menjadi tempat untuk merobohkan setan yang kini berdiri mengangkang itu.
Dari Sahabatmu
*a note from one fellow of mine : JEBE ESPE*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H