Mohon tunggu...
Fransisca Dewi Eva Chatalina
Fransisca Dewi Eva Chatalina Mohon Tunggu... Sekretaris - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Book

Kewarisan Perempuan di Negara Muslim Modern: Pergeseran, Adaptabilitas, dan Tipologi

11 Maret 2023   11:47 Diperbarui: 23 Maret 2023   11:23 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal pengelompokan ketentuan ahli waris, KHI menetapkan anak angkat sebagai pewaris melalui wasiiat wajibah dan ketentuan pengganti kewarisan bagi anak atau cucu laki-laki atau perempuan yang orang tuanya wafat terlebih dahulu. Untuk besarannya, KHI tidak berbeda dengan konsep fiqih, yaitu 2:1. Hanya saja, selain menganut prinsip tradisional, KHI juga membuka peluang bagi pembagian berimbang secara damai setelah ahli waris mengetahui masing-masing bagian dari mereka.

Adapun ketentuan pembagaian dalam KHI, yang belum dijelaskan dalam fiqh adalah sebagai berikut:

  • Ketentuan administratif tentang pembuktian agama ahli waris (pasal 172)
  • Ketentuan administratif tentang wali bagi ahli waris (pasal 184)
  • Ketentuan administratif pelaksana pembagain waris (pasal 187)
  • Ketentuan administratif tentang permintaan pembagian waris (pasal 188)
  • Ketentuan teknis pembagain secara damai (pasal 183)
  • Ketentuan teknis pembagian untuk menahan harta asal (pasal 189)
  • Ketentuan teknis pembagian gono-gini istri yang dipoligami (pasal 190)
  • Ketentuan teknis pembagian bagi yang tidak memiliki pewaris (pasal 191)

Di Arab Saudi, ketentuan umum kewarisan perempuan secara teknisnya menggunakan ketentuan fiqih Hanabilah. Dasar hukum, sebab, syarat, dan halangan menggunakan konsep Hanabillah. Maka dari itu, ketentuan kewarisan di Arab Saudi tidak mengalami pergeseran dan perubahan yang berarti dari konsep fiqih klasik.

Sementara di Somalia, kelompok ahli waris, bagian-bagian dan juga syaratnya telah mengalami pergeseran berubah jauh dari konsep fiqih klasik Syafi'iyah. Kelompok hali waris perempuan yang berhak menerima waris dibatasi pada lingkaran keluarga inti yang tergabung dalam ash-habul furudh. Sementara dari ashabah dan zul arham tidak dikategorikan sebagai ahli waris. Sekalipun terdapat konsep ashabah itu berbeda dengan fiqih. Ahli waris baik laki-laki atau perempuan bila mewarisi secara tunggal maka dia berhak sebagai 'ashabah bin nafsi.

Dasar hukum yang digunakan di Somalia yang digunakan sebagai pijakan sudah melangkah jauh dari makna tekstual AL-Qur'an dan hadis. Sementara dalam aspek syarat tidak nampak jauh berbeda dengan konsep Syafi'iyah. Dalam hal sebab kewarisan, tidak menjadikan wala' sebagai sebab kewarisan. Somalia sedikit mengalami perubahan dan pergeseran terutama dalam hal hijab mahjub ahli waris. Misalnya saudara perempuan (hijab hirman) terhalangi oleh anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan. Saudara perempuan tidak terhalangi jika dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

Hukum kewarisan di Arab Saudi sebagaimana tergambar dalam Kitab Al-Faraidh' terlihat belum mengadaptasi kesetaraan perempuan, dimana laki-laki memiliki bagian yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan di Indonesia, hingga kini memang masih terdapat ketentuan 2:1 tapi pemberlakuannya terbuka lebar dalam KHI.

Sementara Somalia, terlihat jelas bahwa sudah mengadaptasi kesetaraan perempuan. Bahkan tingkat adaptasinya lebih jauh dibandingkan Indonesia meskipun sama-sama menganut Fiqh Syafi'iyah. Dengan demikian, istri memiliki bagian yang sama dengan suami, anak perempuan sama dengan anak laki-laki, bapak sama dengan ibu, saudara perempuan sama dengan saudara laki-laki, dan nenek sama dengan ibu.

Sedangkan berdasarkan tipologi ketentuan, Arab Saudi dikategoriakn sebagai negara yang bersifat membatasi terhadap kesetaraan. Sedangkan Indonesia, dengan pergeseran dan perubahan serta modela adaptasi yang tidak menyeluruh, maka ketentuan kewarisan perempuan yang tertuang dalam KHI dikategorikan memiliki tipologi moderat. Sementara di Somalia, kebijakan pergeseran dan perubahan serta adaptasi kesetaraan perempuan dapat dikategoriakn tidak membatasi dengan laki-laki. Sehingga perempuan memiliki hak waris yang sama di Somalia.

Dilihat dari latar belakangnya, Arab Saudi cenderung minim perubahan dan dipertahankan konsep fiqih klasik Hanabilah yang didominasi pengaruh pemerintah sejak awal berdirinya negara dan kecenderungan untuk menjadikan konsep tradisional. Berbeda dengan Arab Saudi, di Indonesia ketentuan kewarisan bagi perempuan tidak secara menyeluruh, namun terdapat sejumlah perubahan dan pergeseran. Hal ini bertujuan untuk mengadopsi wacana kesetaraan pada perempuan. Sementara itu, di Somalia pergeseran perubahan, dan pengadopsian terhadap wacana kesetaraan perempuan berlangsung secara drastis. Disebabkan oleh politik penguasa yang saat itu sedang gencar-gencarnya mengurangi pelaksaan hukum islam.

Setalah membaca buku ini, penulis mendapatkan inspirasi bahwa perempuan tidak selalu menjadi nomor dua atau kedudukannya selalu dibawah laki-laki. Namun perempuan juga bisa sejajar dengan laki-laki. Karena ruang gerak perempuan untuk saat ini sudah tidak terbatas ataupun berada di dalam kontrol laki-laki. Perempuan juga memiliki hak dan juga kewajiban sebagaimana setara dengan laki-laki, sama-sama memiliki kebebasan. Bahkan peran perempuan untuk saat ini lebih besar untuk mencetak generasi kedepan. Maka dari itu, kewarisan bagi perempuan juga terbuka lebar dalam hal pembagiannya.

Fransisca Dewi Eva Chatalina 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun