Mohon tunggu...
Fredy Purnomo
Fredy Purnomo Mohon Tunggu... Dosen - Instagram @fpurnomo

Dosen dan peneliti bidang ICT : Smart City dan Storytelling in Game

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Memoar Perjalanan Akhir Tahun: Gowes 4 Hari Bentang Banten dan Bogor

1 Januari 2023   13:46 Diperbarui: 1 Januari 2023   13:50 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rute : Tjiteureup-Cibaliung-Muarabinangeun-Malingping-Bayah

Pagi jam 5.30 terbangun. pagi yang dingin, dan terdengar sayup suara hujan. Diskusi sebentar dengan resepsionis hotel mengenai cuaca, biasanya hujan pagi gak lama katanya. Dalam hati sempat kuatir jika hujan cukup lama mungkin akan ubah jalur putar balik via Pandeglang terus via pantura dan balik Tangerang. Setelah bebersih dan siap-siap, hujan sudah mulai menjadi gerimis kecil saja. Jam 7.30 pagi diputuskan untuk berangkat dengan tetap di rencana awal diantara gerimis kecil dan jalanan becek.

Menyusuri jalan pantai Labuhan. Gerimis makin lama makin menghilang, digantikan sinar matahari yang cukup hangat. Lihat kiri kanan cukup banyak ranting-ranting pohon yang tumbang dan toko-toko yang kebanyakan masih belum buka. Mungkin impact dari angin kencang atau impact wisata selepas pandemi yang belum pulih kembali. Sempat beberapa kali berhenti untuk memperhatikan gelombang laut dan aktifitas nelayan. Mereka membuat struktur seperti rakit cukup besar yang mengambang, dengan pelampung di kiri kanan yang memungkinkan rakit tersebut terangkat sekitar 1 meter diatas permukaan laut. Ditengah-tengah rakit tersebut dibangun pondokan kecil, mungkin 2x2 meter. Cukup takjub bagaimana mereka bisa membuat rakit tersebut tetap seimbang diterpa gelombang laut.

Perjalanan berlanjut ke arah Pasar Citeureup. Jalanan cukup lengang dan hangat, kecepatan sepeda bisa saya pacu sekitar 28 sd 30 km/jam. Tidak terlalu ngoyo karena bakalan melewati banyak tanjakan. Sampai di Citeureup jam 09.00, ada percabangan jalan, jika lurus 9 km lagi ke arah Tanjung Lesung. Ambil arah kiri. Titik perhentian berikutnya yaitu di Cibaliung 33 km, Muarabinangeun 62 km dan Bayah 110 km (rencana tempat menginap selanjutnya).

Perjalanan ke arah Cibaliung dimulai dengan masuk area perkampungan. Kali ini nuansanya bukan di tepi pantai lagi, tapi mengarah ke pedalaman di kaki gunung. Awalnya jalanan datar dengan aspal yang bagus. Dengan santai sepeda bisa saya pacu sd 30 km / jam sambil menikmati pemandangan sawah yang luas di kiri kanan jalan. Namun makin jauh jalanan makin menanjak. Bukan hanya satu tanjakan, namun bisa sampai triple tanjakan berupa tanjakan panjang 500 meter, kemudia belok kiri nanjak 200 meter kemudian belok kanan nanjak lagi 300 meter, datar 100 meter dan menanjak lagi. Dan tanjakan seperti ini berulang terus. Belum pengalaman di tanjakan/turunan dan belum pernah mengikuti event sejenis KOM (King of Mountain), tapi tutorial di youtube yang saya lihat cukup membantu atur strategi.

Kecepatan sepeda yang di awal bisa 30 km /jam sekarang tinggal 15, kemudian 10 sampai akhirnya tinggal 3 km/jam alias tuntun sepeda karena sudah tidak kuat menanjak. Bahkan di beberapa etape pun jalan kaki sudah tidak sanggup, jadi berhenti sebentar untuk mengambil nafas dan minum air seteguk untuk kemudian lanjut tuntun sepeda 30 hitungan langkah ke depan. Cukup membantu dengan cara tuntun 30 langkah dan istirahat ambil nafas 30 detik, saya lakukan berulang-ulang sampai berada di puncak. Setelah sampai puncak pun timbang-timbang lagi, apakah akan naik sepeda atau masih tuntun.

Pengalaman bersepeda di turunan pun tidak kalah seru dan menegangkan. Bukan tipikal orang dengan andrenaline junky, bahkan naik komedi putar pun sering takut. Beberapa kali mesti rem pakai sepatu karena kecepatan sepeda tidak sebanding dengan kekuatan rem (pernah dititik turun dengan kecepatan 52 km/jam), untung di depan ada tanjakan. Setelah itu lebih berhati-hati di turunan tajam, pastikan dahulu di ujung turunan ada tanjakan penyelamat. Lesson learned bagi saya pribadi yang selama ini menganggap bahw tanjakan adalah kerugian dan turunan adalah keuntungan. Ternyata bisa berlaku sebaliknya. Ketika nanjak, doanya adalah minta turunan, ketika turunan, minta tanjakan. Kadang yang kita pikir adalah kesulitan, ternyata adalah langkah penyelamatan bagi kita, demikian pula sebaliknya. Kontradiktif memang.

Sampai di Cibaliung pukul 12 siang. Perjalanan 33 km yang seharusnya (jika tanah datar) di tempuh 1.5 jam menjadi 3 jam karena beratnya rute. Istirahat makan siang dulu di warung nasi Padang terdekat. Ketemu dan ngobrol dengan anak sma yang bawa motor trail. Dia dari daerah situ, cita-citanya ingin jadi polisi katanya. Semoga tercapai ya. Setelah melewati perkampungan yang penuh tanjakan, tantangan berikutnya adalah melintasi hutan yang penuh tanjakan juga. Jika rute sebelumnya masih ada rumah penduduk dan sering bertegur sapa dengan penduduk lokal. Namun kali ini benar-benar masuk di tengah hutan. Masih untung di siang hari yang terang. Selain jalanan yang naik turun di depan, di kiri kanan hanya ada hutan jati yang lebat. Hanya sesekali saja motor atau mobil yang lewat. Saya yang besar di daerah Blora di tengah-tengah hutan jati mungkin sedikit terbiasa dengan situasi seperti ini. Hanya was-was saja. Setengah ngos-ngosan sepeda dipacu sekitar 9 sd 15 km/jam, kebetulan tanjakan dan turunan sekarang tidak terlalu curam seperti sebelumnya. Pertengahan perjalanan, jalanan sudah masuk perkampungan dengan jalanan beton yang cenderung datar. Sempat hujan gerimis sebentar, mampir di warung milik warga beli stok air minum dan duduk di pendopo sebelah warung. Ijin dulu tentunya. Kira-kira 30 menit hujan sudah reda jalan lagi cukup ngebut biar segera sampai ke pantai.

Pukul 3 sore sampai di jembatan Muarabinangeun, daerah pesisir pantai Selatan. Sungai yang mengarah ke laut cukup besar dibanding di pesisir utara. Bahu sungai penuh dengan kapal-kapal nelayan yang bersandar. Mungkin ombak bulan Desember bukan waktu yang tepat bagi kapal kecil untuk melaut. Kapal-kapalnya relatif kecil, mungkin ukurannya sedikit lebih besar dari kapal boat, sekitar 6 sd 7 meter panjangnya. Setahu saya kapal ini untuk menangkap ikan di perairan dangkal dekat pesisir saja. Kebetulan pernah diajak naik ke kapal penangkap ikan kakap merah di Pekalongan. Ayah mertua pas masih aktif jadi kapten kapal. Kapalnya sama dari kayu, panjangnya sekitar 20 meter. Ada lemari pendingin di dalamnya plus navigasi GPS yang sudah canggih untuk penanda umpan yang di drop di tengah laut. Biasa melaut minimal 2 minggu dengan crew sekitar 10 sd 15 orang. Area operasi biasa di laut utara Jawa. Ini baru kapal penangkap kakap merah. Untuk kapal penangkap ikan tuna bisa lebih besar lagi karena area penangkapan ikan di daerah samudera laut selatan yang lebih dalam, biasa mereka melaut minimal sebulan baru balik.

Ombak laut di pantai selatan juga mempunyai garis pantai yang lebih panjang dengan ombak yang lebih besar. Potensi yang indah namun belum tergali, mungkin akses jalan ke pantai selatan yang agak sulit ya. Target berikutnya adalah mencari penginapan di Pantai Bayah. Jarak masih sekitar 50 km lagi. Di tengah-tengah ada daerah Mailingping untuk transit istirahat. Jalanan menuju Malingping cenderung datar saja. Di awal-awal melewati pesisir pantai, jadi sampai sesekali refreshing mata dengan melihat ombak sore yang bagus. Tapi kemudian jalan berbelok menjauh dari pesisir pantai. Jadi antara jalanan dan pantai terpisah oleh hutan. Masih beruntung di kiri jalan masih banyak rumah rumah penduduk. Jalanan cukup menanjak, walau dengan kemiringan sekitar 10 derajat, tapi berlangsung selama hampir sepanjang jalan. Di tengah jalan istirahat dulu di warung, sempat beli minum capcin alias capucino cincau dan makan pisang 2 biji untuk menambah energi. Sampai di Malingping waktu sudah menunjukkan pukul 16.30. Suasa sudah mulai gelap dan harus buru-buru cari penginapan.

Masih ada 30 km lagi menuju Bayah, sepanjang jalan tidak banyak rumah penduduk lagi, sudah lepas dari wilayah hutan dan sudah sejajar dengan pantai. Minimal jalan dalam kondisi gelap di pinggir pantai lebih melegakan daripada meleweti hutan. Sore makin turun, lampu depan dan belakang dinyalakan semua, untuk memastikan terlihat oleh kendaraan lain. Seharusnya jarak 30 km bisa dicapai dalam 1 jam lebih. Namun karena sudah seharian gowes dan mulai kelelahan, maka kecepatan gowes juga drop di 20 km/jam dengan waktu istirahat lebih banyak. Jam 6 sore, istirahat sebentar sambil menunggu azan di Indomart satu-satunya di tengah jalan. Setelah itu jalan lagi, dengan situasi jalan yang sudah gelap, badan kelelahan dan berasa lengket semua. Tubuh perlu segera refreshing dan istirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun