Manusia selalu berusaha mencari dan menemukan makna hidup di balik segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Filsuf Sokrates dengan tepat mengatakan: "Hidup yang tak direfleksikan tidak layak untuk dijalani". Sungguh benar, hidup ini dengan segala lika-likunya akan menjadi layak dijalani atau bermakna bila kita mau meluangkan waktu untuk merenungkannya. Bermakna tentu saja bukan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk Tuhan, sesama dan lingkungan.
Namun, di tengah pandemi COVID-19 ini, bagaimana harus merefleksikan hidup itu sendiri? Harus dari mana refleksi itu dimulai? Usaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut terasa melelahkan. Melelahkan, sebab bagaimana mungkin kita harus berjarak dengan sesama padahal di saat yang sama dunia dan sekitar kita mengalami penderitaan?
Bagaimana mungkin kita membiarkan saudara dan kerabat kenalan yang meninggal karena terjangkit virus ini tidak diurus dengan selayaknya? Bahkan untuk mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir pun kita tak bisa? Â Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan budi kita.
Seabsurd apa pun kelihatannya hidup akibat pandemi Covid-19 ini, kita harus tetap memiliki keberanian untuk memasuki dan menjalaninya. Life must go on, right?
Berbicara tentang keberanian untuk memasuki realitas kehidupan, sekalipun itu tidak mengenakkan, filsafat hermeneutik Paul Ricoeur sepertinya bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita.
Sebagai seorang mahasiswa yang setiap hari bergelut dengan tema-tema teologis, saya selalu menyempatkan diri membaca karya-karya filosofis. Bukan hanya sekadar ingin menambah pengetahuan, tapi karena filsafat dan teologi mempunyai keterkaitan yang erat dalam usaha memahami kebenaran.Â
"Iman dan akal budi bagaikan dua sayap manusia untuk terbang membumbung tinggi pada kontemplasi tentang kebenaran; Â karena Tuhan telah menempatkan dalam hati manusia kehendak untuk mengetahui kebenaran -- ringkasnya, untuk mengetahui dirinya -- sehingga, dengan mengetahui dan mengasihi Allah, manusia juga akan sampai pada kepenuhan kebenaran tentang diri mereka sendiri", begitu kata St. Paus Yohanes Paulus II dalam membuka Ensikliknya, Fides et Ratio.
Atau kalau kita ingin mundur lebih jauh lagi, tepatnya pada periode Abad Pertengahan (Mediovale), filsafat dikatakan sebagai preambulum fidei (pengantar iman) dan ancilla theologiae (pembantu wanita bagi teologi). Sebagai preambulum fidei filsafat dimaksudkan sebagai pembuka dan pendahulu bagi iman.Â
Sosok Sokrates bisa menjadi contoh dalam hal ini. Cintanya akan kebijaksanaan serta ketekunannya mengejar kebijaksanaan itu sampai akhir hidupnya dipandang sebagai sikap yang selaras dengan segala yang diperlukan untuk beriman Kristiani. Sementara sebagai ancilla theologiae hendak memaksudkan peran filsafat dalam menolong akal budi manusia melahirkan pengertian-pengertian yang benar tentang misteri iman.[1]Â
Dalam berteologi, kompleksitas hermeneutika Paul Ricoeur bagi saya pribadi memberikan kontribusinya tersendiri, secara khusus dalam upaya berteologi kontekstual. Dengan teologi kontekstual dimaksudkan bahwa sebuah refleksi teologis berangkat dari konteks. Konteks kulturalitas-religiositas manusia menjadi sumber (locus theologicus). Teologi kontekstual hendak memusatkan diri pada nilai dan kebaikan dari anthropos (pribadi manusia).Â
Dalam model ini kodrat manusia, dan konteks manusia itu sendiri, dipandang baik, kudus dan bernilai. Dalam pemahaman ini, model antropologi akan menekankan bahwa di dalam budaya manusia-lah kita dapat menemukan pewahyuan Allah. Mereka yang menenggelamkan diri dalam model ini berusaha mencari pewahyuan dan penyataan diri Allah yang tersembunyi dalam nilai-nilai, pola-pola relasional dan keprihatinan-keprihatinan dari sebuah konteks.[2] Dalam pemahaman inilah, hermeneutik Paul Ricoeur yang melibatkan filsafat eksistensialisme, fenomenologi, psikologi dan hermeneutik itu sendiri (kompleksitas) sangat membantu dalam upaya kontekstualisi pesan Injil.Â
Lantas, mengapa filsafat hermeneutika? Apa yang istimewa darinya? Hermeneutika dipahami sebagai seni memahami sebuah teks. Adalah teks-teks kitab suci yang semula menjadi objek utama penafsiran. Namun, di kemudian hari realitas hidup manusia itu sendiri yang banyak digumuli.Â
Sebagai sebuah seni tentu saja hermeneutika menyajikan keindahan dan kekhasannya tersendiri dalam menginterpretasi teks dan perkara-perkara kemanusiaan. Dalam hermenetuika, "Aku" (pembaca) dan teks mempunyai hubungan yang tak terpisahkan.Â
Dalam membaca sebuah teks, pembaca mempunyai pengalaman subjektif yang kerap menjadi kepentingan aktivitas pembacaan. Tidak heran terhadap sebuah teks/perikop kitab suci atau teks sastra kita mempunyai penafsiran dan pemaknaan yang berbeda sesuai dengan pengalaman subjektif kita masing-masing. Inilah yang dinamakan dengan relasionalitas Aku dan teks.[3]
Kembali kepada permenungan soal bagaimana memahami teks atau realitas hidup itu sendiri. Pertama-tama yang perlu diingat ialah bahwa manusia adalah homo experiens (makhluk yang mengalami). Keberadaan kita sebagai homo experiens membuat masing-masing kita unik dan berharga. Unik dan berharga karena setiap kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Dalam realitas keberbedaan ini, kita dituntut untuk menghormati dan menghargai sesama.Â
Karena itu, sudah sangat tepat ketika ada sharing pengalaman kita diminta untuk tidak mengkritik pengalaman orang lain maupun menggurui ketika mensharingkan pengalaman. Karena itulah kita menggunakan kata "saya", bukan "kita". Dengan "saya" hendak menunjukkan bahwa pengalaman itu sungguh merupakan "milikku" dan pergumulan diriku dalam memaknai kehidupan ini.Â
Meskipun begitu, kenyataan ini tidaklah kemudian menjadikan kita sebagai pribadi yang tertutup terhadap pengalaman orang lain. Kita harus menjadi pribadi yang rendah hati untuk belajar dari pengalaman orang lain. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?
Gereja Katolik, dalam Teologi Wahyu dan Iman, juga memberikan penekanan akan pentingnya pengalaman manusia. Wahyu dilihat sebagai komunikasi pribadi antara Allah yang transenden dengan manusia yang di bumi ini. Allah yang tak kelihatan itu dari kepenuhan cinta kasih-Nya menganugerahkan diri kepada manusia, menyapa mereka, bergaul dengan mereka, bersekutu dengan mereka.Â
Inilah hakikat dari wahyu. Dan aspek personal, yaitu pertemuan pribadi antara Allah dan manusia menjadi aspek yang paling digarisbawahi.[4] Pertemuan pribadi ini dialami oleh manusia dalam berbagai pengalaman hidupnya. Pengalaman dengan demikian merupakan medium yang melaluinya manusia menjumpai pewahyuan diri Allah.[5]
Setiap pengalaman pastilah memiliki maknanya masing-masing. Hanya saja untuk menemukan maknanya kadang memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Kita seperti memasuki lorong-lorong gelap. Mungkin karena itulah tidak sedikit yang memutuskan berhenti di tengah jalan. Terlebih ketika berusaha mencari makna dari pengalaman yang pedih, menyakitkan, mengecewakan, dst. Â
Pandemi Covid-19 menjadi contoh nyata yang membuat kita kadang seperti berjalan menapaki lorong-lorong gelap. Lantas, bagaimana kemudian memaknai dan merenungkan situasi ini dalam terang hermenutika Paul Ricoeur? Secara ringkas, memahami teks bagi Ricoeur bukan hanya memahami makna yang terkandung di dalam teks itu, melainkan juga lewat teks itu merefleksikan makna hidup kita, karena teks mengacu kepada kehidupan, kepada dunia di luar teks itu.
[6] Persoalannya apakah yang menjadi teks bagi kita yang harus kita baca dan maknai? Di sini kita mengenal apa yang disebut dengan konteks, yang memiliki arti yang penting untuk memahami relasi pembaca dan teks. Konteks menunjuk kepada ruang keseharian hidup manusia, pengalaman hidup sehari-hari.[7]Â
Berhadapan dengan pandemi Covid-19, teks yang sedang kita geluti bukanlah ayat-ayat suci atau teks sastra, melainkan realitas hidup itu sendiri. Dalam bahasa Armada Riyanto, konteks yang sedang kita gumuli ialah konteks sebagai "ruang subjektif". Ruang subjektivitas memaksudkan manusia adalah subjek bagi hidupnya. Artinya, dia adalah tuan sekaligus pemilik atas tindakannya. Realitas subjektif manusia kerap amat mempengaruhi bagaimana ia bertindak.[8]Â
Ricoeur berpandangan bahwa refleksi bertautan erat dengan interpretasi. Dengan berpandangan demikian, ia hendak menegaskan bahwa aktivitas menafsir tak lain merupakan peziarahan manusia di dalam teks untuk menemukan makna teks itu bagi hidupnya. Bila hendak dipahami menurut skema hubungan teks dengan pembaca, usaha pencarian atas makna menempatkan kita pada tahap terakhir yang dinamakan dengan apropiasi diri (self-appropiation).Â
Berada pada tahap ini, pembaca tidak lagi hanya sekadar menjelaskan (explanation) atau menemukan sebuah pemahaman (understanding) dari teks, namun memasuki teks secara lebih intens. Setelah memasuki teks secara intens, pembaca akan keluar sebagai "Aku yang lebih baru, lebih baik, berbeda dari sebelum memasuki teks". Pembaca akan makin memahami dirinya. Self-appropiation tidak dipandang sebagai proses psikologis melainkan hermeneutis (fenomenologi eksistensial). Artinya, pembaca memasuki teks bukan sebagai orang yang sedang mengalami gangguan mental sehingga memerlukan penyembuhan. Self-appropiation adalah perkara pergumulan pembaca dalam memaknai sebuah teks.[9] Â Â
Mengatakan bahwa manusia adalah homo experiens sesungguhnya hendak mengajak kita menemukan makna hidup dari setiap pengalaman yang kita jumpai. Namun, makna tersebut baru akan kita temukan kalau kita berani memasuki sebuah teks atau realitas yang kerap kali mengganggu rasa nyaman kita. Sebagai makhluk yang acap kali lebih memilih yang enak-enak saja, Ricoeur sepertinya hendak membawa kita untuk berani bergumul dalam realitas kekhawatiran, kecemasan, kegagalan, kesendirian, kemalangan, kelaparan, sakit, keputusasaan, dst agar bisa semakin memahami diri dengan lebih baik.
Akhirnya, pengalamanku selalu berada bersama dengan pengalaman orang lain. Karena setiap pengalaman mempunyai maknanya masing-masing, maka berada bersama yang lain memanggil kita untuk rela saling berbagi pengalaman. Dengan berbagi, barangkali pengalaman kita bisa menghadirkan pemahaman yang baik dan benar atas hidup atau mungkin bisa mendatangkan gairah dan semangat baru bagi orang lain.
NOTE
[1]Lih. Armada Riyanto, Relasionalitas. Filsafat Pondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hal. 152-153.
[2]Bdk. Stephen B. Bevans, Models Of Contextual Theology. Revised and Expanded Edition, (New York: Orbis Book, 1992), hal. 54-56.
[3] Ibid., hal. 2.
[4] Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal.66-67.
[5] Lih. Gerard O'Collins, Rethinking Fundamental Theology, (Oxford: University Press, 2011), hal. 42.
[6]F. Budi Hardiman, Seni Memahami. Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hal. 244.
[7] Armada Riyanto, Op.Cit., hal. 7.
[8] Ibid., hal. 8.
[9] Bdk. Ibid., hal. 108-112.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H