Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung: Latar Belakang hingga Dampaknya

18 April 2023   18:23 Diperbarui: 21 April 2023   09:04 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Annisa Almum/Komunitas Aleut 2022

Latar Belakang Peristiwa KAA

Konferensi Asia Afrika atau yang disingkat KAA adalah pertemuan tingkat tinggi antara negara-negara benua Asia dan Afrika pada tanggal 18-24 April 1955 di Bandung. Kenapa KAA diadakan? Diadakanya KAA tidak bisa terlepas dari peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu Perang Dunia II dan Perang Dingin. “Setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bersekutu hingga berhasil menghancurkan Jerman Nazi di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi dan militer yang besar,” (Cahyo, 2018, hal. 7)

Kondisi keamanan dunia setelah berakhirnya Perang Dunia II pun belum stabil, secara politik global kondisi dunia kemudian terpecah menjadi dua kelompok—disebabkan perebutan pengaruh antara kelompok kapitalisme yang dikomandoi Amerika Serikat dengan komunisme yang dikomandoi oleh Uni Soviet.

Dari sini, maka kemudian muncul istilah perang dingin. “Perang dingin adalah perang dalam wujud ketegangan sebagai perwujudan dari konflik kepentingan, perebutan supremasi dan perbedaan ideologi antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Perang dingin diantaranya disebabkan oleh adanya perbedaan paham dan keinginan untuk berkuasa,” (Cahyo, 2018, hal. 3). Kedua negara besar itu berbeda pendapat tentang bagaimana cara yang tepat untuk membangun Eropa pasca perang.

Pada akhirnya mereka meluaskan perebutan pengaruh tidak hanya di Eropa dan Amerika, tetapi sampai meluas hingga ke Asia dan Afrika. “Sebagai negara yang baru saja mendapatkan kemerdekaan pada 1945 dan memperoleh kedaulatan empat tahun setelahnya, yakni pada 1949, Indonesia tidak ingin terlibat ke dalam dua pusaran kekuatan tersebut,” (Sofyan, 2019, hal. 24). Indonesia tidak ingin mengekor dua negara adidaya tersebut.

Maka ada istilah 3B yang disebut oleh Dr. H. Roeslan Abdulgoni selaku ketua joint secretariat KAA dalam bukunya (The Bandung Connection, 2015, hal. 18-25). 3B itu adalah Bierville (1926), Bogor (1954) dan Bandung (1955), yaitu jembatan penghubung dari cita-cita sampai mewujudkan KAA. 

Pertama-tama Kota Bierville dekat Paris di Perancis, dalam pertemuan Congres Demokratique International VI di tahun 1926, mahasiswa-mahasiswa Indonesia ikut memainkan peran dalam membangkitkan jiwa solidaritas Asia-Afrika, muncul manifesto bersama berbunyi “Liberate the spirit of Asia and you will have peace, not a peace imposed by the sword, but a peace based on good will. The spirit of Asia is essentialy pacific.[1] Di sub-bab berikutnya, Bogor dan Bandung akan kita bahas.

Namun sebelum adanya pertemuan di Bogor, terlebih dahulu ada Konferensi Colombo di Srilanka tanggal 28 April - 2 Mei 1954 yang diprakarsai Perdana Menteri Srilanka, Sir John Kotelawa atas keprihatinan mengenai situasi peperangan di Indocina waktu itu, meningkatnya agresi komunis di bumi Asia dan perkembangan persenjataan nuklir.

PM Ali Sastroamidjojo mewakili Indonesia memenuhi undangan Konferensi Colombo, hadir di ‘Sidang Panca Perdana Menteri’ tersebut. Dalam kesempatan itu, Ali Sastroamidjojo berkesempatan mengajukan usulnya agar diadakan “A conference, similar in nature to the present Conference, but wider in scope, to include not only countries of Asia but some countries of Africa as well.[2]

Setelah mendapat tanggapan empat perdana menteri lain, PM Ali Sastroamidjojo tidak mundur sekaligus tidak melepaskan usulnya, beliau menegaskan “I would be satisfied if the Colombo Conference agreed that a Conference on the lines proposed should be sponsored by Indonesia.[3] Semua menganguk setuju, Indonesia pun diberi dukungan moral untuk mewujudkan Konferensi Asia Afrika yang dicita-citakan. 

Usaha-usaha Persiapan KAA

Setelah Konferensi Kolombo, dengan diawasi PM Ali Sastroamidjojo, dipimpin oleh Menlu Sunario dengan dibantu oleh seluruh staf dan pegawainya, Departemen Luar Negeri pada bulan Mei 1954 mulai merintis persiapan KAA. Kepala Direktorat Asia dan Timur-Tengah, Sukardjo Wirjopranoto yang bertugas mengadakan kontak dengan negara-negara di Asia-Afrika yang akan diundang. 

Sambil menunggu respon yang masuk dari negara-negara yang dikontak, PM Ali Sastroamidjojo merasa perlu mengunjungi PM Nehru di New Delhi yang pada tahun-tahun itu memiliki pengaruh dan wibawa yang besar di Asia-Afrika. Hasilnya, keluar joint statement tanggal 25 September 1954 berbunyi “The two Prime Ministers discussed also the proposal to have a Conference of representatives of Asian and African countries and were agreed that a Conference of this kind was desirable and would be helpful in promoting the cause of peace and a common approach to these problems. It should be held at an early date.[4]  

Alhasil pada 28-30 Desember 1954, Panca Perdana Menteri berkumpul lagi. Atas persetujuan Presiden Soekarno, tempatnya ditetapkan di Istana Bogor, bukan di Jakarta. Pertemuan di Bogor ini menghasilkan rumusan maksud dan tujuan diadakanya KAA, siapa yang akan mensponsorinya, apa agendanya[5] dan siapa-siapa yang akan diundang. Ada 4 rumusan pokok maksud dan tujuan diadakanya KAA :

  • Untuk memajukan goodwill dan kerjasama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika, untuk menjelajah serta memajukan kepentingan-kepentingan mereka, baik yang silih-ganti maupun yang bersama, serta untuk menetapkan dan memajukan persahabatan serta penghubungan sebagai tetangga baik.
  • Untuk mempertimbangkan soal-soal serta hubungan-hubungan di lapangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan daripada negara-negara yang diwakili.
  • Untuk mempertimbangkan soal-soal yang berupa kepentingan khusus daripada bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan tentang masalah-masalah rasialisme dan kolonialisme.
  • Untuk meninjau kedudukan Asia dan Afrika, serta rakyat-rakyatnya dalam dunia dewasa ini serta sumbangan yang dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerjasama di dunia.

Yang mensponsori atau yang ikut membiayai KAA adalah lima negara dalam Konferensi Kolombo sebelumnya, yakni; Burma, Pakistan, Sri Lanka, India dan Indonesia. Hanya Central African Federation yang menolak undangan, dari total 25 negara yang diundang : 

  • Afganistan
  • Cambodia
  • Central African Federation
  • China
  • Egypt
  • Ethiopia
  • Gold Coast
  • Iran
  • Iraq
  • Japan
  • Jordan
  • Laos
  • Lebanon
  • Liberia
  • Libya
  • Nepal
  • Philippines
  • Saudi Arabia
  • Sudan
  • Syria
  • Thailand
  • Turkey
  • Vietnam (North)
  • Vietnam (South)
  • Yaman

Begitu pertemuan di Bogor ditutup, segera Joint Secretariat yang terdiri oleh Dubes B.F.H.B Tyabji dari India, Dubes Choudri Khaliquzzaman dari Pakistan, Councelor M. Saravanamuttu dari Sri Lanka, Kuasa Usaha Mya Sein dari Burma serta Dr. Roeslan Abdoelghoni dari Indonesia sebagai ketuanya, dibentuk menjadi penanggungjawab pelaksana KAA. Joint Secretariat kemudian membentuk dua panitia, satu tingkat nasional dengan komposisi interdepartemental di Jakarta dan satu tingkat lokal diketuai Gubernur Jawa barat waktu itu, Samsi Hardjadinata di Bandung. 

Panitia lokal ini ditugaskan mengurusi administrasi dan masalah teknis lainya. Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun disiapkan sebagai tempat konferensi. Hotel Homman, Hotel Astoria, Hotel Preanger dan 11 hotel lainya—serta 31 bungalow di sekitar Lembang, Ciumbuleuit dan jalan Cipaganti dipersiapkan untuk penginapan.

Masjid Agung Bandung, lapangan terbang, stasiun kereta api, jalan besar Jakarta ke Bandung sampai jalan-jalan tertentu di Kota Bandung tidak luput dari perbaikan. Jaringan hubungan telepon dan telegram kualitas—kuantitasnya juga ditingkatkan, para penerjemah dan alih bahasa didatangkan dari luar negeri, penjagaan untuk keamanan diberi perhatian khusus. 

Perkiraan ada lebih kurang 1.500 tamu peserta, serta lebih kurang 500 wartawan dalam dan luar negeri. Joint Secretariat pun menyediakan 143 mobil sedan, 30 taxi dan 20 bus untuk mereka. 230 tenaga supir disiapkan, persediaan bensin ditentukan 175 ton untuk minimal 5 hari dengan perhitungan pengeluaran 30 ton per-hari (Abdulgoni, 2015, hal. 57-58).

Peristiwa Menjelang KAA

Pada 7 April 1955 Presiden Soekarno mengecek sendiri ke Bandung bagaimana persiapan yang sudah dilakukan, selama hampir 5 jam beliau memeriksa semuanya dan tampak merasa puas. Hanya ketika masuk Gedung Concordia agak merengut sebentar, beliau memiliki pandangan lain dan mengusulkan bagaimana dekor Gedung Corcodia yang harus mengilhami. Sayangnya usul itu tidak bisa diwujudkan karena keterbatasan waktu dan biaya.

Di samping itu, demi memperkuat identitas, ingatan kolektif dan semangat momentum KAA, Presiden Soekarno berhasil mengubah nama Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwiwarna, Gedung Sociente Concordia menjadi Gedung Merdeka dan Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Berikutnya, “berdasarkan kabar dari kedubes-kedubes kita di luar negeri, mulai tanggal 11 April staf dari berbagai delegasi datang di Indonesia, mendahului para ketuanya,” (Abdulgoni, 2015, hal. 58).

Sekitar pukul 17:00 WIB hari Senin tanggal 11 April 1955, Dr. H. Roeslan Abdulgoni mendapat telpon dari pihak keamanan lapangan udara Kemayoran, mengenai kabar bahwa pesawat konstelasi Kashmir Princess dari India dengan delegasi China sekitar pukul 11.30 siang berangkat dari Hongkong dan jatuh di kepulauan Natuna perairan Indonesia. Belum bisa dipastikan sebabnya. Kejadian ini membuat beliau cukup tegang. “Sabotase? Mungkin sekali! Dengan maksud untuk membunuh PM Chou En Lai? Mungkin juga! 

Sebab belum sebulan yang lalu, yaitu pada tanggal 13 Maret 1955 kita menerima berita dari New Delhi; bahwa PM India Nehru terhindar dari usaha percobaan pembunuhan, untung gagal!,” (Abdulgoni, 2015, hal. 63). Esok harinya baru mendapat berita yang jelas, bahwa delegasi China maupun Dubes Indonesia dari China tidak ada di pesawat yang malang tersebut. Tanggal 16 April 1955 mereka berhasil mendarat di Indonesia. Namun sudah semenjak adanya insiden itu, keamanan sekitar kedatangan delegasi sudah diperketat lagi.

Peristiwa menarik lain menjelang KAA, yakni sebelum Presiden Nasser sebagai wakil dari delegasi Mesir datang. Kedubes Mesir memberi kabar ke Dr. H. Roeslan Abdulgoni, bahwa dalam rombongan Mesir sejumlah 30 pengawal pribadi Presiden Nasser akan ikut untuk menjaga keamanan, mengantisipasi adanya kontak Ichwanul Muslim sebagai oposisi di Mesir dengan Daarul Islam di Jawa Barat. Semua pengawal itu harus selalu disamping Presiden Nasser. Namun Pak Roeslan menolak dan hanya memperkenankan 3 pengawal saja yang ikut, dengan alasan tidak cukupnya akomodasi. 

Mereka kemudian mengusulkan supaya 27 yang lain diperkenankan berkemah di pinggir jalan Lembang, di muka bungalownya Presiden Nasser. Ada pertimbangan, bagaimana nanti rakyatnya—warga Bandung hilir-mudik membawa sayur-sayuran, buah-buahan dan barang dagangan melihat begitu banyak prajurit Mesir berkemah di pinggir jalan? Aneh tapi mengkhawatirkan. Sebab itu juga, Pak Roeslan tetap tidak memperkenankan dan mencoba meyakinkan Dubes Mesir terkait keamanan.

Isi Dasasila Bandung

Setelah meninjau dan merundingkan kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika, bagaimana cara rakyat negara-negara ini dapat bekerjasama dengan lebih erat di lapangan ekonomi, kebudayaan dan politik, maka KAA sukses terselenggara sampai selesai dan menghasilkan ‘di antaranya’ adalah Dasasila Bandung yang terkenal. Dasa dalam bahasa Sansekerta artinya sepuluh, yaitu sepuluh prinsip dasar dalam memajukan perdamaian dan kerjasama dunia. Isi Dasasila itu adalah :

  • Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang terdapat dalam piagam PBB.
  • Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
  • Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsabangsa besar maupun kecil.
  • Tidak melakukan intervensi atau campur-tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
  • Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.
  • a. Tidak mempergunakan peraturan dan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar. b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
  • Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik semua negara.
  • Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim ataupun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan piagam PBB.
  • Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
  • Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Dampak Peristiwa KAA

Sewaktu sidang PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 19 November 1969 mengenai Pepera yakni persoalan Irian Barat, Indonesia mendapat dukungan dalam hasil mutlak bahwa rakyat Irian Barat tetap menyatakan bergabung dalam Republik Indonesia sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. 

Wakil Ghana, Dubes Akwei, dengan disokong 30 negara lain waktu itu agak keberatan dan mengusulkan supaya perdebatan di tunda serta rakyat Irian Barat diberi waktu sampai akhir tahun 1975 untuk menyatakan pendapatnya; apakah memang mereka benar-benar mau bergabung dengan RI, atau merdeka sendiri sesuai tuntutan Gerakan Papua Merdeka, atau bersama Irian Timur mendirikan negara merdeka ‘Melanesia’. 

Wakil Ghana menuduh sidang Pepera dijalankan secara paksaan oleh bayonet TNI dan memiliki anggapan Indonesia menjalankan semacam ‘kolonialisme’ baru, disamakan dengan Afrika Selatan dan Portugal yang Rasialis—Kolonialis.

Dalam perdebatan itu, Ketua Delegasi Aljazair bernama Yazid menanggapi sebagai berikut “Siapa yang menyamakan politik Indonesia terhadap Irian Barat dengan politik kaum rasialis di Afrika Selatan atau Portugal, mereka itu lupa akan Konperensi Bandung. Di Bandung pejuang pejuang kemerdekaan seluruh Asia-Afrika dibela oleh Indonesia. Mereka diberi perlindungan. Ghana sendiri pada waktu itu belum merdeka penuh. Nama Ghana belum ada. Yang digunakan masih nama kolonial, yaitu ‘Pantai Mas’, ‘The Gold Coast’. 

Namun tokoh mereka diundang di Bandung. Dan di Bandung sanalah Indonesia memainkan peranan yang menentukan dalam membela gerakan-gerakan kemerdekaan nasional di mana-mana, termasuk Ghana,” (Abdulgoni, 2015, hal. 16). Alhasil sidang pun berakhir dengan 84 suara pro, 0 suara kontra dan 30 suara abstain. Artinya, KAA memiliki dampak yang besar di sini dalam keberhasilan menyelesaikan soal Pepera.

Di lain hal, perjanjian dwi-kewarganegaraan RI dengan China, sampai kemerdekaan Aljazair dan Maroko serta beberapa negara Afrika lainya pun tidak luput dari dampak peristiwa KAA. Direktur Jenderal UNESCO, Amadou Mahtar M’Bow sewaktu bertemu Dr. H. Roeslan Abdulgoni tahun 1977, ternyata meminta segala keterangan mengenai jalanya KAA dulu. Amadou berasal dari Senegal, yang pada tahun 1955 belum menjadi negara merdeka. Katanya, kemerdekaan di Senegal diilhami juga oleh semangat KAA di Bandung. 

Karenanya bagi Amadou, semangat Bandung utamanya pemikiran-pemikiran Asia dan Afrika yang ‘non-Europan’, tidak ‘anti-Europan’ dan yang mempunyai ‘nilai-nilai abadi’; masih hidup dimana-mana dan perlu sekali untuk dirawat. Dampak yang lebih besar setelah KAA 1955, adalah munculnya gerakan Non-Blok yang disebut juga sebagai negara-negara dunia ketiga untuk mengimbangi perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Peta percaturan politik internasional waktu itu pun mulai berubah, PBB bukan lagi menjadi forum eksklusif yang biasanya hanya menjadi tempat adu eksistensi dan pengaruh antara Blok Barat dan Blok Timur.

Catatan Kaki

[1] Terjemahan “Bebaskan jiwa Asia dan tuan-tuan akan memperoleh perdamaian, bukan perdamaian dengan paksaan pedang, tetapi perdamaian berdasarkan kemauan baik. Jiwa Asia pada dasarnya adalah jiwa damai.” Di sini Bung Hatta menjadi pemimpin delegasi Indonesia, duduk bersama dengan pemuda Duong Van Giao dari Annam, pemuda Toptchybachy dari Azerbaidjan, pemuda Tung Meau dari Tiongkok dan pemuda K.M. Panikkar dari India. Lebih lanjut lihat (The Bandung Connection, hal. Halaman 20), ‘rombongan’ di bawah pimpinan Bung Hatta juga ternyata membawa jiwa dan sikap yang sama ke Brussel di Belgia pada tahun 1927 dalam kongres League Against Imperialism, Against Colonial Oppressin, And For National Indepence.

[2] Terjemahan “Suatu konperensi yang sama hakekatnya dengan Konperensi Kolombo sekarang, tapi lebih luas jangkauanya dengan tidak hanya memasukkan negara-negara Asia, tetapi juga negara-negara Afrika lainya.” Lihat (The Bandung Connection, hal. Halaman 24). Bagaimana tanggapan atas usul tersebut? “PM Burma, U Nu dan PM Pakistan Moh. Ali agak ragu-ragu, namun tidak menolak terang-terangan. Mereka mau memberikan persetujuanya tapi hanya dalam prinsipnya saja. PM Sri Lanka Sir John Kotelawa lebih ragu-ragu lagi. Sedangkan PM India Nehru mengatakan bahwa terlalu banyak kesulitan untuk melaksanakan gagasan Konperensi demikian, ikhtiar-ikhitiar terdahulu untuk mengorganisasi Konperensi sebesar dan seluas gagasan Indonesia ‘had proved abortive’,”  semua skeptis dan pesimis.

[3] Terjemahan “Saya akan merasa puas apabila Konperensi Kolombo dapat menyetujui bahwa Indonesia akan mensponsori sendiri Konperensi A-A demikian.” Lihat  (The Bandung Connection, hal. Halaman 24).

[4] Terjemahan “Kedua Perdana Menteri membicarakan juga usul untuk mengadakan Konperensi A-A, dan mereka berdua sependapat bahwa Konperensi demikian sangat perlu, dan akan sangat membantu usaha memperkokoh perdamaian dunia. Seyogianya Konperensi itu diadakan selekas mungkin.” Lihat (The Bandung Connection, hal. Halaman 29). Dalam joint statement tersebut ditambahkan juga perlunya para Panca Perdana Menteri Konferensi Kolombo bertemu sekali lagi, tempatnya seyogianya di Jakarta.

[5] Tidak diambil suatu keputusan yang mengikat mengenai agenda, cukup merujuk pada 4 pokok maksud dan tujuan KAA. Lihat (The Bandung Connection, hal. Halaman 37).

Daftar Pustaka

Abdulgoni, D. H. (2015). The Bandung Connection (Ke-4 ed.). Bandung: MKAA - Dirjen Diplik Kemenlu RI.

Cahyo, A. W. (2018). Perang Dingin. Pontianak Selatan: Derwati Press.

Sofyan, A. (2019). Dari Societeit Concordia ke Gedung Merdeka: Memori Kolektif Kemerdekaan Asia-Afrika. Indonesian Historical Studies, Vol. 3, No. 1, 17-28.

*Materi ini pernah disampaikan untuk acara Lestory (Let’s Learn History) Saniskara Adiluhung JFLS Jawa Barat, 7 Agustus 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun