Mohon tunggu...
Fredi Yusuf
Fredi Yusuf Mohon Tunggu... Insinyur - ide itu sering kali datang tiba-tiba dan tanpa diduga

selalu bingung kalo ditanya, "aslinya orang mana?".

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Harimau Sumatera Itu Melintas Tepat di Posisi Kami Berhenti

21 Agustus 2020   10:31 Diperbarui: 21 Agustus 2020   10:26 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Masurai dari Danau Pauh

"Malam itu anjing-anjing kami terus menggonggong, tapi tak juga berani bergerak apalagi mengejar obyek yang dilihatnya. Saya memantau dari atas pondok, ternyata seekor harimau masuk kebun kami" kata Rasyid petani di Desa Renah Alai Merangin, Jambi.

-o0o-

Iyun, rekan kerja baruku sedari tadi mengeluh. "Kepalaku pusing, perutku mual seperti ingin muntah" katanya.

"Katanya anggota Kelompok Pencinta Alam, masak baru naik mobil kurang dari delapan jam aja sudah mabuk. Padahal perjalanan kita ini menuju ke Gunung tertinggi kedua di Sumatera loh, harusnya ini perjalanan yang menarik" godaku.

"Bukan Pencinta Alam, Mencintai Alam Bang" sahutnya. "Iyun memang kalau jalan jauah-jauah acok mabuak. Tapi kalau, jalan kaki kuek bang. Iyun pernah jalan kaki tigo hari tigo malam, dari Paninggahan ka Lubuk Minturun" katanya sedikit nyombong.

Lain Iyun, lain pula Syefti. Rekan kerja yang masuk bareng Iyun tersebut, sedari tadi senyam senyum memperhatikan Iyun yang lagi gelisah mabuk darat, sambil terus bersenandung. Apapun lagu yang mengalun dari tape mobil yang kami kendarai, selalu saja ia bisa mengikuti setiap bait dan liriknya.

"Sobat Peterpan rupanya kamu ya" kataku saat Syefti mengikuti lirik lagu Taman Langit milik Peterpan. "Tapi eh, kok kamu tahu lagu-lagu album studio pertama Peterpan, padahal lagu ini diluncurkan kamu masih SD kan. Uoowh... atau karena kamu pasti ngefans Ariel yang ganteng itu ya, jadi kami cari tahu semuanya."

"Sebenarnya aku sobat Ambyar Bang" katanya sambal tutup mulut menahan tawa. "Tapi kalau lagu Peterpan tahu lah bang, soalnya abangku dulu hampir tiap hari muterin lagu itu. Jadi aku cukup hafal dengan lagu-lagu itu."

"Kamu nggak ikutan mabuk kayak Iyun Syef"

"Nggak lah bang, aku kan terbiasa melakukan perjalanan yang jauh. Bahkan kalau dimobil aku terbiasa melek, soalnya menemani Papa mengemudi agar tidak ngantuk. Perjalanan yang kami lalui pun tidak sebentar, dari Jambi sampai Pesisir Selatan, bisa lebih dari 12 jam" katanya.

Perjalanan kami hari itu memang cukup melelahkan. Mereka berangkat dari Jambi sejak pagi, lalu bertemu denganku di Kota Sarolangun sekitar jam menjelang tengah hari. Sejatinya mereka, akan melakukan orientasi tempat kerja di Wilayah Marga Bukit Bulan Kabupaten Sarolangun. Tapi kami mendapat kabar dari pejabat setempat, bahwa situasi sedang tidak kondusif. Akses menuju Bukit Bulan saat itu ditutup oleh para oknum Penambang Emas Tanpa Izin (PETI), yang protes karena aktivitas mereka ditertibkan oleh aparat maupun maupun masyarakat setempat. Setelah menemui beberapa orang untuk memastiakn situasi terkini akses menuju Bukit Bulan, akhirnya aku memutuskan orientasi rekan baru ini dipindahkan ke Wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) Serampas Kabupaten Merangin.

"Boleh berhenti bentar bang?" pinta Iyun.

"Mmm...." aku ragu. Sedari tadi aku memang menyarankan Iyun meminta supir menepi dan berisitirahat sebentar, jika ia merasa pusing atau mau muntah. Tapi iya selalu bilang, "aman bang, masih kuat." Tapi kali ini ia memintanya disaat suasana kurang kondusif.

Bagaimana tidak, Gunung Masurai yang sejatinya tampak kokoh berdiri tak lagi terlihat, hari sudah mulai gelap. Posisi waktu itu pun berada tepat di koridor satwa yang menghubungkan Gunung Masurai dengan Gunung Nilo dan Gunung Sumbing yang ada disebelahnya. Koridor tersebut dibelah jalan sepanjang kira-kira 5 km. Rumah Hitam, demikian orang-orang di Kampung sekitar menyebut lokasi tersebut, dan menceritakannya dengan bumbu-bumbu penuh misteri.

Pose Iyun di koridor satwa yang tak lagi berhutan
Pose Iyun di koridor satwa yang tak lagi berhutan

Beberapa tahun lalu, tatkala aku masih sering mondar-mandir pakai motor di daerah ini, ada suasana ngeri-ngeri sedap tatkala melintasi jalan tersebut. Pernah suatu waktu, Qiting rekanku yang konsen terhadap keanekaragaman hayati menepikan motornya di daerah itu, dan sengaja menunggu aku yang sudah jauh tertinggal.

"Mana GPS mu" ujar Qiting saat aku menghampirinya. "Aku melihat anjing hutan melintas disini, aku mau mengambil gambarnya, tapi ia melintas dan menghilang begitu cepat. Abadikan saja koordinatnya dengan GPSmu".

Lain Qiting lain pula Asep Ayat, ahli burung asal Bogor, yang juga konsen terhadap satwa liar. "Aing di Bangko, dimana maneh?" kata Asep dari ujung telepon. Hampir setiap ke Jambi dia selalu menelponku. Kebetulan aku juga sedang di Bangko (Ibukata Kabupaten Merangin) waktu itu, malamnya kami pun janji ketemuan untuk berbagi cerita sambil minum teh telor, di pusat kuliner malam Kota itu. Konon katanya, dalam beberapa hari itu Asep dan kawan-kawannya sedang melakukan riset diseputaran Gunung Masurai

"Aing tadi nepi ka muringkat bulu punduk, anak maung tilu ngahalangan jalan. Gelo..." kata Asep menggunakan bahasa sunda dengan logat yang kental. "Bulu kudukku sampai berdiri, tiga anak harimau tadi menghadang perjalananku"

"Dimana?"

"Eta deukeut Rumah Hitam"

Ketika Iyun meminta berhenti, dari balik kemudi, Nodi driver yang membawa kami sempat melirik ke arahku. Sepertinya ia pun ragu untuk berhenti ditempat itu. Tapi kami sama-sama paham sepertinya Iyun butuh berhenti, agar mabuknya tak semakin berat.

"Berhenti sebentar kita ya Nod" kataku.

"Iyolah Bang" kata Nodi, walau sedikit ragu ia menepikan mobilnya.

Iyun turun dari mobil dan langung selonjoran diatas aspal, sambil merentang-rentangkan kedua tangannya.

Syefti berdiri disebelahnya. "Wah dingin, seger ya disini" katanya sambil membuka tutup botol air mineral dan meneguknya.

Pose Syefti di koridor satwa yang tak lagi berhutan
Pose Syefti di koridor satwa yang tak lagi berhutan
Nodi tetap duduk dibalik kemudi, dan aku berjalan mengelilingi mobil sambil mengawasi suasana sekitar. "Wahai penghuni alam disini, permisi, kami disini bukan untuk mengganggumu, hanya numpang istirahat sejenak, mari hidup damai dan berdampingan, walau kita beda alam beda cara, dan beda bentuk, toh kita sama-sama makhluk Tuhan" ucapku dalam hati.

"Masih jauh perjalanakan kita Bang?" tanya Syefti.

"Bentar lagi nyampai. Makanya, jangan lama-lama ya, cukup tiga menit aja ya, suasana disini kurang kondusif. Tempat kita ini koridor satwa" kataku.

"Iya bang, iya bang" Iyun yang basicnya anak MAPALA sepertinya cukup paham dan segera bangkit.

Sementara Syefti, yang secara, hidup dari kota ke kota, mulai Padang, Jogja, Bulian (eh.. betewe Bulian tuh kota juga kan?! Kota Kabupaten kan hihi....) lurus-lurus aja. "Bentar amat berhentinya, padahal disini enak, sejuk" katanya.

"Kita maju lagi agak tujuh menit, nanti kalian boleh istirahat sepuasnya" sahutku.

Kami pun masuk ke mobil, lalu dari balik kemudi, Nodi memacu kendaraan tersebut membelah koridor satwa Rumah Hitam. Sampai sekitar tujuh menit kemudian, kami kembali berhenti di sebuah pondok ladang yang tak jauh dari Desa Renah Alai. Disekitarnya sudah ada rumah-rumah kebun, dengan cahaya lampu listrik yang cukup terang.

"Silahkan istirahat, dan nikmati suasana Kaki Gunung Masurai malam ini, sepuasnya" kataku.

Gunung Masurai dari Danau Pauh
Gunung Masurai dari Danau Pauh

Kami pun turun dari mobil, menghirup udara segar dihamparan ladang yang ditanami ubi jalar dan kol. Desa ini memang cukup terkenal sebagai penghasil berbagai jenis komoditi pertanian, seperti kentang, cabai, kopi dan kayu manis. 

Suasana dingin diketinggian sekitar 1200 m dpl tersebut mulai menyeruak seperti menusuk kulit, daging, hingga ke tulang. Jaket tebal produk lokal yang sedari tadi aku peluk mulai dikenakan. Setelah cukup puas beristirahat, perjalanan pun dilanjutkan, hingga sekitar sembilan menit kemudian kami sampai di tempat tujuan, dan menginap di Rumah Kang Aceng, salah satu warga Desa Renah Alai.

"Tempat tadi tu cukup dekat ya dari sini. Besok pagi kita ke sana lagi ya" kata Syefti sambal meruput teh tawar hangatnya.

"Ngapain" sahutku.

"Kalau kita melihat tempat itu dipagi hari, pasti keren banget. Banyak spot selpinya, buat insta story"

"Gimana mau update status, disini kan nggak ada sinyal"

"Di stok aja dulu bang fotonya, kalau dah dapat sinyal, baru kita brudulin stok fotonya. Rame deh yang ngelike IG ku"

Gunung Sumbing dan Gunung Nilo
Gunung Sumbing dan Gunung Nilo

Seperti yang diminta Syefti. Paginya aku, Iyun dan Syefti pergi jogging ke arah Rumah Hitam. Suasana pagi yang cerah, dengan latar hamparan kebun warga, yang di 'kawal' tiga Gunung terlihat indah. 

Gunung Masurai berdiri kokoh, paling besar dan tinggi. Dari kejauhan tampak Gunung Nilo dan Gunung Sumbing. Sambil jogging dan menghirup udara pagi yang segar, kami berfoto dibeberapa spot yang asyik. Saat kami mulai terengah, sebuah motor yang datang dari arah belakang, mendahului dan tiba-tiba berhenti berhenti menghadang kami.

"Mau kemana kalian?" rupanya orang mengendari motor tersebut adalah Pak Rasyid, seorang warga desa yang sudah lama aku kenal.

"Lari pagi pak, bapak mau kemana?"

"Nengok ladang"

"Dekat dari sini ladangnya pak"

"Dekat. Mainlah ke ladang kami, kalau mau cabai ambil, panen sendiri disana"

"Wah, tawaran yang menarik pak"

Setelah mengobrol beberapa saat, Pak Rasyid kembali memacu motornya menuju ladang, dan kami menyusulnya dari belakang. Sesampaikan di ladang kami disambut gonggongan anjing berbagai ukuran dan usia, mulai dari induknya, anaknya, bapaknya, sepupunya, tetangganya, pokoknya anjing-anjing itu ramai menyambut kami.

"Itulah penunggu ladang kami" kata Rasyid sambil menenangkan anjing-anjingnya agar berhenti menggonggong.

"Dua malam lalu harimau masuk ladang kami" sambil menenangkan anjing-anjingnya, Rasyid bercerita. "Malam itu anjing-anjing kami terus menggonggong, tapi tak berani bergerak apalagi mengejar. Saya memantau dari atas pondok, ternyata seekor harimau masuk kebun kami."

"Dari arah mana datangnya harimau tersebut Pak, masih ada jejaknya kah?" aku ingin memastiakan apakah yang dibilang Rasyid itu fakta atau hoax.

Rasyid pun mengajak kami berjalan ke arah tepi ladang yang berbatasan dengan hutan tak jauh dari pondoknya. Ia menunjukan beberapa tapak sesuatu diatas tanah yang tak lagi jelas bentuknya. Sampai pada suatu titik ia berseru.

"Nah ini cukup jelas jejaknya, bekas jari-jarinya masih jelas" serunya menunjuk sebuah jejak yang memiliki bentuk cukup jelas.

Ketika aku bandingkan jejak tersebut dengan korek api gas, ukurannya sepertinya tidak terlalu besar. Dan Rasyid mengamini pendapatku.

"Iya, ukurannya tidak terlalu besar. Tapi cukup membuat bulu kudukku bergidik, dan beberapa hari terakhir tak berani datang kesini" kata Rasyid.

Menurut Rasyid, pada waktu-waktu tertentu harimau sering masuk ke ladang warga, namun tidak sampai mengganggu atau merusak kebun. Kalau tahu ada harimau masuk ladang, para petani sekitar biasa menghentikan aktivitas di ladang tersebut beberapa hari, sampai suasana kira-kira tenang.

"Mungkin sekitar tiga ekor lagi harimau yang ada di Gunung Masurau, yang masih banyak harimau di Gunung Sumbing dan Gunung Nilo" ujar Rasyid bercerita berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat sekitar.

Ngobrol di Ladang Rasyid
Ngobrol di Ladang Rasyid

Ngomong-ngomong soal harimau, saya jadi teringat cerita Om Yoan Sekretaris Komunitas Chevy Spin Jambi yang memang pakar harimau dan ahli biodiversity. Malam ini itu saat istirahat touring ke Kaki Gunung Kerinci, Om Yoal cerita banyak soal harimau kepada Om-om anggota komunitas. 

Menurutnya, harimau itu biasa jalan sendiri-sendiri, kecuali harimau yang sedang beranak, kalau jalan-jalan ia bawa keluarga, kayak touringnya anggota Komunitas Chevy Spin. 

Setiap harimau punya daerah jelajah dan jalurnya masing-masing. Jadi, kalau ada cerita harimau masuk kebun atau keluar hutan, sebenarnya bukan harimaunya yang masuk kebun atau keluar hutan, tetapi kebun atau area non hutan tersebut, sejatinya memang hutan wilayah jelajah harimau yang sekarang sudah beralih fungsi.

Om-om yang biasanya cerita soal kabulator, injector, radiator, dan kampas rem tersebut manggut-manggut mendengar cerita Om Yoan. Entah ngerti atau malah bingung. Lagian, buaya kok ngomongin hariamu hihi....

Jika melihat kasus harimau yang turun ke kebun sekitar Rumah Hitam saat ini, dihubungkan dengan cerita Om Yoan sebagai pakar. Bisa dipahami mengapa harimau tersebut masuk kebun. Bagaimana tidak, koridor satwa yang dulunya hutan, kini sudah beralih fungsi menjadi kebun. Ditambah lagi tekanan perambahan didaerah tersebut yang sangat besar, merubah kondisi ekologi yang sejati berfungsi sebagai hutan alam menjadi tak lagi berhutan.

Manusia memang butuh lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sang raja dan penghuni hutan lainnya butuh alam untuk menopang hidupnya. Semoga ada solusi, agar penghuni bumi tetap lestari.

Malam itu, kami berhenti tepat dilokasi perlintasan harimau, beruntung Sang Raja Hutan tak bersamaan turun disaat kami sedang istirahat. Kalau nggak, bukan hanya Iyun yang mabuk dan muntah, kami semua pun bisa mengeluarkan cairan lain dari tubuh ini.

"Alam akan senatiasa cukup memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia dibumi ini. Tetapi alam tidak akan pernah cukup, bahkan bagi seorang manusiapun jika ia serakah" demikian kata Mahatma Gandhi.

Semoga kita semua bisa hidup selaras dengan alam, demi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya saat ini dan dimasa yang akan datang. Aamin..     

Trio pendamping Danau Pauh, Gunung Sumbing, Gunung Nilo, Gunung Masurai. Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10158194810618726&id=6619
Trio pendamping Danau Pauh, Gunung Sumbing, Gunung Nilo, Gunung Masurai. Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10158194810618726&id=6619

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun