Berhadapan dengan pandemi Covid-19, teks yang sedang kita geluti bukanlah ayat-ayat suci atau teks sastra, melainkan realitas hidup itu sendiri. Dalam bahasa Armada Riyanto, konteks yang sedang kita gumuli ialah konteks sebagai "ruang subjektif". Ruang subjektivitas memaksudkan manusia adalah subjek bagi hidupnya. Artinya, dia adalah tuan sekaligus pemilik atas tindakannya. Realitas subjektif manusia kerap amat mempengaruhi bagaimana ia bertindak.[8]Â
Ricoeur berpandangan bahwa refleksi bertautan erat dengan interpretasi. Dengan berpandangan demikian, ia hendak menegaskan bahwa aktivitas menafsir tak lain merupakan peziarahan manusia di dalam teks untuk menemukan makna teks itu bagi hidupnya. Bila hendak dipahami menurut skema hubungan teks dengan pembaca, usaha pencarian atas makna menempatkan kita pada tahap terakhir yang dinamakan dengan apropiasi diri (self-appropiation).Â
Berada pada tahap ini, pembaca tidak lagi hanya sekadar menjelaskan (explanation) atau menemukan sebuah pemahaman (understanding) dari teks, namun memasuki teks secara lebih intens. Setelah memasuki teks secara intens, pembaca akan keluar sebagai "Aku yang lebih baru, lebih baik, berbeda dari sebelum memasuki teks". Pembaca akan makin memahami dirinya. Self-appropiation tidak dipandang sebagai proses psikologis melainkan hermeneutis (fenomenologi eksistensial). Artinya, pembaca memasuki teks bukan sebagai orang yang sedang mengalami gangguan mental sehingga memerlukan penyembuhan. Self-appropiation adalah perkara pergumulan pembaca dalam memaknai sebuah teks.[9] Â Â
Mengatakan bahwa manusia adalah homo experiens sesungguhnya hendak mengajak kita menemukan makna hidup dari setiap pengalaman yang kita jumpai. Namun, makna tersebut baru akan kita temukan kalau kita berani memasuki sebuah teks atau realitas yang kerap kali mengganggu rasa nyaman kita. Sebagai makhluk yang acap kali lebih memilih yang enak-enak saja, Ricoeur sepertinya hendak membawa kita untuk berani bergumul dalam realitas kekhawatiran, kecemasan, kegagalan, kesendirian, kemalangan, kelaparan, sakit, keputusasaan, dst agar bisa semakin memahami diri dengan lebih baik.
Akhirnya, pengalamanku selalu berada bersama dengan pengalaman orang lain. Karena setiap pengalaman mempunyai maknanya masing-masing, maka berada bersama yang lain memanggil kita untuk rela saling berbagi pengalaman. Dengan berbagi, barangkali pengalaman kita bisa menghadirkan pemahaman yang baik dan benar atas hidup atau mungkin bisa mendatangkan gairah dan semangat baru bagi orang lain.
NOTE
[1]Lih. Armada Riyanto, Relasionalitas. Filsafat Pondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hal. 152-153.
[2]Bdk. Stephen B. Bevans, Models Of Contextual Theology. Revised and Expanded Edition, (New York: Orbis Book, 1992), hal. 54-56.
[3] Ibid., hal. 2.
[4] Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal.66-67.
[5] Lih. Gerard O'Collins, Rethinking Fundamental Theology, (Oxford: University Press, 2011), hal. 42.