Satu menit setelah obrolan antara Unang dan Anjotet, bola mata Anjotet melirik secarik kertas putih yang berada tepat di samping lengan Ongon. Karena Anjotet satu-satunya sahabat dari mereka yang punya rasa ingin tahu setinggi bintang-bintang di angkasa. Anjotet berdiri, lalu mendekati Ongon serta duduk di samping Ongon, kemudian bertanya.
"Apa ini Bro?," disertai tangan kanannya, memegang kertas tersebut.Â
"Lukisanku," jawab Ongon sembari menyirup es asam paya.
"Maksudmu, ini kamu yang lukis?," tanya Anjotet lagi.
"Waduh, baru tahu aku Bro, ternyata kamu berbakat melukis," kata Anjotet.
Sayang sekali, Anjotet sahabat akrab Ongon, tidak mengetahui atas persahabatan mereka selama empatbelas tahun itu. Anjotet, insan yang paling terkepo di antara persahabatan mereka, lagi-lagi bertanya. Ia bertanya, namun juga menjawabnya.
"Ini burung maleo kan Bro?"
"Mana?, coba aku lihatnya!," ucap Unang sambil meminta selembar lukisan karya Ongon.
"Oh ini, ini kan burung cendrawasih," jawab Unang penuh keyakinan tak perduli betul ataupun salah.
"Mana sih?," Toro bertanya.
"Itu burung elang," Toro menjawab.