Bahasa ini sama pentingnya dengan bahasa Indonesia, terlebih dalam usaha melestarikan bahasa tersebut. Terutama bahasa daerah dapat terancam punah, kalau tidak dipelihara, dipromosikan, dilatih, dan diucapkan berulang kali.
Hanya saja, sampai saat ini saya belum memakai bahasa bilingual, antara Indonesia dengan Inggris. Saya akan lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia yang agak lebih popular atau gaul daripada bahasa Inggris.
Itulah bukti cinta saya pada bahasa Indonesia. He he he.
Oh ya, saya mencoba memupuk rasa cinta pada bahasa Indonesia lewat tulisan-tulisan. Di berbagai kesempatan menyampaikan seminar atau dalam tugas mengajar saya selalu menugaskan para (maha)siswa untuk membuat paper dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan selalu mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia berupa buku (luring) atau link resmi (daring).
Persepsi atas fenomenaÂ
Saya melihat bahwa ke depan (persepsi pribadi) bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah akan semakin kalah zaman jika tidak dilestarikan lewat hal-hal yang mendukung.
Misalnya, lewat bahasa pengantar di sekolah dan rumah, tugas sekolah sehari-hari (bukan hanya guru Bahasa Indonesia), ajang kreativitas menulis regional, lokal, maupun nasional, atau membuat kelompok-kelompok Para Pelestari Bahasa Indonesia, atau yang lainnya.
Kaum muda sekarang sudah lebih nyaman kalau menggunakan bahasa-bahasa asing. Dengan alasan, lebih gaul, ikut arus zaman, kelihatan lebih intelektual, atau kelihatan "western-western-nya".
Bahasa yang demikian bisa menjadi satu lifestyle dan ini akan dipandang lazim. Untung-untung penggunaan bahasa tersebut kontekstual. Misalnya pada ajang kompetisi atau berlatih bahasa asing dengan native speaker dengan sedikit meraba-raba terjemahan yang cocok. Maka, tidak masalah jika marpasir-pasir.
Bisa jadi identitas kesukuan
Saya lebih senang kalau seseorang itu memakai bahasa bilingual antara Indonesia dengan bahasa daerah. Alasannya ada beberapa.
Pertama, fenomena tersebut bisa menunjukkan identitas sukunya; apakah dia seorang Toba, Jawa, Manado, atau Ambon, Papua, dan sebagainya. Jadi, saya bisa secara dewasa mengatur sikap dan gaya berbicara agar pembicaraan lebih asyik dan nyambung.
Kedua, fenomena tersebut bisa menjadi cara memelihara harta adatnya. Jika tidak orang yang bersangkutan melestarikan adatnya, siapa lagi?