"Bukan burung elang, ini burung maleo!," Anjotet berkata lagi, sambil menunjuk kertas yang berlukiskan seekor burung.
"Elang itu Bro," tambah sahut Toro.
Bersuara lantang, Unang berucap "Cendrawasih!"
Keempat sahabat Ongon tetap masih sahut-sahutan karena lukisannya Ongon, tetapi si Ongon masih berdiam diri dan mengunyah satu iris lagi tempe goreng. Sontak, Daka berlisan.
"Diam!"Â
Daka yang sedang berlisan keras pada saat itu, ia juga sambil memukul meja kantin, kemudian ia mengambil lukisan Ongon dari tangannya Anjotet dan memperlihatkan lukisan tersebut kepada Ibu Lelet serta berkata.
"Ibu tahu apa nama burung ini?"
"Inikan burung enggang," jawab Ibu Lelet.
"Ooo burung enggang," ucap Toro, Anjotet, Daka dan Unang.Â
Anjotet, sahabat mereka yang paling kepo itu akhirnya tahu nama burung yang dilukis oleh Ongon. Begitupun dengan Toro, Daka, Unang serta Elang. Sebenarnya sudah lama tahu nama burung yang dilukisnya itu, Ongon tetap konsisten untuk tak bersuara. Ongon mulai jadi bersuara ketika "Dreng, dreng, deng, deng," bunyi lonceng sekolah memanggil mereka untuk masuk kembali ke dalam kelas.
"Berapa Bu total harga semuanya?," tanya Ongon kepada Ibu Lelet.