Atau, ketika masih amatir, kita lebih dahulu menerjemahkan kalimat yang hendak diucapkan di pikiran. Lalu, kalau sudah yakin, kita sampaikan kepada orang lain.
Untung-untung perfect. Bagaimana kalau tidak, toh kita akan diejek: "Marpasir-pasir ho mangkatai (baca: makkatai), Ale-ale!" Artinya: Kalau kau berbicara teman, bahasa yang kamu gunakan bercampur-campur.
Memang, harus diakui: kita butuh latihan dalam berbahasa.
Bahkan, sekarang ini, saya sudah ke-Toba-toba-an. Artinya, dalam penggunaan bahasa Indonesia, saya menjadi pembicara yang marpasir-pasir.
Kerap logat/intonasi dari kata yang saya ucapkan keras atau kasar, mengacu pada intonasi orang Toba. Kalimat Indonesia yang saya ucapkan juga kerap berisi kata-kata Toba. Maka, sekarang, giliran orang non-Toba yang menertawakan/mengejek-ejek saya dengan kalimat bilingual tersebut.
Atau, sering juga saya memakai terjemahan langsung dari bahasa batak Toba ke Indonesia, walau kurang tepat.
Misalnya: Kitalah duluan, mendapati [Toba: mandapoti] mereka. Seharusnya: kitalah duluan, biar mereka menyusul.
Jangan berlaku demikian, nanti kita kena kata [Toba: hona hata]. Seharusnya: Jangan berlaku demikian, nanti kita dicap sebagai sebagai orang yang tidak sopan atau tidak displin atau tidak taat.
Tidak cinta bahasa Indonesia?
Dengan keadaan demikian, apakah saya tidak cinta bahasa Indonesia? Saya akan jawab: saya tetap mencintai bahasa Indonesia.
Bukan berarti dengan berbicara dalam bahasa yang bilingual, saya mengesampingkan bahasa persatuan bangsa. Harus diakui, bahwa saya tetap memiliki bahasa daerah asal.