Tidak hanya itu, peran mengalah yang terus-menerus juga bisa mengakibatkan lelaki merasa kehilangan jati diri dan harga diri. Bagaimana tidak? Mereka harus menekan pendapat, kebutuhan, dan perasaannya demi menjaga hubungan tetap stabil.Â
Namun, apakah ini benar-benar adil? Ketika lelaki selalu diharapkan untuk mengalah, ini menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri. Bukankah seharusnya hubungan yang sehat memungkinkan kedua belah pihak untuk menjadi diri mereka yang sebenarnya?
Hubungan Bukan Sekadar Tentang Siapa yang Mengalah
Memang benar bahwa dalam setiap hubungan pasti ada kompromi. Namun, kompromi seharusnya bukanlah beban satu pihak saja.Â
Wanita dan lelaki, keduanya memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat dan mencari solusi terbaik. Sebuah hubungan yang harmonis dibangun dari komunikasi yang sehat dan keterbukaan, bukan dari siapa yang mengalah lebih banyak.
Wanita juga harus memahami bahwa kekuatan dalam hubungan tidak terletak pada siapa yang selalu menang dalam argumen, melainkan pada kemampuan untuk berdiskusi secara dewasa dan mencapai solusi bersama. Keseimbangan dalam hubungan adalah kunci utama dalam menciptakan keharmonisan.Â
Hubungan yang sehat akan memberi ruang bagi kedua belah pihak untuk menyampaikan perasaan mereka tanpa merasa tertekan untuk selalu mengalah.
Bukan berarti bahwa lelaki tidak boleh mengalah sama sekali. Tentu saja, ada kalanya mengalah menjadi jalan terbaik untuk meredam konflik. Namun, yang penting di sini adalah adanya timbal balik.Â
Wanita juga perlu mengambil peran dalam kompromi. Jika hanya satu pihak yang terus-menerus mengalah, maka hubungan tersebut menjadi tidak seimbang dan berpotensi menimbulkan perasaan tidak puas, baik dari sisi lelaki maupun wanita.
Dampak Psikologis dari Selalu Mengalah
Mengalah secara terus-menerus tanpa kesempatan untuk mengekspresikan perasaan dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan bahkan menurunkan harga diri.Â