Saya selalu kecil hati atau kikuk ketika melihat para penulis di halaman (6-7) opini Kompas dengan gelar dan jabatan yang ngeri.Â
"Sanggup ngak ya?!" cetus saya dengan pesimis.
"Kalau tidak dicoba, pasti tidak akan tahu hasilnya gimana!" Pekik saya dalam hati.Â
Maka, saya mencoba mempelajari gaya menulis di Harian Kompas. Saya mencoba menulis dan membangun opini dengan sajian fakta yang aktual hangat dan terpercaya.
Satu demi satu tulisan saya kirimkan. Berulang kali desk opini menolak dengan pelbagai alasan. Saya tak putus asa. Saya kembali belajar dan membaca. Saya mendalami satu demi satu buku yang ada di perpustakaan, rumah, dan kantor.
Saya tak mau gagal terus. Saya harus cerdas dan kreatif menggagas ide. Tak peduli berapa kali ditolak. Hingga, akhirnya beberapa tulisan saya masuk dalam kolom opini. Saya sungguh senang dan bersyukur atasnya.
Setidaknya ada beberapa hal yang saya dapat dari kegiatan menulis opini di harian bergengsi tersebut.
Pertama, kemampuan menulis saya berkembang. Saya menjadi lebih terlatih mengolah kalimat, memperhatikan data dan fakta akurat, dan terlatih membaca tulisan orang lain.Â
Saya banyak belajar dari para penulis ahli dan senior. Walau kadang ada tulisan yang tidak saya mengerti dengan sempurna.
Kedua, (asas manusiawi) nama saya tercantum setidaknya di kertas surat kabar yang dapat terurai pada waktunya.Â
Pembaca tentu banyak bukan hanya orang Indonesia, barangkali ada juga orang luar negeri yang berlangganan.