Mohon tunggu...
Fredeswinda Wulandari
Fredeswinda Wulandari Mohon Tunggu... Guru - pencinta fantasi

Penyuka kopi, Harry Potter, dan cerita fantasi. Melamunkan yang akan datang dengan harapan akan dijamah Sang Pemilik Semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tumpukan Kata Usang yang Minta Dikenang (Bagian 2)

23 Januari 2023   13:25 Diperbarui: 23 Januari 2023   13:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kucium penuh takzim buku batik ungu. Segera kumasukkan buku itu ke dalam tasku sebelum ketahuan teman--temanku. Kulewati kegiatan sepanjang sore itu dengan terburu. Makan malam taksempurna kucerna hanya sekedarnya. Jam belajar kusesapi dengan tergesa. Doa malampun kumaknai kurang seksama. Tak sabar rasanya membuka dan membaca balasan darinya. Segera kubuka lembaran yang sudah diberinya tanda lalu kubaca dalam diam yang temaram.

Teruntuk dirimu, sang ksatria hati :

Pucuk daun melambai menyampaikan rasa yang bergelombang datang setiap detik ketika kubaca untaian kata yang tidak pernah mengering ditorehkan dengan tinta cinta. Apalah aku? Apalah dayaku? Ingin aku menghindar dari amukan badai rindu yang memang sudah bersarang sebelumnya dan ternyata badai itupun menemukan jodohnya. Mungkinkah itu kamu? 

Aahhhhh....senangnya rasa hatiku. Kuciumi lembaran itu dan kupeluk sungguh. Ingin aku teriak menyuarakan kegembiraanku, tapi kurasa itu terlalu mencolok. Jadi, aku hanya bisa memeluk bantal dan buku bergantian.

Segera kuambil pen dan menuliskan serumpun kata untuknya. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Biarkan malam ini aku menulis kata -- kata usang untuk menghibur diri dari rindu yang kian gencar merajamku. Akan kutuliskan namamu ribuan kali di dinding hatiku untuk mengobati luka yang menganga ini. Biarkan malam ini aku melukis wajah ayumu di langit -- langit mimpiku, akan kupandangi sepanjang malamku kau bersanding bersama bulan dan bintang bersinar cemerlang, gilang gemilang. 

Mungkin angin tak sempat menyatakan semuanya kepadamu tentang sebuah rasa yang sudah sekian waktu kupendam, atau karena pohon -- pohon cemara yang menjulang tinggi itu membuat salamku tertambat di rantingnya. Nampaknya, harus kunantikan hujan yang akan meluruhkannya ke sungai yang akan mengalirkannya kepadamu ...

                                                                                               

Selepas menulis rangkaian kata itu, mataku terpejam mengundang mimpi bersamamu di luas angkasa malam. Ketika aku terbangun keesokan paginya, kuucapkan syukur untuk Yang Maha Esa atas anugrah nafas baru dan kesempatan untuk memandang wajah ayumu lagi. Segera kuambil pena dan serta merta kutorehkan dengan penuh cinta. Saat itu masih pukul 04.00 WIB.

 

Kubawakan segenggam bintang yang kucuri semalam dan juga bulan yang taksengaja ikut terbawa. Kukirimkan salam dan harapan semoga saja itu aku. 

                                                                                               

Kututup buku batik ungu sambil tersenyum. Terbayang wajah cantiknya pancarkan rasa bahagia. Tak sabar menunggunya kembali di bawah pohon kersen yang kian hari tampak semakin meneduhkan. Detik -- detik penantian menjadi adegan yang paling mengesankan di setiap hariku dan aku menikmatinya. Ketika buku itu sudah sampai di rengkuhannya, aku masih harus tetap bersabar menunggu coretan darinya yang semakin membuatku tersadar akan arti hadirnya dalam hidupku.

Kubuka lembar berikutnya dan kulihat tinta hitam tertulis rapi menguarkan kelembutan hatinya.

Padamu,

Senyum tak putus tersungging melewati celah bibir yang berlomba untuk mengucap kata yang entah apa. Rasa meletup--letup yang ingin terbang menuju hati sang pujangga. Akankah ada ucap tersisa dari malam yang mengharapkan bulan? Akankah ada ungkap terpancar dari bintang yang tak lekas hilang ketika pagi menjelang? Getar ini tak jua menepi bahkan semakin menggila di luar batas mampuku.

Lagi ...dan lagi rasanya aku sudah memeluknya walau hanya dalam tumpukan kata. Berminggu -- minggu berlalu dengan sangat indah tanpa ada kata jadian. Hingga suatu ketika, tak dapat lagi kutahan rasa. Lalu dengan detak jantung meronta ingin melepaskan sinyal -- sinyal yang tak kunjung henti bahkan semakin menjadi.

Untukmu kan kutulis demikian:

Untuk apa aku punya mata kalau tak bisa melihatmu?

Untuk apa aku punya telinga kalau tak bisa mendengar suaramu?

Untuk apa aku punya mulut kalau tak bisa berbicara denganmu?

Untuk apa aku punya tangan kalau tak bisa memelukmu?

Untuk apa aku punya kaki kalau tak bisa melangkah bersamamu?

Untuk apa aku punya segalanya kalau tak bisa memilikimu?

Mau?

Dan keesokannya buku batik ungu sudah kembali ke haribaan tanpa harus menunggu lama. Di bawah pohon kersen itu, serta merta kucari halaman tempatmu menggores pena.

Padamu

Separuh diri ini menghilang sedikit demi sedikit seiring berkurangnya tetesan tinta yang tersemat di setiap lembaran yang kutulis. Entah kapan bisa menyatu. Ketika kau bertanya begitu, kalimat apa yang paling pas selain ya, aku mau. 

Kubaca berulang kalimat penanda kesediaan. Rasanya ingin berjingkrak kegirangan sambil menari luapkan kegembiraan. Tapi, segera aku tersadar. Aku masih berdiri di sini bersamanya di bawah pohon kresen kesayangan. Kupandangi wajahnya dalam diam. Diapun kembali mengulum senyum. Tak perlu banyak kata ketika air bah bahagia melanda jiwa yang meledak dalam rona merah muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun