Â
Kututup buku batik ungu sambil tersenyum. Terbayang wajah cantiknya pancarkan rasa bahagia. Tak sabar menunggunya kembali di bawah pohon kersen yang kian hari tampak semakin meneduhkan. Detik -- detik penantian menjadi adegan yang paling mengesankan di setiap hariku dan aku menikmatinya. Ketika buku itu sudah sampai di rengkuhannya, aku masih harus tetap bersabar menunggu coretan darinya yang semakin membuatku tersadar akan arti hadirnya dalam hidupku.
Kubuka lembar berikutnya dan kulihat tinta hitam tertulis rapi menguarkan kelembutan hatinya.
Padamu,
Senyum tak putus tersungging melewati celah bibir yang berlomba untuk mengucap kata yang entah apa. Rasa meletup--letup yang ingin terbang menuju hati sang pujangga. Akankah ada ucap tersisa dari malam yang mengharapkan bulan? Akankah ada ungkap terpancar dari bintang yang tak lekas hilang ketika pagi menjelang? Getar ini tak jua menepi bahkan semakin menggila di luar batas mampuku.
Lagi ...dan lagi rasanya aku sudah memeluknya walau hanya dalam tumpukan kata. Berminggu -- minggu berlalu dengan sangat indah tanpa ada kata jadian. Hingga suatu ketika, tak dapat lagi kutahan rasa. Lalu dengan detak jantung meronta ingin melepaskan sinyal -- sinyal yang tak kunjung henti bahkan semakin menjadi.
Untukmu kan kutulis demikian:
Untuk apa aku punya mata kalau tak bisa melihatmu?
Untuk apa aku punya telinga kalau tak bisa mendengar suaramu?
Untuk apa aku punya mulut kalau tak bisa berbicara denganmu?
Untuk apa aku punya tangan kalau tak bisa memelukmu?