Untuk apa aku punya kaki kalau tak bisa melangkah bersamamu?
Untuk apa aku punya segalanya kalau tak bisa memilikimu?
Mau?
Dan keesokannya buku batik ungu sudah kembali ke haribaan tanpa harus menunggu lama. Di bawah pohon kersen itu, serta merta kucari halaman tempatmu menggores pena.
Padamu
Separuh diri ini menghilang sedikit demi sedikit seiring berkurangnya tetesan tinta yang tersemat di setiap lembaran yang kutulis. Entah kapan bisa menyatu. Ketika kau bertanya begitu, kalimat apa yang paling pas selain ya, aku mau.Â
Kubaca berulang kalimat penanda kesediaan. Rasanya ingin berjingkrak kegirangan sambil menari luapkan kegembiraan. Tapi, segera aku tersadar. Aku masih berdiri di sini bersamanya di bawah pohon kresen kesayangan. Kupandangi wajahnya dalam diam. Diapun kembali mengulum senyum. Tak perlu banyak kata ketika air bah bahagia melanda jiwa yang meledak dalam rona merah muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H