"Saya lebih senang jika mendengar seseorang marpasir-pasir dalam berbahasa Indonesia dan bahasa sukunya"
Pemakaian kalimat yang bercampur, artinya terdiri dari beberapa bahasa yang berbeda dalam satu kalimat sudah lama terjadi. Bukan hanya terjadi di Jaksel atau sekitarnya saat ini. Mengapa? Karena, peristiwa demikian sudah saya alami sewaktu SMP dulu 2005 ke atas.
Sewaktu SMP, saya mengecap pendidikan di salah satu sekolah swasta di daerah Humbang Hasundutan. Saya memilih sekolah di sana, daripada di Pekanbaru (kota kelahiran) karena ingin mengenal sistem pendidikan di daerah Toba.
Selain itu, saya juga ingin memperdalam budaya nenek moyang yang kelak akan sangat penting dalam relasi dengan orang-orang Toba di tanah rantau, apalagi dalam bahasa suku saya.
Tidak mudah, karena saya butuh penyesuaian diri yang agak lama, karena harus berlatih habis-habisan bahasa Toba. Saya belajar mulai dari dasar: jenis kata (kerja/keterangan/benda/sifat), aksara tradisional, dan sapaan yang lazim digunakan sehari-hari.
Saya butuh catatan kecil di saku dan saya bawa kemana-mana. Sebagai jaga-jaga, mana tahu ada ucapan baru dalam bahasa Toba, saya bisa langsung mencatat.
Mau tak mau, harus "marpasir-pasir"
Sering sekali teman-teman di sekolah atau lingkungan sekitar menertawakan saya, karena sering menggunakan kalimat yang "marpasir-pasir".
Marpasir-pasir adalah ungkapan khas dari orang Batak Toba. Ungkapan ini diarahkan kepada orang yang mencoba berbahasa Batak Toba, tapi orang tersebut tidak sempurna dalam penggunaan kata maupun intonasi atau logat autentik orang Batak Toba.
Misalnya: "Horas Inang. Jam piga mobil yang mau ke Doloksanggul ro tahe?" [seharusnya: Horas Inang. Pungkul piga tahe ro motor na naeng tu Doloksanggul? artinya: Salam Ibu. Jam berapa mobil jurusan Doloksanggul tiba, yah?]
"Arga kali ini Inang!" [seharusnya: Arga nai on Inang! artinya: Mahal sekali ini, Ibu!]
Yah, memang demikianlah adanya. Malu sih malu. Tapi, mau gimana lagi dibuat. Untuk belajar satu bahasa, kita harus mencampur beberapa bahasa. Karena bisa jadi, saat hendak berbicara kita lupa kalimat/intonasi/logat yang seharusnya diucapkan.
Atau, ketika masih amatir, kita lebih dahulu menerjemahkan kalimat yang hendak diucapkan di pikiran. Lalu, kalau sudah yakin, kita sampaikan kepada orang lain.
Untung-untung perfect. Bagaimana kalau tidak, toh kita akan diejek: "Marpasir-pasir ho mangkatai (baca: makkatai), Ale-ale!" Artinya: Kalau kau berbicara teman, bahasa yang kamu gunakan bercampur-campur.
Memang, harus diakui: kita butuh latihan dalam berbahasa.
Bahkan, sekarang ini, saya sudah ke-Toba-toba-an. Artinya, dalam penggunaan bahasa Indonesia, saya menjadi pembicara yang marpasir-pasir.
Kerap logat/intonasi dari kata yang saya ucapkan keras atau kasar, mengacu pada intonasi orang Toba. Kalimat Indonesia yang saya ucapkan juga kerap berisi kata-kata Toba. Maka, sekarang, giliran orang non-Toba yang menertawakan/mengejek-ejek saya dengan kalimat bilingual tersebut.
Atau, sering juga saya memakai terjemahan langsung dari bahasa batak Toba ke Indonesia, walau kurang tepat.
Misalnya: Kitalah duluan, mendapati [Toba: mandapoti] mereka. Seharusnya: kitalah duluan, biar mereka menyusul.
Jangan berlaku demikian, nanti kita kena kata [Toba: hona hata]. Seharusnya: Jangan berlaku demikian, nanti kita dicap sebagai sebagai orang yang tidak sopan atau tidak displin atau tidak taat.
Tidak cinta bahasa Indonesia?
Dengan keadaan demikian, apakah saya tidak cinta bahasa Indonesia? Saya akan jawab: saya tetap mencintai bahasa Indonesia.
Bukan berarti dengan berbicara dalam bahasa yang bilingual, saya mengesampingkan bahasa persatuan bangsa. Harus diakui, bahwa saya tetap memiliki bahasa daerah asal.
Bahasa ini sama pentingnya dengan bahasa Indonesia, terlebih dalam usaha melestarikan bahasa tersebut. Terutama bahasa daerah dapat terancam punah, kalau tidak dipelihara, dipromosikan, dilatih, dan diucapkan berulang kali.
Hanya saja, sampai saat ini saya belum memakai bahasa bilingual, antara Indonesia dengan Inggris. Saya akan lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia yang agak lebih popular atau gaul daripada bahasa Inggris.
Itulah bukti cinta saya pada bahasa Indonesia. He he he.
Oh ya, saya mencoba memupuk rasa cinta pada bahasa Indonesia lewat tulisan-tulisan. Di berbagai kesempatan menyampaikan seminar atau dalam tugas mengajar saya selalu menugaskan para (maha)siswa untuk membuat paper dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan selalu mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia berupa buku (luring) atau link resmi (daring).
Persepsi atas fenomenaÂ
Saya melihat bahwa ke depan (persepsi pribadi) bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah akan semakin kalah zaman jika tidak dilestarikan lewat hal-hal yang mendukung.
Misalnya, lewat bahasa pengantar di sekolah dan rumah, tugas sekolah sehari-hari (bukan hanya guru Bahasa Indonesia), ajang kreativitas menulis regional, lokal, maupun nasional, atau membuat kelompok-kelompok Para Pelestari Bahasa Indonesia, atau yang lainnya.
Kaum muda sekarang sudah lebih nyaman kalau menggunakan bahasa-bahasa asing. Dengan alasan, lebih gaul, ikut arus zaman, kelihatan lebih intelektual, atau kelihatan "western-western-nya".
Bahasa yang demikian bisa menjadi satu lifestyle dan ini akan dipandang lazim. Untung-untung penggunaan bahasa tersebut kontekstual. Misalnya pada ajang kompetisi atau berlatih bahasa asing dengan native speaker dengan sedikit meraba-raba terjemahan yang cocok. Maka, tidak masalah jika marpasir-pasir.
Bisa jadi identitas kesukuan
Saya lebih senang kalau seseorang itu memakai bahasa bilingual antara Indonesia dengan bahasa daerah. Alasannya ada beberapa.
Pertama, fenomena tersebut bisa menunjukkan identitas sukunya; apakah dia seorang Toba, Jawa, Manado, atau Ambon, Papua, dan sebagainya. Jadi, saya bisa secara dewasa mengatur sikap dan gaya berbicara agar pembicaraan lebih asyik dan nyambung.
Kedua, fenomena tersebut bisa menjadi cara memelihara harta adatnya. Jika tidak orang yang bersangkutan melestarikan adatnya, siapa lagi?
Ketiga, fenomena tersebut menjadi cerminan bahwa ia mencintai bangsa Indonesia lewat mencintai jati dirinya sebagai seorang Toba, Karo, Simalungun, Jawa, Nias, Sunda, Papua, dan sebagainya.
***
Namun, di atas itu, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan KBBI atau Ejaan yang Disempurnakan jauh lebih penting. Inilah indentitas kebangsaan kita di tengah pergerakan arus zaman yang semakin bebas dan deras alirannya.
Sikap seperti ini juga menunjukkan bahwa kita bangga atas usaha pahlawan bangsa, khususnya pemuda bangsa pada 1928 yang silam.
Maafkanlah saya yang ternyata memakai bahasa yang marpasir-pasir dalam tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H