Bayangkan jika kamu berada di ruang kelas, duduk di meja ujian, dengan secarik kertas bertuliskan soal Ujian Nasional (UN) di hadapanmu. Berbagai emosi muncul, harapan, gugup, hingga cemas yang bercampur aduk.Â
Kondisi ini adalah realitas yang dihadapi jutaan siswa Indonesia selama bertahun-tahun sebelum UN dihapuskan pada 2021. Lantas, ketika muncul wacana untuk menerapkan kembali UN, muncul pertanyaan besar: apakah hal ini realistis, dan yang lebih penting, apakah UN masih relevan di era pendidikan yang semakin dinamis ini?
Selama puluhan tahun, UN menjadi ujian akhir yang dinilai sebagai tolak ukur prestasi siswa secara nasional. Hasil UN digunakan bukan hanya untuk kelulusan, tetapi juga untuk mengukur kualitas pendidikan di seluruh daerah Indonesia.Â
Seiring berjalannya waktu, sistem ini mulai mendapat sorotan. Banyak pihak yang mempertanyakan keefektifan UN dalam mengukur kemampuan siswa secara menyeluruh, karena UN cenderung menguji aspek kognitif saja.Â
Atas dasar itu, pemerintah akhirnya menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang lebih berfokus pada kemampuan literasi, numerasi, dan karakter siswa. Namun, apakah keputusan ini benar-benar tepat, atau justru pengembalian UN lebih efektif?
UN Sebagai Standar Evaluasi yang Terukur
Salah satu alasan kuat untuk mempertimbangkan kembali UN adalah karena UN dianggap sebagai tolak ukur yang jelas dan standar evaluasi yang seragam di seluruh Indonesia.Â
Dengan adanya UN, pemerintah bisa mendapatkan data yang konsisten tentang performa pendidikan di berbagai daerah. Dalam konteks ini, UN mampu memotret kualitas pendidikan nasional secara lebih objektif.
Jika UN diterapkan kembali, pemerintah mungkin dapat mengatasi masalah ketimpangan pendidikan melalui kebijakan berbasis data yang lebih jelas. Misalnya, hasil UN bisa menjadi rujukan untuk menyusun program perbaikan khusus bagi daerah dengan hasil rendah.Â
Tetapi, pertanyaan pentingnya adalah apakah UN benar-benar dapat menilai kemampuan siswa secara menyeluruh, atau justru hanya aspek tertentu saja yang tersorot?
Apakah UN Menguji Semua Aspek yang Dibutuhkan di Era Modern?
Salah satu kekurangan utama UN adalah fokusnya pada hafalan dan kemampuan kognitif semata. Di era di mana keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi semakin dibutuhkan, kemampuan ini tidak akan terukur hanya dengan soal pilihan ganda.Â
Dalam UN, siswa hanya diuji untuk menemukan jawaban benar atau salah tanpa ada ruang untuk analisis mendalam, apalagi penerapan pengetahuan dalam kehidupan nyata. Misalnya, siswa yang pandai menghafal rumus matematika bisa saja memperoleh nilai tinggi di UN, tetapi belum tentu mereka memahami konsep-konsep dasar yang menjadi landasan rumus tersebut.
Metode evaluasi yang lebih modern seperti AKM dianggap lebih relevan dalam hal ini. AKM tidak hanya mengukur apa yang siswa ketahui, tetapi juga bagaimana mereka memahami dan mengaplikasikan pengetahuan itu dalam berbagai konteks.
 Evaluasi ini memungkinkan siswa berpikir kritis dan problem solving dua keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Dengan mempertimbangkan perkembangan ini, perlu dipertanyakan apakah UN mampu memberikan hasil yang sejalan dengan tuntutan zaman.
Tantangan Infrastruktur dan Kesetaraan Pendidikan di Daerah
Jika UN diterapkan kembali, masalah infrastruktur pendidikan menjadi tantangan besar, terutama di daerah terpencil yang sering kali kurang terfasilitasi. Di daerah terpencil, ketersediaan guru yang berkualitas, akses ke internet, dan fasilitas belajar yang memadai sering kali sangat terbatas.
 Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan antara siswa di kota besar dan di daerah terpencil.Â
Siswa di kota besar mungkin memiliki bimbingan belajar, akses ke internet, dan dukungan fasilitas yang lebih baik. Sebaliknya, siswa di daerah terpencil seringkali harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan sumber belajar yang layak.
Bayangkan dampaknya jika UN, dengan standar yang sama, diberlakukan untuk siswa di seluruh Indonesia. Siswa di daerah terpencil akan menghadapi beban yang lebih berat, dan hasilnya akan sangat mungkin tidak mencerminkan kemampuan mereka secara adil.Â
Dengan kondisi infrastruktur pendidikan yang belum merata, penerapan kembali UN justru bisa memperlebar kesenjangan hasil belajar, bukan mengatasinya.
Beban Psikologis pada Siswa
Selain tantangan infrastruktur, penerapan UN juga membawa dampak psikologis yang signifikan pada siswa. Banyak siswa mengaku merasa tertekan karena UN dianggap sebagai "penentu nasib" yang akan memengaruhi masa depan mereka.Â
Beban ini tidak hanya dirasakan siswa, tetapi juga orang tua dan guru. Penelitian menunjukkan bahwa stres akademik yang berkepanjangan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental anak. Siswa yang merasa tertekan berlebihan bisa kehilangan motivasi belajar, bahkan berpotensi mengalami kecemasan yang berlebihan.
Sebagai contoh, kasus-kasus kecemasan dan depresi pada siswa kerap meningkat menjelang UN. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele, terutama ketika kesadaran tentang kesehatan mental mulai meningkat di masyarakat.Â
Jika pemerintah benar-benar ingin mencetak generasi yang cerdas dan sehat mental, perlu dipertimbangkan apakah UN dengan tekanan yang tinggi ini adalah solusi yang tepat.
Alternatif Evaluasi yang Lebih Adaptif dan Relevan
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, pendidikan kini memiliki peluang untuk mengembangkan evaluasi yang lebih fleksibel dan adaptif. Misalnya, sistem portofolio digital, di mana siswa dapat mengumpulkan berbagai proyek dan karya mereka selama proses belajar.Â
Ini memberi kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan keunikan dan potensi mereka di luar hasil ujian tertulis.Â
Asesmen berbasis proyek ini memungkinkan siswa menunjukkan kemampuan problem-solving, kreativitas, hingga kolaborasi---hal-hal yang sulit diukur hanya dengan pilihan ganda.
Selain itu, evaluasi berbasis AKM yang difokuskan pada literasi dan numerasi bisa menjadi pilihan tepat karena mampu mengukur pemahaman konsep mendasar. Metode ini juga lebih fleksibel, sesuai dengan kebutuhan pendidikan modern yang berorientasi pada keterampilan hidup, bukan sekadar hafalan.Â
Alternatif-alternatif ini tidak hanya memberikan hasil yang lebih mendalam tentang kemampuan siswa, tetapi juga mengurangi tekanan berlebih yang selama ini terjadi pada UN.
Apakah Mengembalikan UN adalah Solusi yang Tepat?
Mengembalikan Ujian Nasional mungkin terdengar seperti solusi yang cepat dan sederhana untuk mengukur prestasi pendidikan nasional.Â
Namun, tantangan yang ada cukup kompleks, mulai dari ketidaksiapan infrastruktur di berbagai daerah, tekanan psikologis pada siswa, hingga kurang relevannya sistem ini dalam mengukur keterampilan hidup yang lebih luas.Â
Dengan demikian, langkah yang lebih bijak mungkin adalah terus mengembangkan sistem evaluasi yang lebih adaptif, relevan, dan inklusif, seperti AKM dan penilaian berbasis proyek.
Pendidikan adalah proses yang terus berkembang, dan sistem evaluasi harus mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Daripada melihat UN sebagai satu-satunya solusi, saat ini kita berada dalam momentum yang tepat untuk berinovasi dalam evaluasi pendidikan.Â
Di tengah perubahan global yang pesat, Indonesia membutuhkan metode penilaian yang mampu menghasilkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga siap menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H