Lantas, mengapa filsafat hermeneutika? Apa yang istimewa darinya? Hermeneutika dipahami sebagai seni memahami sebuah teks. Adalah teks-teks kitab suci yang semula menjadi objek utama penafsiran. Namun, di kemudian hari realitas hidup manusia itu sendiri yang banyak digumuli.Â
Sebagai sebuah seni tentu saja hermeneutika menyajikan keindahan dan kekhasannya tersendiri dalam menginterpretasi teks dan perkara-perkara kemanusiaan. Dalam hermenetuika, "Aku" (pembaca) dan teks mempunyai hubungan yang tak terpisahkan.Â
Dalam membaca sebuah teks, pembaca mempunyai pengalaman subjektif yang kerap menjadi kepentingan aktivitas pembacaan. Tidak heran terhadap sebuah teks/perikop kitab suci atau teks sastra kita mempunyai penafsiran dan pemaknaan yang berbeda sesuai dengan pengalaman subjektif kita masing-masing. Inilah yang dinamakan dengan relasionalitas Aku dan teks.[3]
Kembali kepada permenungan soal bagaimana memahami teks atau realitas hidup itu sendiri. Pertama-tama yang perlu diingat ialah bahwa manusia adalah homo experiens (makhluk yang mengalami). Keberadaan kita sebagai homo experiens membuat masing-masing kita unik dan berharga. Unik dan berharga karena setiap kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Dalam realitas keberbedaan ini, kita dituntut untuk menghormati dan menghargai sesama.Â
Karena itu, sudah sangat tepat ketika ada sharing pengalaman kita diminta untuk tidak mengkritik pengalaman orang lain maupun menggurui ketika mensharingkan pengalaman. Karena itulah kita menggunakan kata "saya", bukan "kita". Dengan "saya" hendak menunjukkan bahwa pengalaman itu sungguh merupakan "milikku" dan pergumulan diriku dalam memaknai kehidupan ini.Â
Meskipun begitu, kenyataan ini tidaklah kemudian menjadikan kita sebagai pribadi yang tertutup terhadap pengalaman orang lain. Kita harus menjadi pribadi yang rendah hati untuk belajar dari pengalaman orang lain. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?
Gereja Katolik, dalam Teologi Wahyu dan Iman, juga memberikan penekanan akan pentingnya pengalaman manusia. Wahyu dilihat sebagai komunikasi pribadi antara Allah yang transenden dengan manusia yang di bumi ini. Allah yang tak kelihatan itu dari kepenuhan cinta kasih-Nya menganugerahkan diri kepada manusia, menyapa mereka, bergaul dengan mereka, bersekutu dengan mereka.Â
Inilah hakikat dari wahyu. Dan aspek personal, yaitu pertemuan pribadi antara Allah dan manusia menjadi aspek yang paling digarisbawahi.[4] Pertemuan pribadi ini dialami oleh manusia dalam berbagai pengalaman hidupnya. Pengalaman dengan demikian merupakan medium yang melaluinya manusia menjumpai pewahyuan diri Allah.[5]
Setiap pengalaman pastilah memiliki maknanya masing-masing. Hanya saja untuk menemukan maknanya kadang memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Kita seperti memasuki lorong-lorong gelap. Mungkin karena itulah tidak sedikit yang memutuskan berhenti di tengah jalan. Terlebih ketika berusaha mencari makna dari pengalaman yang pedih, menyakitkan, mengecewakan, dst. Â
Pandemi Covid-19 menjadi contoh nyata yang membuat kita kadang seperti berjalan menapaki lorong-lorong gelap. Lantas, bagaimana kemudian memaknai dan merenungkan situasi ini dalam terang hermenutika Paul Ricoeur? Secara ringkas, memahami teks bagi Ricoeur bukan hanya memahami makna yang terkandung di dalam teks itu, melainkan juga lewat teks itu merefleksikan makna hidup kita, karena teks mengacu kepada kehidupan, kepada dunia di luar teks itu.
[6] Persoalannya apakah yang menjadi teks bagi kita yang harus kita baca dan maknai? Di sini kita mengenal apa yang disebut dengan konteks, yang memiliki arti yang penting untuk memahami relasi pembaca dan teks. Konteks menunjuk kepada ruang keseharian hidup manusia, pengalaman hidup sehari-hari.[7]Â