Mohon tunggu...
Fransisca Dewi Eva Chatalina
Fransisca Dewi Eva Chatalina Mohon Tunggu... Sekretaris - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Book

Kewarisan Perempuan di Negara Muslim Modern: Pergeseran, Adaptabilitas, dan Tipologi

11 Maret 2023   11:47 Diperbarui: 23 Maret 2023   11:23 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Judul : Kewarisan Perempuan Di Negara Muslim Modern: Pergeseran, Adaptasibilitas, dan Tipologi

Penulis : Sidik, M.Ag

Penerbit : Sidik, M.Ag

Terbit : 2013

Cetakan: Pertama, November 2013

Buku ini membahas tentang masalah tentang kesetaraan hak dan kedudukan perempuan dalam pembagain waris. Yang mana dalam pembagiannya ini, perempuan mendapatkan bagian yang lebih kecil dari pada laki-laki seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an. Kalangan tradisional cenderung mempertahankan kedudukan perempuan dihadapan laki-laki. Sementara kalangan liberal menerima serta terbuka dengan pemikiran barat tentang kesetaraan hak dan kedudukan perempuan.

Dalam kasus waris, perempuan masa jahiliyah tidak memiliki hak waris sama sekali. Islam kemudian hadir dan mengangkat status perempuan dan memberikan hak waris kepada mereka, meskipun dengan bagian yang lebih sedikit dibandingan dengan laki laki, yaitu 2:1. Perbandingan itu dilihat dari segi, bahwa laki-laki itu mendapatkan bagian lebih besar karen akan menjadi kepala keluarga dan menghidupi rumah tangganya, seperti memberi nafkah dan membayar mahar. Sementara wanita tidak membayar, melainkan akan menerima.

Kalangan moderat memandang bahwa perbandingan 2:1 itu bukan sesuatu yang bersifat normal dan final. Karena ketika kondisi sosial terjadi pergeseran maka peran perempuan di ranah publik, maka keadilan hak waris bagi perempuan harusnya juga mengalami perkembangan. Sesuatu yang dipandang maslahat bagi generasi terdahulu, itu bisa jadi sudah kehilangan relevansinya. Jika fiqh merupakan produk yang lekat dengan sosial budaya, maka kesetaraan dalam pewarisan menjadi pertimbangan fiqh di masa mendatang, khsuusnya bagi perempuan.

Indonesia merupakan negara yang majemuk dan dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, Indonesia bukan negara yang menjadikan islam sebagai asa dalam bernegara. Indonesia adalah Negara Kesatuan Repbulik Indonesia yang menjadikan pancasila sebagai dasar negaranya.

Pada bulan Mei-Juni 1945, ada dua kubu yang berlawanan dalam merumuskan negara. Kalangan nasionalis sekuler ingin melepaskan nama agama dalam membentuk sebuah negara. Kalangan nasionalis islam menawarkan islam sebagai dasar negara dengan memberlakukan syariat islam bagi pemeluknya denagn alasan karena kuatnya akar sejarah islam dan dominan andilnya dalam meperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Penyebaran islam diikuti dengan maraknya banyaknya praktik keagamaan berbasis islam dalam masyarakat, seperti dalam bidang perkawinan misalnya setiap wanita yang akan melangsungkan pernikahan harus memeluk agama islam terlebih dahulu baru melaksanakan akad perkawinannya dengan ketentuan syariat islam. Selain praktik islam dalam masyarakat, tawaran untuk menjadikan islam sebagai dasar negara juga dipengaruhi oleh adanya perjuangan tokoh-tokoh muslim seperti Cut Nyak Dien di Aceh, Imam Bonjol di Padang, Pangeran Diponegoro di Jawa, Sultan Hasanuddin di Makassar, dan lain sebagainya.

Setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya mencapai kesepakatan yang menjadi jalan keluar antara dua kubu yang memiliki pandangan yang berbeda, kesepakatan itu melahirkan apa yang dikenal dengan "Piagam Jakarta". Perwakilan islam bisa menerima karena pada sila pertama tertulis "...dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya". Namun kata ini tidak berumur panjang.

Pada masa setelah kemerdekaan, upaya menjadikan islam sebagai dasar negara, atau setidaknya upaya memasukkan islam dalam institusi negara masih terus dilakukan. Misalnya dengan mengadakan prayaan hari besar islam di istana negara dan membangn masjid Istiqlal sebagai simbol kenegaraan. Hingga akhirnya kalangan pada masa orde baru kalangan nasionalis islam terkalahkan dan membentuk partai-partai islam.

Emansipasi wanita sebelum kemerdekaan ditandai dengan lahirnya R.A Kartini yang mana beliau ini adalah sebagai simbol munculnya kesadaran baru bagi gerakan perempuan. Putri dari bupati Jepara yang memiliki pengalaman tentang ketidakadilan gender dalam sebuah keluarga sebagai dampak dari budaya patriarkis dan kesempatan pendidikan yang diperolehnya dari pemerintah Belanda. Sehingga membuatnya tergerak untuk peduli terhadap nasib sesamanya.

Kartini menyuarakan pentingnya peran pendidikan bagi wanita yang bertujuan untuk membangkitkan wanita dari ketertinggalan dan sejajar dengan kaum adam. Ini dikenal sebagau awal munculnya emansipasi wanita. Setelah hal ini meluas, muncullah beberapa organisasi perempuan di tanah iar ini yang pertama muncul adalah Poetri Mardika. Aisyiyah (Muhammadiyah), Muslimat (NU), Persistri (Persis), dan lain sebagainya.

Pasca masa orde baru, perjuangan perempuan mulai menuaikan hasil. Seperti, pada tahun 1974 pemerintah mengundangkan UU No. 1/1974 yang mengatur tentang perkawinan. Dimana dalam hal ini mengatur tentang larangan poligami atau dalam aturan ini mempersempit peluang untuk melakukan poligami. Selain itu juga pada masa itu dibentuklah kementerian urusan peranan wanita yang memberikan peluang wanita untuk ikut andil dalam pembangunan.

Kebijakan hukum keluarga di Indonesia modern mulai muncul sejak masa kerajaan islam di nusantara. Contohnya adalah aturan tentang perkawinan, perceraian dan juga waris. Namun, karena Belanda khawatir akan aturan ini, sehingga Belanda membuat berbagai aturan yang bertujuan untuk mengecilkan posisi pemberlakuan hukum islam dan isntansi peradilan peradilan agama dengan cara menerapkan hukum adat untuk pribumi yang beragama islam, hukum ordonasi untuk pribumi kristiani, perdata untuk orang Timur Asing Tengah, adat untuk keturunan Timur Asing, dan BW untuk keturunan Eropa.

Pada tahun 1954 disusunlah UU tentang perkawinan yang dikhususkan untuk umat islam yang berasaskan poligami. Menurut Hamka, poligami itu boleh, namun lebih baik jika beristri satu saja. Untuk menghindari diri dari perbuatan tidak adil. Poligami itu boleh, namun harus disertai dengan syarat yang menguatkan. Seperti bisa berbuat adil, dapat memberi nafkah dan juga tempat tinggal yang layak, istri mandul atau tidak dapat melayani suami, dan juga adanya persetujuan antara keduanya.

Menurut Moenawar Chalil, poligami adalah tradisi pra islam yang mana tradisi ini bisa kemuliaan dan meningkatkan perbendaharaan harta. Poligami inilah yang harus dihapuskan karena sama dengan penghinaan terhadap kaum wanita. Di Indonesia justru poligami seperti inilah yang terus berkembang.

Tahun 1974 disahkanlah Undang-Undang tentang perkawinan. Yang dalam praktiknya di Pengadilan Agama hakim masih banyak merujuk pada kitab-kitab fiqih dalam menyelesaikan perkara. Sehingga sering ditemukan perbedaan dengan pengadilan yang lain pada kasus yang sama. Maka dari itu muncullah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diharapkan dapat mengatasi perbedaan putusan hakim di Pengadilan Agama.

Namun demikian, KHI ini masih mengandung kecenderungan patriarki dan meminggirkan perempuan. Sehingga pada taun 2004 ada gagasan untuk mengajukan draft hukum tandingan terhadap KHI tentang larangan poligami, hak waris yang seimbang, sahnya perkawinan beda agama dan sebagainya yang mana ini dinilai masih sensitif terhadap gender.

Menurut Munawir Sjadzali, pergeseran struktur keluarga dan juga relasi, yang mana suami dan istri memikul tanggung jawab yang sama dalam keluarga, maka kurang tepat jika proporsi pembagian waris untuk laki-laki dan perempuan adalah 2:1 kurang tepat jika dilaksanakan. Sebagai solusinya, beliau menawarkan proporsi yang seimbang dalam hal kewarisan. Namun, gagasan ini belum sepenuhnya diangkat dalam KHI.

Indonesia secara khusus belum memiliki undang-undang yang mengatur tentang kewarisan. KHI adalah serapan dari berbagai rujukan seperti kitab fiqih sebagai rujukan hakim peradilan agama. KHI tidak secara jelas menjelaskan tentang kewarisan perempuan. Ketentuan waris dalam HKI didasarkan pada Q.S An-Nisa' ayat 7, 11, 12, dan 176 serta hadis tentang ahli waris perempuan dan juga ijtihad para ulama dengan mempertimbangkan adat istiadat ('urf) dan juga maslahah mursalah untuk kemaslahatan bagian waris bagi perempuan dalam konteks yang ada di Indonesia.

Ketentuan waris dalam Q.S An-Nisa' ayat 7, 11, 12, dan 176 bisa diligat dari pasal 174 tentang kelompok hali waris, pasal 175 tentang kewajiban ahli waris, pasal 176-182 tentang pembagian ahli waris, pasal 180 tentang bagian waris istri, pasal 182 tentang pembagian waris untuk saudara perempuan kandung dan seibu. Itu jika ditelaah dari dalil yang menjelaskan tentang pembagian waris perempuan.

Ketentuan waris jika ditelaah dari hadist nabi, maka bisa dilihat pada pasal 173 tentang pembunuhan sebagai halangan kewarisan, pasal 175 tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris, pasal 186 tentang kewarisan anak diluar nikah, pasal 173 tentang halangan waris, pasal 176 tentang bagian waris anak perempuan. Itu jika dilihat dari hadist nabi yang dicantumkan dalam KHI.

Ketentuan kewarisan yang jika dilihat dari ijtihad ulama adalah terdiri dari beberapa pasal yang mana berkaitan dengan masalah administratif dan sebagiannya lagi berkaitan dengan teknis pembagian. Pasal 173 tentang pembuktian status agama waris, pasal 173 tentang memfitnah sebagai penghalang waris, pasal 183 tentang perdamaian dan pembagian harta warisan. Pasal 184 tentang wali bagi ahli waris yang belum dewasa dan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, pasal 187 tentang penunjukan pelaksana pembagian harta warisan, dan pasal 188 tentang permintaan pembagian kewarisan.

Di dalam KHI tidak di deskripsikan jelas tentang ketentuan dan syarat kewarisan sebagaimana ditentukan dalam kitab fiqih. Dalam KHI yang dimaksud dengan pewaris adalah si mayit, sedangkan ahli waris adalah penerima harta peninggalan. Syarat dari sebuah kewarisan adalah wafatnya pewaris secara hakiki atau putusan haki, memiliki ahli waris dan juga meninggalkan harta waris.

Penjelasan tentang sebab kewarisan disebutkan dalam pasal 174 ayat 1 bagian (a) dan (b) yang menjelaskan sebagai berikut. Kelompok ahli waris terdiri dari:

  • Menurut hubungan darah (Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek)
  • Menurut hubungan perkawinan terdiri dari dua : duda dan janda

Dapat disimpulkan bahwa sebab kewarisan adalah hubungan kerabat dan hubungan perkawinan. Selain itu, sebab kewarisan juga bisa terjadi jika seseorang menggantikan posisi ahli waris yang telah wafat terlebih dahulu sebagai ahli waris pengganti. Khususnya bagi cucu laki-laki dan cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Seperti yang terdapat dalam pasal 85:

  • Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali yang mereka tersebut dalam pasal 173
  • Bagain ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Yang menghalang seseorang menjadi menjadi ahli waris adalah membunuh, mencoba membunuh, menganiaya, dan memfitnah pewaris. Mengenai yang berbeda agama sudah sepaket dengan syarat ahli waris, yakni harus beragam islam. Dengan kata lain berbeda agama maka menghalangi menerima waris karena tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris.

Selain di Indonesia, buku ini juga membahas tentang kewarisan perempuan di Arab Saudi. Ketentuan kewarisan perempuan di Arab Saudi menggunakan mazhab Hanabilah. Maka dari itu, mau tidak mau harus melihat konsep ketentuan waris yang ada dallam mazhab Hanabilah. Dasar hukum kewarisan bersumber pada surat An-Nisa' ayat 7, 11,12, dan 176. Ini membahasa bagian-bagian ahli waris.

Adapun sebab kewarisan perempaun di Arab Saudi adalah :

  • Pernikahan. Pernikahan yang dimaksud adalah pernikahan yang sah. Talak ba'in tidak bisa memjadi sebaba mewarisi. Namun jika talak raj'i itu masih bisa selama belum habis masa iddahnya.
  • Wala'. Dalam hal ini adalah hubungan kekerabatan yang disebabkan memerdekakan budak.
  • Hubungan kekerabatan. Ada tiga macam yaitu kerabat yang berasal dari nenek moyang keatas, kerabat dari keturunan menyamping, dan kerabat dari keturunan kebawah.

Sedangkan yang menjadi sebab penghalang kewarisan perempuan di Arab Saudi adalah :

  • Budak. Adalah orang yang lemah secara hukum.
  • Pembunuhan. Dalam hal ini adalah pembunuhan yang mengakibatkan qisash, diyat, dan kafarat. Bukan pembunuhan yang dibenarkan syariat.
  • Beda Agama. Perbedaan agama dalam segala hal dipandang menghalangi  

Selain Indonesia dan Arab Saudi ada juga negara muslim yang menerapkan sistem pembagian waris perempuan modern yaitu Somalia. Muslim di Somalia menganut mazhab Syafi'i secara umum. Namun, hukum adat Afrika juga masih memiliki pengaruh yang kuat juga. Bahkan dalam hal-hal tertentu hukum adat tersebut bisa mengalahkan hukum islam.

Pada tahun 1975, Somalia memiliki undang-undang dengan nama Family Code Of Somalia yang mana diundangkannya hukum keluarga ini adalah untuk menggantikan hukum adat kuno yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Terdiri dari 173 pasal dan 4 bab. Buku pertama pasal 1-52 mengatur tentang perkawinan dan perceraian. Buku kedua pasal 53-81 mengatur tentang anak dan pemeliharaannya. Buku ketiga pasal 82-116 mengatur tentang perwalian dan perwakilan, dan buku ke empat pasal 117-173 mengatur tentang kewarisan.

Walaupun tampak memperhatikan nilai kesetaraan, namun Family Code Of Somalia ini masih kurang melindungi hak perempuan. Misalnya masih dimungkinkan terjadinya kawin paksa pada perempuan dan juga praktik poligami. Dalam kultur patriarki, perempuan diorientasikan pada berperan pada sektor domestik. Yang dibatasi ruang geraknya dan kurang memperoleh akses pendidikan. Selain itu, ruang gerak perempuan juga dibatasi oleh kontrol terhadap suaminya.

Pada tahun 1979, Somalia mendeklarasikan diri menjadi negara muslim yang didasarkan pada fiqih Syafi'iyah. Ketentuan kewarisan perempuan di Somalia didasarkan pada fiqih Syafii'iyah , namun dengan modifiaksi yang cukup radikal. Syarat kewarisan yang harus dipenuhi adalah wafatnya ahli waris, adanya pewaris harta, dan adanya harta waris. Sementara yang menjadi sebab kewarisan setiaknya ada dua, yaitu hubungan kerabat dan hubungan perkawinan. Yang dimaksud kerabat disini adalah sebatas anak/cucu, saudara, bapak/ibu, dan kakek/nenek. Sedangkan yang menjadi sebab penghalang kewarisan adalah disebabkan oleh adanya ahli waris yang lebih berhak.

Meski negeri ini bermadzab Syafi'i. Namun konsep pewarisan terdapat beberapa perbedaan. Misalnya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dan pembatasan drastis kelompok ahli waris. Dari ketentuan Family Code Of Somalia, dapat dilihat bahwa kesetaraan hak waris laku-laki dan perempuan khususnya suami istri, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan, dan antara kakek dan nenek. Kerabat jauh tidak memiliki kesempatan untuk mewarisi.

Zu al-furudh dalam konsep kewarisna perempuan di Somalia terdiri dari suami, istri, anak (laki-laki/perempuan), cucu (laki-laki/perempuan), ayah, ibu, kakek, nenek, dan saudara (laki-laki/perempuan). Jika semaunya ada maka yang berhak mewarisi adalah suami/istri, anak (laki-laki/perempuan), ayah, dan ibu.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan secara fiqih klasik antara Indonesia, Arab Saudi, dan Somalia dalam hal kewarisan. Ketiganya berbeda, baik yang berupa ketentuan umum (dasar hukum, sebab, syarat dan halangan) maupun yang berkaitan dengan ketentuan teknis (kelompok, bagian, dan cara perhitungannya).

Di Indonesia, cabang ketentuan waris perempuan mengalami pergeseran dari fiqih klasik (Syafi'iyah). Terkait dengan dasar hukum, ketentaun kewarisan dalam KHI selain dari Al-Qur'an, hadist dan ijma' yang sangat populer dengan landasannya, juga menggunakan ijma' ulama lokal sebagai landasannya. Misalnya terkait hak cucu perempuan atau laki-laki untuk menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat. Sealin itu juga wasiat wajibah yang diberlakukan kepada kerabat angkat (baik anak angkat ataupun orangtua angkat).

KHI tidak menjadikan wala' sebagai sebab mewarisi. Berbeda dengan Syafi'i yang menganggap wala' sebagai sebab untuk mewarisi. Hal ini karena Indonesia tidak mengenal perbudakan. Hubungan kerabat angkat sebagi sebab kewarisan melalui wasiat. Disebabkan oleh faktor budaya dan kebiasaan (adat-istiadat) masyarakat yang terbiasa mengangkat anak atau orang tua.

Terkait dengan penghalang waris, dalam KHI dijelaskan terdapat sedikit perubahan dari konsep Syafi'iyah. KHI memasukkan tindakan percobaan pembunuhan, penganiayaan berat, dan fitnah sebagai penghalang kewarisan. Perubahan ini mengandung nilai positif, khsuusnya bagi pewaris dari tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap harta yang dimiliki oleh pewaris.

Dalam hal pengelompokan ketentuan ahli waris, KHI menetapkan anak angkat sebagai pewaris melalui wasiiat wajibah dan ketentuan pengganti kewarisan bagi anak atau cucu laki-laki atau perempuan yang orang tuanya wafat terlebih dahulu. Untuk besarannya, KHI tidak berbeda dengan konsep fiqih, yaitu 2:1. Hanya saja, selain menganut prinsip tradisional, KHI juga membuka peluang bagi pembagian berimbang secara damai setelah ahli waris mengetahui masing-masing bagian dari mereka.

Adapun ketentuan pembagaian dalam KHI, yang belum dijelaskan dalam fiqh adalah sebagai berikut:

  • Ketentuan administratif tentang pembuktian agama ahli waris (pasal 172)
  • Ketentuan administratif tentang wali bagi ahli waris (pasal 184)
  • Ketentuan administratif pelaksana pembagain waris (pasal 187)
  • Ketentuan administratif tentang permintaan pembagian waris (pasal 188)
  • Ketentuan teknis pembagain secara damai (pasal 183)
  • Ketentuan teknis pembagian untuk menahan harta asal (pasal 189)
  • Ketentuan teknis pembagian gono-gini istri yang dipoligami (pasal 190)
  • Ketentuan teknis pembagian bagi yang tidak memiliki pewaris (pasal 191)

Di Arab Saudi, ketentuan umum kewarisan perempuan secara teknisnya menggunakan ketentuan fiqih Hanabilah. Dasar hukum, sebab, syarat, dan halangan menggunakan konsep Hanabillah. Maka dari itu, ketentuan kewarisan di Arab Saudi tidak mengalami pergeseran dan perubahan yang berarti dari konsep fiqih klasik.

Sementara di Somalia, kelompok ahli waris, bagian-bagian dan juga syaratnya telah mengalami pergeseran berubah jauh dari konsep fiqih klasik Syafi'iyah. Kelompok hali waris perempuan yang berhak menerima waris dibatasi pada lingkaran keluarga inti yang tergabung dalam ash-habul furudh. Sementara dari ashabah dan zul arham tidak dikategorikan sebagai ahli waris. Sekalipun terdapat konsep ashabah itu berbeda dengan fiqih. Ahli waris baik laki-laki atau perempuan bila mewarisi secara tunggal maka dia berhak sebagai 'ashabah bin nafsi.

Dasar hukum yang digunakan di Somalia yang digunakan sebagai pijakan sudah melangkah jauh dari makna tekstual AL-Qur'an dan hadis. Sementara dalam aspek syarat tidak nampak jauh berbeda dengan konsep Syafi'iyah. Dalam hal sebab kewarisan, tidak menjadikan wala' sebagai sebab kewarisan. Somalia sedikit mengalami perubahan dan pergeseran terutama dalam hal hijab mahjub ahli waris. Misalnya saudara perempuan (hijab hirman) terhalangi oleh anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan. Saudara perempuan tidak terhalangi jika dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

Hukum kewarisan di Arab Saudi sebagaimana tergambar dalam Kitab Al-Faraidh' terlihat belum mengadaptasi kesetaraan perempuan, dimana laki-laki memiliki bagian yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan di Indonesia, hingga kini memang masih terdapat ketentuan 2:1 tapi pemberlakuannya terbuka lebar dalam KHI.

Sementara Somalia, terlihat jelas bahwa sudah mengadaptasi kesetaraan perempuan. Bahkan tingkat adaptasinya lebih jauh dibandingkan Indonesia meskipun sama-sama menganut Fiqh Syafi'iyah. Dengan demikian, istri memiliki bagian yang sama dengan suami, anak perempuan sama dengan anak laki-laki, bapak sama dengan ibu, saudara perempuan sama dengan saudara laki-laki, dan nenek sama dengan ibu.

Sedangkan berdasarkan tipologi ketentuan, Arab Saudi dikategoriakn sebagai negara yang bersifat membatasi terhadap kesetaraan. Sedangkan Indonesia, dengan pergeseran dan perubahan serta modela adaptasi yang tidak menyeluruh, maka ketentuan kewarisan perempuan yang tertuang dalam KHI dikategorikan memiliki tipologi moderat. Sementara di Somalia, kebijakan pergeseran dan perubahan serta adaptasi kesetaraan perempuan dapat dikategoriakn tidak membatasi dengan laki-laki. Sehingga perempuan memiliki hak waris yang sama di Somalia.

Dilihat dari latar belakangnya, Arab Saudi cenderung minim perubahan dan dipertahankan konsep fiqih klasik Hanabilah yang didominasi pengaruh pemerintah sejak awal berdirinya negara dan kecenderungan untuk menjadikan konsep tradisional. Berbeda dengan Arab Saudi, di Indonesia ketentuan kewarisan bagi perempuan tidak secara menyeluruh, namun terdapat sejumlah perubahan dan pergeseran. Hal ini bertujuan untuk mengadopsi wacana kesetaraan pada perempuan. Sementara itu, di Somalia pergeseran perubahan, dan pengadopsian terhadap wacana kesetaraan perempuan berlangsung secara drastis. Disebabkan oleh politik penguasa yang saat itu sedang gencar-gencarnya mengurangi pelaksaan hukum islam.

Setalah membaca buku ini, penulis mendapatkan inspirasi bahwa perempuan tidak selalu menjadi nomor dua atau kedudukannya selalu dibawah laki-laki. Namun perempuan juga bisa sejajar dengan laki-laki. Karena ruang gerak perempuan untuk saat ini sudah tidak terbatas ataupun berada di dalam kontrol laki-laki. Perempuan juga memiliki hak dan juga kewajiban sebagaimana setara dengan laki-laki, sama-sama memiliki kebebasan. Bahkan peran perempuan untuk saat ini lebih besar untuk mencetak generasi kedepan. Maka dari itu, kewarisan bagi perempuan juga terbuka lebar dalam hal pembagiannya.

Fransisca Dewi Eva Chatalina 

212121013 

4A Hukum Keluarga Islam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun