Mohon tunggu...
Suaviter
Suaviter Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang dalam proses latihan menulis

Akun yang memuat refleksi, ide, dan opini sederhana. Terbiasa dengan ungkapan "sic fiat!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada 6 Nilai yang Didapat dari Kegiatan "Marhobas"

28 Maret 2022   13:49 Diperbarui: 2 April 2022   21:28 4152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang yang mengadakan gotong-royong dalam memasak di suatu acara. Gambar diambil dari aminjaya.desa.id

Marhobas merupakan salah satu kegiatan gotong-royong dalam adat Batak. Ada beberapa nilai penting dan menarik yang dapat dipelajari dari marhobas terutama dalam hidup sosial.

Menarik mengenal dan mempelajari ciri khas dari setiap budaya lokal di Indonesia. Wawasan diperkaya, toleransi diperkuat, dan empati diasah. Begitulah setidaknya yang saya rasakan dan alami.

Namun, tidak mungkin semua budaya dan esensi bisa diingat, mengingat sungguh banyak budaya di Indonesia. Selain itu, setiap budaya masih memiliki kekhasan tersendiri di daerah yang berbeda.

Hanya, saya yakin bahwa apa pun budayanya, "gotong-royong" akan tetap tertanam. Sebab, gotong-royong telah menjadi nilai hakiki yang dibawa setiap orang sejak lahir dan akan mewujud nyata dalam dunia dan kelompok sosial.

Istilah khas Batak Toba

Sebutan untuk gotong-royong juga pasti akan berbeda, seturut bahasa daerah. Di dalam kelompok masyarakat Toba, gotong-royong diterjemahkan dengan marhobas.

Kata marhobas sering dimengerti sebagai: 

kegiatan gotong-royong sebagai kerja sama di antara anggota-anggota suatu komunitas Batak Toba. Di dalam kegiatan itu ada aksi saling membantu dalam suatu kegiatan paradaton (acara adat).

Sesuai dengan muatan kata tersebut, khususnya paradaton, marhobas mencakup kegiatan-kegiatan/pesta-pesta yang lazim diselenggarakan oleh masyarakat Toba. Misalnya marhobas dalam acara perkawinan, syukuran, kematian, dan sebagainya.

Ada beberapa macam marhobas. Hanya, yang pernah dan sering saya ikuti adalah marhobas saat memasak. Dan, bagi saya sendiri turut serta dalam marhobas saat memasak adalah pengalaman yang begitu menarik dan berkesan.

Nilai di dalamnya 

Selain perasaan di atas, saya juga ingin membagikan enam nilai yang dapat saya petik dari marhobas saat memasak.

Memahami nilai dalihan na tolu

Dalihan na tolu merupakan satu falsafah klasik dan sakral di kalangan Batak Toba. Dalihan na tolu juga merupakan lambang sistem sosial masyarakat Toba yang sering sekali dipahami lewat tiga tiang penopang tungku, yakni somba marhula-hula (menaruh rasa hormat kepada hula-hula), manat mardongan tubu (berhati-hati dengan teman satu marga), dan elek marboru (merendah terhadap boru).

Dalam kegiatan marhobas, saya melihat bagaimana peran ini berlangsung. Ada orang yang berada di pihak hula-hula, dongan tubu, dan parboru. Hal ini ditentukan oleh marga dan relasinya ke marga lain, terutama yang mengadakan atau mengundang orang datang ke pestanya: apakah dia hula-hula, dongan tubu, dan boru.

Akhirnya, wawasan saya tentang jalinan marga saya dalam dalihan na tolu bertambah. Sehingga, terhadap marga tertentu, saya tahu mau panggil apa dan bertindak bagaimana, termasuk ke pihak keluarga yang berpesta.

Mengerti perjalanan adat

Nah, poin ini sungguh saya amini. Sebab, selain untuk memasak saya juga ingin mengerti bagaimana suatu sistem adat itu berlangsung. 

Misalnya, saya mengerti bahwa acara pernikahan/syukuran/kematian orang Batak Toba dalam adat seperti ini. 

"Oh, ternyata jenis masakan untuk adat pernikahan begini. Oh, ternyata pembagian jambar (jatah bagian daging binatang yang diterima seseorang). Oh, ternyata jenis ikan yang dimasak harus seperti ini dan posisinya begini. Oh, setelah acara ini, harus dilanjutkan oleh acara itu. Oh, ternyata kalau adat menikah/syukuran/meninggal ini umpama dan umpasa (peribahasa dan pantun) yang digunakan."

Sebab, lain acara adatnya, bisa saja lain proses berlangsungnya. Atau, lain acara adatnya, lain pula jenis masakan, jenis jambar, dan jenis peribahasa/sajak pantun yang dipakai.

Maka, tembak satu, dua atau tiga hal diperoleh.

Menambah kenalan

Yah, memang inilah poin yang cukup menarik. Di dalam marhobas, saya harus berkomunikasi dengan banyak orang termasuk bertanya; bukan hanya orang di sekitar kampung atau desa. Melainkan, banyak orang datang di acara adat yang dimaksudkan.

Ada orang dari kampung lain, ada dari kota; ada orang yang cukup berada, berada, dan sederhana; ada orang yang bijak dan paham adat, ada yang biasa-biasa saja; dan sebagainya.

Maka, dalam marhobas sudah hampir pasti saya berkomunikasi dengan mereka. Biasanya, saya akan memulai komunikasi dengan basa-basi, kemudian berlanjut ke pembahasan yang lebih luas.

Sehingga, kenalan pun bertambah. Bertambah pulalah wawasan dan informasi tentang "dunia luar" dari saya, keluarga, dan wilayah tempat tinggal.

Belajar memasak

Hal ini tak mungkin lagi dapat disangkal. Sebab, marhobas yang saya ikuti adalah memasak. 

Saya mengenal bumbu khas yang digunakan orang Batak Toba. Saya belajar jenis lauk dan sayur yang dimasak. 

Saya juga belajar mengombinasikan semua bumbu, mencicipi cita rasa masakan khas Batak. Sehingga, suatu waktu saya bisa membuatnya di luar acara adat.

Belajar berbagi

Tidak selamanya bahan dan alat memasak lengkap. Selalu saja ada yang kurang.

Satu pemandangan indah yang saya rekam adalah ketika ada bahan dan alat yang kurang, kelompok yang marhobas yang rumahnya dekat dengan tempat marhobas akan pulang dan mengambil bahan dan alat.

Biasanya, bahan masakan tidak terlalu diminta untuk diganti atau ditinggal di tempat marhobas. Akan tetapi, alat masak akan dibawa pulang untuk digunakan sehari-hari.

Juga, orang tua yang ikut dalam kegiatan marhobas akan saling berbagi. Semisal, kelompok ibu saling berbagi bahan mardemban (mengunyah sirih), berbagi cerita, dan keluh kesah di rumah tangga. 

Kelompok bapak akan saling berbagi rokok, kopi, atau teh manis, cerita tentang ladang, tempat memancing, dan politik kelas lapo (kedai). 

Sementara itu, kelompok kaum muda akan berbagi makanan ringan, cerita tentang asmara, dan cita-cita di masa mendatang.

Selain itu, orang tua ketika mendapat jambar atas nama parhobas (yang ikut marhobas), akan terlebih dahulu menyisihkan bagian anak di rumah. Sungguh menarik dan sarat makna.

Mempererat kesatuan

Saya pikir ini menjadi roh penggerak kegiatan marhobas. Pesta hanya sarana saja. Nilai yang mau disasar adalah kesatuan di antara mereka yang terlibat dalam pesta itu: tuan pesta, kelompok hula-hula, dongan tubu, maupun boru, dan dongan sahuta (teman satu kampung).

Mau berbagi bisa tercipta karena ada rasa kesatuan. Semua saling belajar, apalagi jika yang dipelajari menyangkut perkara sosial dan adat bersama. Orang yang sudah dianggap paham akan ditempatkan pada pos tertentu dan biasanya mengajak orang lain untuk membantunya. Terjadilah transfer-terima ilmu adat.

Akan tiba waktunya, para parhobas menjadi tuan pesta dan orang lain membantu marhobas di pestanya termasuk tuan pesta yang sedang dibantu kelancaran pestanya.

Akan tiba waktunya, setiap orang harus saling memberi diri, tenaga, materi, dan pikiran dalam marhobas di pesta temannya. 

Roh yang menyatukan adalah dos ni roha atau sada ni roha (kesatuan batin). Roh inilah yang membuat setiap parhobas rela bekerja mulai malam sebelum pesta hingga saat pesta berlangsung, agar pesta berjalan baik, tuan pesta tidak malu, dan kelak di pestanya orang berbuat hal yang sama: memberi yang terbaik.

Harapan

Sungguh menarik dan berkesan bagi saya ikut dalam marhobas. Nilai-nilai di atas sungguh saya nikmati. Saya belajar banyak hal dalam kegiatan itu.

Sayangnya, marhobas sudah tidak terlalu laris lagi, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah semi kota dan kota madya. Marhobas dinilai tidak efisien dengan kesibukan dan taraf hidup di situ.

Mereka lebih pilih menyumbangkan uang untuk menyewa penyedia makanan untuk mengelola makanan. Jauh lebih efisien, tidak menguras tenaga, pikiran, dan menyia-nyiakan waktu.

Untunglah, di beberapa desa/kampung, marhobas masih sungguh lestari dijaga. Kelompok masyarakat masih pilih meninggalkan pekerjaannya sejenak demi melayani teman sekampung yang mengadakan pesta.

Marhobas menjadi hal yang ditunggu dan semua akan berusaha ikut serta, entah pada hal yang sederhana.

Dengan ini, saya berharap agar marhobas masih terjaga ke depan, hal praktis/teoritis hendaknya diwariskan kepada generasi berikutnya, dan roh pemersatu dijaga. Terutama, di kalangan kaum muda, semoga nilai-nilai dari ikut serta marhobas bisa dicicipi dan diwartakan kepada banyak orang.

Juga, saya berharap agar gotong-royong tradisional di budaya-budaya yang ada di Indonesia tetap terpelihara. Saya yakin beberapa dari enam nilai yang saya paparkan dalam tulisan ini ada juga dalam kegiatan gotong-royong di budaya lokal.

Tantangan yang dialami sama, yakni bagaimana gotong-royong menghadapi zaman yang menuntut semua serba praktis, instan, dan tak perlu repot; bagaimana generasi manusia memelihara kegiatan tersebut; dan bagaimana gotong-royong tetap lestari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun