Cerpen oleh Fransiskus Heru
"Dreng, dreng, deng, deng," bunyi lonceng sekolah memanggil mereka agar beristirahat sejenak. Ibu Guru Marutu yang kala itu mengajar di kelas mereka sedang mengemas laptop berserta chargher-nya, proyektor LCD, terminal listrik dan buku presensi kehadiran Pesertadidik. Beres mengemas, Bu Marutu meminta agar ditutup pembelajaran di dalam kelas itu kerena telah memasuki jam istirahat sekolah.
Ongon, sang Ketua Kelas pun menginstruksikan semua teman-temannya untuk berdiri dan mengucapkan salam.Â
Ucap Ongon, "Beri hormat kepada Ibu Guru!"
"Terimakasih Bu Guru!," ucap bibir-bibir teman Ongon kepada Bu Marutu.
"Terimakasih anak-anak. Silahkan istirahat," balasan ucap bibir dari Ibu Marutu.
Pada suatu tempat yang berbeda, namun masih di lingkungan sekolah. Ongon pun keluar dari dalam kelas, lalu pergi menuju kantin milik Ibu Sutinani.
Ongon yang hendak memakan nasi kuning buatan Ibu Sutinani alias Ibu Lelet, pemberian nama julukan oleh sahabat-sahabatnya Ongon.Â
Satu biji nasi kuning Ongon tak jadi tersentuh giginya, apalagi terasakan oleh lidahnya. Karena sontakpun Anjotet, Toro, Daka dan Unang datang, lalu duduk di kursi kantin Bu Lelet yang berhadapan dengan Ongon. Anjotet mulai berlisan kepada Ongon.
"Wih, nasi kuning Broku."
"Iya Bro, sangat enak," lisan Ongon.
"Tapi, kok rasa kunyit ya Bro?," tanya Ongon kepada Anjotet sembari memandang wajah Toro, Daka dan Unang.
"Kamu nanya," jawab Elang, kakak kelas mereka yang ada ngantin di situ.
"Hahaha," suara tertawaan dari Anjotet, Toro, Daka dan Unang. Setelah itu juga, Anjotet berucap.
"Ada-ada saja kamu Bro, iyalah rasa kunyit, kan nasinya emang dicampur kunyit."
"Syukurnya tadi, kamu tak bilang rasa labu kuning," kata Toro kepada Ongon yang serta membisikinya.
Ongon bertanya balik kepada Toro, "Memangnya kenapa?"
"Gini Bro, nanti Ibu Lelet marah," bisik Toro kepadanya.
Daka dengan Toro sudah lahap mengunyah bulatan bakso buatan Bu Lelet. Tetapi, Unang dan Anjotet masih menunggu pesanan mereka berdua yang tak kunjung datang. Gara-gara minuman teh esnya belum juga tersajikan, Unang jadi menggerutu.
"Ini mah. Kalau seandainya di rumahku, aku sudah berhasil mendidihkan tiga kaleng air minum di atas kompor gas," gerutu Unang.
"Sabar Bro, kamu kayak sahabat kita yang pertama kali saja, ngantin di sini" lisan Anjotet.
Satu menit setelah obrolan antara Unang dan Anjotet, bola mata Anjotet melirik secarik kertas putih yang berada tepat di samping lengan Ongon. Karena Anjotet satu-satunya sahabat dari mereka yang punya rasa ingin tahu setinggi bintang-bintang di angkasa. Anjotet berdiri, lalu mendekati Ongon serta duduk di samping Ongon, kemudian bertanya.
"Apa ini Bro?," disertai tangan kanannya, memegang kertas tersebut.Â
"Lukisanku," jawab Ongon sembari menyirup es asam paya.
"Maksudmu, ini kamu yang lukis?," tanya Anjotet lagi.
"Waduh, baru tahu aku Bro, ternyata kamu berbakat melukis," kata Anjotet.
Sayang sekali, Anjotet sahabat akrab Ongon, tidak mengetahui atas persahabatan mereka selama empatbelas tahun itu. Anjotet, insan yang paling terkepo di antara persahabatan mereka, lagi-lagi bertanya. Ia bertanya, namun juga menjawabnya.
"Ini burung maleo kan Bro?"
"Mana?, coba aku lihatnya!," ucap Unang sambil meminta selembar lukisan karya Ongon.
"Oh ini, ini kan burung cendrawasih," jawab Unang penuh keyakinan tak perduli betul ataupun salah.
"Mana sih?," Toro bertanya.
"Itu burung elang," Toro menjawab.
"Apa?," sahut Elang.
"Mana?," tanya Elang kepada Anjotet yang masih memegang kertas berisi lukisan hewan burung itu.
"Oh itu, itu bukan burung," ucap si Elang yang bernama lengkap Elang Talontong itu.
"Itu labi-labi," ucapnya lagi.Â
Sampai Elang menebak nama burung tersebut, Ongon belum juga memberitahukan nama dari burung yang telah dilukisnya itu. Saat Elang menjawab labi-labi, Anjotet, Toro, Daka dan Unang sangat yakin kalau hewan itu merupakan hewan jenis burung, bukan hewan berjenis labi-labi. Apalagi di dalam lukisan Ongon itu, jelas hewannya memiliki sayap dan paruh.
"Bro, sehat kan kamu?," tanya Anjotet kepada Elang.
"Sehat dong Bro," jawab Elang sembari menulis menggunakan tusukan gigi di atas meja kantin Ibu Lelet.
Toro, Anjotet, Unang dan Elang masih sahut-menyahut meyakini jawabannya masing-masing, namun Ongon belum juga berlisan. Ongon hanya berdiam diri, dan mengunyah satu iris tempe goreng.
Anjotet berkata, "maleo!"Â
"Cendrawasih!," kata Unang.
"Burung elang!," sahut Toro.Â
"Bukan burung elang, ini burung maleo!," Anjotet berkata lagi, sambil menunjuk kertas yang berlukiskan seekor burung.
"Elang itu Bro," tambah sahut Toro.
Bersuara lantang, Unang berucap "Cendrawasih!"
Keempat sahabat Ongon tetap masih sahut-sahutan karena lukisannya Ongon, tetapi si Ongon masih berdiam diri dan mengunyah satu iris lagi tempe goreng. Sontak, Daka berlisan.
"Diam!"Â
Daka yang sedang berlisan keras pada saat itu, ia juga sambil memukul meja kantin, kemudian ia mengambil lukisan Ongon dari tangannya Anjotet dan memperlihatkan lukisan tersebut kepada Ibu Lelet serta berkata.
"Ibu tahu apa nama burung ini?"
"Inikan burung enggang," jawab Ibu Lelet.
"Ooo burung enggang," ucap Toro, Anjotet, Daka dan Unang.Â
Anjotet, sahabat mereka yang paling kepo itu akhirnya tahu nama burung yang dilukis oleh Ongon. Begitupun dengan Toro, Daka, Unang serta Elang. Sebenarnya sudah lama tahu nama burung yang dilukisnya itu, Ongon tetap konsisten untuk tak bersuara. Ongon mulai jadi bersuara ketika "Dreng, dreng, deng, deng," bunyi lonceng sekolah memanggil mereka untuk masuk kembali ke dalam kelas.
"Berapa Bu total harga semuanya?," tanya Ongon kepada Ibu Lelet.
"Bentar Nak, Ibu hitung dulu," jawab Ibu Lelet, sembari hendak akan mengambil kalkulator dari dalam tasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H